Sepuluh amalan dan doa yang bisa dilakukan di Hari Raya Idul Fitri:
Pertama: Membaca Takbir setelah Shalat Subuh dan Shalat ‘Idul Fitri.
Kedua: Membaca doa berikut setelah shalat Shubuh: "Allahumma inni tawajjahtu ilayka bi-Muhammadin amami."
Artinya : "Ya Allah aku menghadap-Mu dengan Muhammad di depanku."
Ketiga: Mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat ‘Idul Fitri.
Keempat: Mandi sunnah. Waktunya, dari fajar hingga pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri. Sebelum hendak membaca:
"Allahumma imanan bika, wa tashdiqan bi-kitabika, wattiba’a sunnati Nabiyyika Muhammadin shallallahu ‘alayhi wa alih (i)."
Artinya
: Ya Allah, kuatkan Imanku pada-Mu, pembenaranku terhadap kitab-Mu, dan
kepatuhanku terhadap sunnah Nabi-Mu Muhammad SAW.
Kemudian
membaca Basmalah, lalu mulai mandi. Setelah mandi membaca doa berikut:
"Allahummaj’alhu kaffaratan li-dzunubi, wa thahhir dini, Allahummadzhib
‘annid danasa."
Artinya : "Ya Allah, jadikan mandiku ini sebagai
penghapus dosa-dosaku, dan sucikan keberagamaanku. Ya Allah, hilangkan
dariku noda-noda dosa."
Kelima: Memakai pakaian
yang bagus, baik dan memakai wewangian. Dan disunnahkan shalat ‘Idul
Fitri di lapangan di bawah langit, tanpa atap (kecuali di Mekkah).
Keenam:
Berbuka di permulaan siang (makan pagi) sebelum shalat ‘Idul Fitri.
Yang utama berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis, dan menelan
sedikit Turbah Husayni karena ia merupakan penawar setiap penyakit.
Ketujuh:
Pergi untuk shalat ‘Idul Fitri sesudah terbit matahari. Dan sebelum
pergi hendaknya membaca “Doa sebelum Pergi ke Shalat Idul Fitri”.
Kedelapan:
Shalat ‘Idul Fitri. Setelah selesai kita shalat disunnahkan membaca
Tasbih Az-Zahra’. Dan disunnahkan pulang dari shalat lewat jalan yang
berbeda dari jalan berangkatnya, sambil mendoakan kaum mukminin semoga
amal mereka diterima oleh Allah SWT.
Kesembilan: Ziarah
Kesepuluh: Membaca doa Nudbah.
*Mafatihul Jinan: bab 2, pasal 4, Amalan Bulan Syawal.
Kampung Sastra
Membangun Masyarakat Dengan Sastra Dan Budaya
Sabtu, 18 Agustus 2012
Jumat, 17 Agustus 2012
Ramadhan
Suatu
saat ada pekerjaan besar, yang membutuhkan tenaga manusia yang besar
dan banyak juga. satu persatu batu disusun rapih, ada yang membawa
semen, pasir, serta alat dan barang bangunan lainnya yang dibutuhkan,
semua orang dalam Proyek itu bekerka dengan rajin dan giat, mereka di
iming-imingi balasan (Gaji) yang berlipat lipat (Besar). Tak sedikit
juga ada pekerja yang malas, mereka hanya bekerja seadanya, kadang kerja
kadang juga hanya berleha leha dan bermalas malasan, mungkin merekalupa
dengan ganjaran yang berlipat ganda atas kerja keras itu, atau mungkin
mereka lalai dengan kemalsan mereka sendiri. waktu terus berjalan, hari
berganti minggu, minggu demi minggu terlewati hingga genap satu bulan
pekerjaan pembangunan itu selesai. Terbentuklah bangunan yang megah dan
besar, bangunan itu sangat indah bagi mata siapa saja yang melihat,
akhirnya keringat kerja keras terbayar sudah, pekerja yang rajin
tersenyum merekah melihat kerja kerasnya, mere
ka
merayakan keberhasilan mereka. Disisi lain, pekerja yang malas dengan
TIDAK TAHU MALU nya juga merayakan keberhasilan itu, pahal yang mereka
hanya berleha leha dan bermalas malasan, mereka merayakan seolah mereka
bekerja keras dalam pekerjaan satu bulan itu, mereka berpesta, minum,
makan hingga berpakaian bagus khas dengan pesta
kemanangan(Keberhasilan).
Potret diatas merupakan analogi
kritik untuk kita, Ramadhan sudah di ujung jalan bentar lagi ia
meninggalkan kita, sudah berbuat apakah kita untuk ramadhan, seberapa
rajin kita untuk tadarus al QUran, seberapa rajin kita untuk
melaksanakan salat qiammullail (taraweh) apakah kita sudah ber infak,
shodaqoh dan zakat di bulan suci ini. Apakah kita layak meyakan
kemenangan (idhul Fitri) walaupun kita tidak bersungguh sungguh untuk
beribadah, apakah kita layak untuk makan minum dan bergembira, apakah
kita layak mengenakan baju baru sedang dalam bulan ramadhan ini kita
sangat jarang ber ibadah (mengisi ramadhan dengan hal yang positif dan
bernilai ibadah). Kemana saja kita di ramadhan ini, masjid mushallah
kosong melompong jamaah pindah dari pasar kepasar, atas nama kesibukkan
kita pergi meninggalkan ramadhan. Kini ramadhan hendak ingin pamit
meninggalkan kita, hanya segelintir orang yang menangis karena
ditinggalkan olehnya, mereka takut kelak ditahun depan tidak dapat
bertemu dengannya lagi. Selamat jalan ramadhan mudah mudahan kita
berjumpa lagi ditahun depan InsyaALLAH. Amien
Potret diatas merupakan analogi kritik untuk kita, Ramadhan sudah di ujung jalan bentar lagi ia meninggalkan kita, sudah berbuat apakah kita untuk ramadhan, seberapa rajin kita untuk tadarus al QUran, seberapa rajin kita untuk melaksanakan salat qiammullail (taraweh) apakah kita sudah ber infak, shodaqoh dan zakat di bulan suci ini. Apakah kita layak meyakan kemenangan (idhul Fitri) walaupun kita tidak bersungguh sungguh untuk beribadah, apakah kita layak untuk makan minum dan bergembira, apakah kita layak mengenakan baju baru sedang dalam bulan ramadhan ini kita sangat jarang ber ibadah (mengisi ramadhan dengan hal yang positif dan bernilai ibadah). Kemana saja kita di ramadhan ini, masjid mushallah kosong melompong jamaah pindah dari pasar kepasar, atas nama kesibukkan kita pergi meninggalkan ramadhan. Kini ramadhan hendak ingin pamit meninggalkan kita, hanya segelintir orang yang menangis karena ditinggalkan olehnya, mereka takut kelak ditahun depan tidak dapat bertemu dengannya lagi. Selamat jalan ramadhan mudah mudahan kita berjumpa lagi ditahun depan InsyaALLAH. Amien
Rabu, 15 Agustus 2012
Ashabul Kahfi;Kisah
Kisah
Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama
surat dalam Al Quran. Kisahnya memang sangat menarik. saya sampe merinding bacanya bahkan dengan mata berkaca-kaca…insyaallah banyak ibrah yang bisa diperoleh…
Ashabul Kahfi
adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus
di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka
hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang
dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak
menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan
memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul
Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka
lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua
yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin
Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan
dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti
menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir;
Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat
berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami
berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS al-Kahfi:10)
“Coba
terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah
mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai
pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang
mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika
engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku
sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang
benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka,
nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi
Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai
saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di
sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru
setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse,
sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya
mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia,
berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius.
Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu
negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai
kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai
saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat
dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun
satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya
terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga
semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada
rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan
dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat
lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah
baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu
dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari
emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya
tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para
hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah
kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota
di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota
raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap
kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50
orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat
dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki
yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas.
Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga
mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak
mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan
mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga
orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di
sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang
yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha,
Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di
sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius.
Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari
setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang
dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang
diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang
lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang
seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini
kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas
piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya
dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai
sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si
pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang
pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan
bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis
dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat
suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala
raja.
Demikianlah raja
itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa
pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai
congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan
tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu
kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa
yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah
lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia
mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang
terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang
patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari
perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi
tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah
kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota
yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri
jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang
berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha–
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir,
lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan
sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak
tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah
sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang
pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di
rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut
makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku
lalu bertanya pada diriku sendiri: ’siapakah yang mengangkatnya ke atas
sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari
atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias
langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga
bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah,
tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya
itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai
Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di
dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar
bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha,
“baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan
bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu
berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya
berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan
dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan
lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara,
kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya.
Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki.
Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar.”
Mereka turun
dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai
kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh
itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga
kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana
cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan
teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka.
Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan
mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku
sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian
berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali
lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama
teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang
lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu
berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian
itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau
saja dengan batu”.
Anjing itu
melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas
sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal
aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun
bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat
demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”
Anjing itu
akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak
mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat
duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi
Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh
pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan
buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba
waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang
sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t.
memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada
masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat
untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu
memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam
supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika
waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam
orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan
diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia
cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang
melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam
orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau
aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih
berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di
dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke
mari!”
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu
gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan,
raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka
yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta
supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka
dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha
tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang
amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa
seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang
berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka
berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering
kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah
s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya:
“Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota
membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke
kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang
dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai
saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan.
Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku
ini!”
Setelah Tamlikha
memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan
ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya,
melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu
gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!”
Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil.
Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di
sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang
itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu
uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang
dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama
sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai,
alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun!
Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan
kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang
ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma
seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah
setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan
sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang
raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah
mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak
memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu
ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini
seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada
orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau
tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut
seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu
kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha
menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun
yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian
memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha
mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu
lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia.
Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut
hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat
ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia
lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi.
Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita
dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang
terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang
sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja
segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak,
sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha
sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa
itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang
beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang
bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha
menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman
Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua,
Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku
khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau
gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka
bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah
aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti
menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha
datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius
sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih
berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha
Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab merekaMereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya
Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang
keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa
kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t.
mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut
kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa
bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati
gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya,
tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya
ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin
tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu
memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai
peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang
bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata,
akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama
Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
Dan
begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa
janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan
padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka,
maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara
mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang
menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah
masjid.”
Sampai di situ
Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua.
Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah,
hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah,
sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan
itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya
Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu
huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi,
sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah
hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab
Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas
Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad,
dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali
bin Abi Thalib dari Rasul Alla h s.a.w. Semoga bisa menambah keimanan
kita kepada Allah SWT*Dikutip dari kitab 'Qishasul Anbiya' yang tercantum dalam kitab 'Fadhailul Khamsah Minas Shihahis Sittah', tulisan Sayyid Murtadha Al-Huseiniy Al-Faruz Aabaad
Ali bin AbiThalib ; Babul ilm'
Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, Anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada Anda. Jika Anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!"
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Ali bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata, "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali.
Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali lalu menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"
Ali menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Ali ra, dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu lalu mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"
*Dikutip dari kitab 'Qishasul Anbiya' yang tercantum dalam kitab 'Fadhailul Khamsah Minas Shihahis Sittah', tulisan Sayyid Murtadha Al-Huseiniy Al-Faruz Aabaad
Kamis, 09 Agustus 2012
Musyawarah Para Burung
Saat matahari tegak lurus dengan cakrawala, tubuhnya luruh jadi debu, dihembus angin ke seluruh penjuru; saat esok pagi tiba, ia telah menjadi burung bagi perempuan yang kesepian di kastil tua.
saat melihat peta, nafsunya kembali membara, ingin mengarung laut, mencecap gairah yang belum tuntas terlaksana.
ia menyanyi, hingga sunyi, hingga sepi, hingga lampus menjadi lotus.
musim semi menjelang, dan ia terkembang memenuh ruang?ia tak cemas pada debu, ia tak susut pada waktu, ia melumut pada batu.
penyair hanya dapat mendendang tentang daun, bunga, dan cemara yang tak pernah luruh; ia tak bisa engkau minta menyusun kembali dunia.
ia asyik bermain-main dengan kalimat, seperti kanak-kanak yang lupa waktu; ia tabah memoles kata seperti para pengrajin tembikar; ia menderita karena membawa beban makna yang begitu sukar.
ia menjadi hijau pada daun, ia menjadi putih pada awan, ia menjadi hitam pada gelap, ia menjadi sunyi pada waktu, ia menjadi kicau pada burung, ia menjadi makna pada kalimat, ia menjadi geram pada kesumat, ia menjadi nafas pada gairah yang laknat.
begitu memulai kalimat pertama dalam kitab suci, ia tak bisa lagi berhenti; o, rasul dan nabi, kalian telah mengawali penderitaan ini.
ia mendukung kalimat ke puncak bukit, lalu rontok kembali — tetapi ia tak pernah mau berhenti; betapa mencemaskan nasib para penafsir kitab suci.
menara telah memanggilmu, istirahatlah sejenak, kawanku; rebahkan punggungmu pada angin; kendarailah waktu, dan terbanglah ke pucuk pohon cedar itu.
pelukis bermain dengan warna; penyair bercengkerma dengan kata; sementara anak-anak tak pernah berhenti takjub pada benda-benda.
setelah genap setahun berkelana, ia rindu pada debu.
atas perintah sulaiman, suatu malam ia menyelinap ke kota seba, hendak mencuri sumsum kata.
seorang bijak tua lewat dusun itu, dan ia bertanya, “siapakah ia yang selalu engkau sebut dalam syairmu?”
ia adalah burung yang selalu bangun pada semburat matahari pagi, berkicau pada pucuk kenari, terbang jauh ke utara, melintasi salju siberia, dan tak pernah kembali — ia adalah tamu terhormat pada perjamuan si attar. (Fariduddin Attar, Musyawarah Para Burung.)
Akankah tubuh meleleh seperti waktu?”
ia semula mengira bisa menggembalakan kalimat seperti kawanan ternak; kini, aksara seperti banjir bandang yang susah dikendalikan; seluruh kota terlanda, dan ia kebingungan mencari tempat suaka; ia tak sabar menunggu, kapan kapal tua itu segera tiba.
suatu pagi, ia bangun terperanjat — musim semi telah tiba; sekujur bukit berubah warna; waktu menguap menjadi embun, menetes pada pepucuk bakung; ia segera berlari dan berlari, mencari perempuan yang ia pahat kemaren pagi; saat mendaki bukit, ia mengaduh?rasa nyeri menusuk-nusuk; ia merasa, ada luka pada tulang rusuk.
kisah-kisah besar telah hancur berantakan; kini, para penyair hanya menulis tentang rasa kangen, tembikar yang mudah retak, dan embun pagi.
setelah banjir reda, orang-orang bekerja keras kembali, mengeja aksara, menamai kembali benda-benda, menyusun kisah besar yang tak pernah bisa terlaksana.
saat sabtu tiba, dan tuhan sedang rehat sejenak, terbetik kabar tentang pembunuhan di sebuah kota; “terkutuklah engkau kabil, engkau akan sengsara, dilanda sesal yang kekal”.
saat kalimat telah tumbuh lebat, terhampar di seluruh bukit ararat, ia bekerja keras tiap hari, mengenali serat-serat daun, meneliti urat-urat pohon, menelisik tekstur bunga, kadang ia harus menyesap nektar, atau mengerat akar; ia ingin menulis ulasan tentang kitab kejadian.
ia melihat seluruh tamasya di bukit itu seperti tenun kata-kata; setiap pagi, ia tergoda untuk menganyam aksara, hendak mencipta kembali bebukit baru.
seharian ia duduk di pinggir danau, tersesat dalam labirin kalimat.
tuhan menatap kebun itu dengan cermin terang, tembus pandang.
walau kalimat melanda seluruh kota, tak seorang pun menulis gitanyali.
pagi yang kuning hinggap di bukit, girang-gemirang seperti burung gereja; ia lalu menyanyikan pujian bagi daun-daun ilalang.
Minggu, 29 Juli 2012
Diri Gue
Diri Gue
Sampai sekarang gue masih bingung dengan takdir kehidupan
gue, masih gini-gini ajh alias gak ada perubahan yang signifikan. Gue terlahir
dari keluarga yang lumayan religius bahkan bisa dikatakan sangat religius,
kakak gue ustad, paman gue juga kebanyakan jadi ustad. Umur delapan tahun gue
udah di tingal babeh, berarti udah 20 tahun gue ditinggal oleh sosok ayang yang
harus mengayomi diri gue. Sekuat tenaga ibu yang lebih banyak gue panggil
dengan panggilan enyak mendidik gue hingga sekarang, Enyak mendidik Gue dengan
enam kakak gue dan satu adik gue, kalo dijumlahkan anak enyak gue berjumlah 8
orang sama gue. Gak kebayangkan, seorang ibu rumah tangga yang biasa
mengandalkan pemasukan ekonomi dari suaminya terus ditingal oleh suami
tercitanya untuk selamanya, mungkin saat ditinggal oleh babeh gue alias suami
Enyak gue, saat itu mungkin enyak gue sangat stres, bagaimana cara menghidupi
dan mencari nafkah untuk anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Saat itu mungkin
hanya air mata yang bisa menjawab takdir yang pahit itu, itulah hal yang
dilakukan oleh enyak gue saat itu. Tanggungan 8 anak yang masih kecil, terus
hanya berpengalaman sebagai ibu rumah tangga saja, bagaimana caranya memutar
otak untuk menghidupi anak-anaknya, mungkin itu yang dibenak enyak gue saat itu.
Saat itu gue berumur 8 tahun mungkin gue gak bisa berpikir apa-apa selain
melihat keluarga gue, anggota keluarga gue pada nangis di samping jenazah almarhum babeh gue. Bukannyanya enyak gue
kalo patah semangat dan berputus asa, sikap itulah yang membuat gue salut sama
enyak gue, didalam keterpurukan ia bisa bangkit hingga sekarang. Dengan ber
modalkan 30 ribu ia memulai usaha membuka warung sayur yang saat itu ala
kadarnya, hasilnya gak dapet lu bayangkan dech, saat ini anak anak enyak gue
udah pada gede and dewasa, tinggal gue and adek gue yang belum kawin semua
kakak gue udah pada nikah, Alhamdulillah semua kakak gue menyelesaikan
pendidikannya, bahkan kakak gue yang kedua paling tua menyelesaikan S2 nya,
kakak gue yang lain ada yang hanya lulus SMA saja dan diantara 8 anak enyak gue
4 menyelesaikan pendidikan S1 dan satu yang S2, menurut gue takdir yang luar
biasa untuk ukuran keluarga gue yang berlatar belakang seorang anak penjual
sayur yang yatim. Gue juga masih berpikir tentang takdir gue yang sekarang, semasih kecil gue dididik
dengan pendidikan agama yang sangat ketat, bahkan gue masih inget banget saat
gue belajar ngaji sama kakak gue yang ustad, gue ampe nangis nangis belajar
ngaji iqra sama kakak gue itu. Pendidikan dasar gue sekolah di Madrasah
Ibtidaiyah deket rumah, tepatnya Madrasah Ibtidaiyah(MI) 05 Nurul Falah.
Disekolah itu gue mendapatkan pendidikan dasar tentunya dengan berciri khas kan
Islam NU, disana gue banyak belajar tentang agama dan keyakinan, gak lupa
disana gue belajar menulis dan berhitung, gue juga masih ingat saat itu gue
termasuk murid yang lumayan pinter hingga gue beberapakali mengecap juara
kelas. Di sela-sela belajar disekolah MI
gue juga disuruh ngaji sama enyak gue, kata enyak gue kalo gak bisa
ngaji terus sama yang ngajiin gue kalo gue udah meninggal, kata-kata itulah
yang memotipasi gue untuk ngaji secara serius. Pada guru Muhammad di Mushallah
Annur gue pernah ngaji, disana gue belajar banyak cara membaca Al Quran dengan
baik, gue bahkan masih inget saat ngaji disana para santri di suruh ngisi kolam
guru Muhammad, yang paling Gue inget adalah es Mamboo nya yang di dikocok-kocok
dengan asem jawa yang boleh nutur dibawah pohon asem deket pengajian. Selain
ngaji disana , gue juga pernah ngaji di guru Rohadi. Guru rohadi juga guru gue
di MI, tapi gak lama gue ngaji sama guru Rohadi semenjak gue pindah ke MI
Attaqwa Pusat gue berhenti ngaji sama guru Rohadi. Di MI Pusat semua kultur
kampung bercampur, karena kalo di MI pusat semua blok kampung Ujungmalang yang
sekarang bermetamorfosis menjadi Ujungharapan tublek jadi satu, ada blok Gang
sembilan, blok Abarkah, Annur, Nurul Falah, Annur, Nurul Huda, Arrohmah,
Kampung Jati, tidak ketinggal Attaqwa. Di MI pusat gue banyak menemukan temen
baru dari berbagai blok kampung, yang masih gue ingat adalah dari sekolah di MI
Pusat blok yang paling berkuasa adalah blok Gang Sembilan, dominan karena blok
mereka bersatu dan kalo berantem mereka main krubutan alias rame rame. Selesai
menyelesaikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) gue melanjutkan belajar ke
pesantren, Pesantrennya pun gak jauh jauh masih dalam ruang lingkup Yayasan
Attaqwa warisan Pahlawan Nasional Kiai Haji Noer Alie. Sebenarnya gue kurang
setuju masuk pesantren, tapi apa boleh buat itu udah kemauan enyak, mungkin
supaya anaknya jadi anak yang soleh. Gue pun mengikuti apa yang menjadi
keinginan enyak gue, setahun gue bertahan, dua tahun gue agak gak tahan, tiga
tahun gue mulai gak tahan. Tahun ketiga, ketika saat menjelang ujian akhir
nasional, gue ngambek gak mau berangkat ujian kalo gak pindah dari pesantren,
gue gak tahan, dipesantren tuch kalo gak sehari kena cambuk rotan itu udah luar
biasa banget jadi santri. Hampiir setiap hari gue kena yang namanya cambuk
rotan, entah itu gara-gara gak muhadhoroh malem senin, malem jumat, muhadhoroh
bahasa, pramuka ataupun apalah namanya gue pasti kena rotan. Tercatat selama di
pesantren gue lima kali kena hukuman botak, kalo hukuman rotan sih gak
kehitung, atau bahkan gue udah ampe mati rasa denga yang namanya hukum rotan.
Selesai ujuan nasional, gue berpikir mungkin hanya iming-iming enyak and kakak gue agar gue berangkat ujian,
saat itu kakak gue bilang iya ujuan ajah dulu kalo udah ujian and lulus nanti
lu gue pindahin sekolahnya gak dipesantren. Ternyata benar, akhirnya selesai
ujian ketika pengumuman kelulusan dan NEM dibagikan gue disuruh untuk mendaftar
kesekolah yang gue inginkan, setelah gue ambil Ijazah gue pengen ngedaftar ke
SMA yang gue inginkan eh ternyata udah pada nutup pendaftaran murid baru, gue
hampir putus asa, yang dibenak gue saat itu mungkin gue harus kembali ke
pesantren lagi, tapi syukur alhamdulillah paman gue ngasih solusi, saat itu ia
ngajar Madrasah Aliyah Negeri, akhirnya gue di daftarkan disana. Masuk sekolah
baru gue agak kikuk, secara gue anak pesantren yang tiap hari gaul dengan anak
anak laki laki semuanya, di Madrasah Aliyah(MA) Negeri gue kikuk karena disana
antara laki dan cewek dicampur, ini pengalaman yang berbeda bagi gue. Tahun
pertama di MA gue harus kerka keras dengan iklim pendidikan campur laki cewek.
Langganan:
Postingan (Atom)