Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Cerpen untuk Khafifah, mantanku/Cerpen


KEDELARAAN HATI

Khafifah, semoga engkau tidak terkejut menerima suratku ini, sepertinya terkejutnya ratu Bilqis tatkala menerima surat dari baginda Sulaiman As. Surat ini seperti surat surat sebelumnya, kutulis dalam lembaran yang sederhana yang ku cabut dari halaman tengah bukuku. Aku tidak bisa merubahnya, karena setelah dirimu tidak ada orang lain yang kujadikan alamat  bagi surat suratku. Aku tidak bisa belajar bagaimana menulis surat yang baik, menulis surat dalam suasana hati yang berbeda.
Sejak kepergianmu setelah tahun baru itu, aku memelilih jalan salikh[1]. Aku enggan mencari penggantimu walau sudah beberapa orang ukhti yang melamar untuk menjadi penggantimu. Bukan aku sok’ sufi tapi karena aku takut tidak bisa berbagi cinta dengan mereka. Perigi hati ini sudah mengkarat kering, tertuang pada relung relung hatimu. Aku tidak punya cinta lagi.
Mungkin ini salahku yang terlalu dalam mencintaimu. Aku lupa kalau kita masih seumur jagung yang masih muda. Di usia kehidupan yang masih begitu panjang, kita masih berada dalam bayangan diri masing masing. Jika kita berpisah setelah lelah menempuh perjalanan, tak lain karena kita tidak bisa mendahului keputusan Tuhan. Cerita kehidupan ada kalanya luap dan penuh dengan kesedihan.
Tugas kita manusia hanya menjalaninya. Semua itu mungkin telah kita jalani. Disana kau melamun sepanjang hari sambil menatap ombak yang saling susul menyusul. Disini, di malam malam yang sepi sunyi aku merenung seorang diri. Kita sudah tidak lagi mendapatkan kebahagiaan, karena kebahagiaan itu sudah kita habiskan sebelumnya. Sekarang tinggal kenangan dari kebahagiaan itu, yang mungkin kita kenang sambil tersenyum simpul.
Maka, izinkanlah aku mengenangmu. Aku ingin semuanya utuh tetap ada. Seperti yang kutulis dalam salah satu halaman buku harianku:

Biarkalah bayangmu menyelinap dalam kalbuku. Cinta tak selamanya diucapkan lewat kata, karena tidak semua orang suka dengan kata kata.
Khafifah, aku rindu saat saat itu, saat kau disisiku. Telah lama rasanya kita berpisah, namun bayangan dirimu tak jua mau sirna. Namamu begitu kuat terukir, senyummu begitu abadi dibenak ini. Kau adalah catatan harianku yang setiap ruang dan sudutnya terpunuhi sanjungan tentangmu. Kau adalah rindu yang memuncak, seperti gelombang ombak sunami yang memporak porandakan serambi Mekkah Aceh.
Terbayang saat kita bertemu terakhir kali, saat itu aku jemput disekolah tempat kau mengajar. Terbayang saat kita menghabiskan hari itu di pantai Marunda[2]. Diiring dengan alunan ombak yang silih berganti, kau terus mengalunkan lagu cinta berisi kerinduan. Dengan bergandengan tangan kita pun berlarian seakan kita tidak bisa terpisahkan.
Di salah satu warung yang sebenarnya lebih pantas dikatakan gubuk kita berdua. Kau memilih salah satu sudut yang langsung memandang kearah pantai. Mendung yang menaungi langit memberikan suasana yang berbeda diperjalanan kita itu. Hujan pun turun disertai petir yang sesekali membuatmu takut. Setelah kau berteriak memanggilku dan menghampiriku dan mendekapku. Ketika itu aku hanya tertawa melihat tingkah lakumu yang panik seperti anak kecil.
Sesekali engkau mencubitku karena aku menertawaimu yang manja padaku. Namun kau sepertinya terlanjur marah. Begitupun saat aku pegang erat tanganmu yang kelihatan dingin. Baru setelah ku gelitik pinggangmu kau mau tersenyum. Senyum yang mahal, karena setelah itu kau hujani aku dengan cubitan cubitan dipinggangku yang membuat sedikit merah dan membekas.
Saat itu kau tampak pasrah dan mulai memanaskan suasana. Aku tau dari caramu memelukku. Pelukanmu begitu erat, dan setiap kali kau membisikan sesuatu yang nyaris bibirmu menempel ditelingaku.
Untung kau mengerti benar siapa aku. Kau tidak merajuk karena Tuhan selalu bersama kita, menyaksikan kita berdua. Akhirnya hari itu kita isi dengan tertawa, bercanda, dan bercerita akan diri masing masing.
Bagiku tiada yang lain kacuali dirimu. Kau adalah keteduhan ditengah teriknya matahari, kau adalah keindahan pagi dan sore hari. Lihatlah pohon Sengon[3] didepan rumah itu, keteduhannya seteduh tatapan matamu. Lihatlah pula kupu kupu yang terbang yang kian kemari mencari sari bunga. Kupu kupu itu seperti jelmaan dirimu. Bila di Bairut orang meyakini kupu kupu adalah jelmaan dari putri Yasmi kekasih Ibn Kayyam yang gila atas dirinya, aku meyakini keindahanmu menjelma dalam merah, kuning, dan jingganya bunga.
Kau adalah nyanyian dedaunan cemara yang mendesu apabila dihembus angin. Dan malam malam kesendirianku senantiasa ku dengarkan senandung irama itu yang memilukan. Aku ingin kau menghantarku tertidur, aku ingin kau membuatkan bingkai bagi setiap mimpi mimpiku.
Kau adalah gemercik air yang jatuh diantara embun pagi, begitu sahdu ia mengalirkan rindu, sehingga tak jarang aku termangu mangu. Rasanya disitu aku menjumpai kejernihan wajahmu yang terbalut senyum semanis buah kurma Madinah yang ditanam langsung oleh Baginda Nabi.
Izinkan pula aku mengandai andai tentang dirimu yang sekarang sudah menjadi milik orang lain. Kalau saja kau masih disisiku mungkin hidupku tak akan hancur seperti ini, di ibaratkan pohon yang dahulu kutanam, kurawat dengan baik, ku beri pupuk dan kusiram denga kasih beserta sayang. Kini ia telah besar dan berbuah sangat manis, dan dimiliki orang lain sepuhnya. Begitulah penderitaanku saat ini setelah kepergianmu.
Terakhir kita berkomunikasi, kau bilang kau sudah milik orang lain. Kau bilang nasi ini sudah menjadi bubur. Kau pun sempat menyalahkan diriku karena kau tidak pernah menyatakan cinta, dan perasaanku padamu. Kau mungkin tahu bahwa aku orangnya cuek dan apa adanya, tidak bisa berkata manis seperti para pujangga yang berlebihan memuja cinta dari pada memuja Tuhannya.
Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan sekarang, kini kau sudah jadi milik orang lain. Aku tunggu undangan walumatul arus dirimu. Insyaallah aku akan datang.



[1] Jalan yang dilalui para tokoh tasawuf, menghindari keramaian dunia.
[2] Salah satu pantai disebelah Utara kota Jakarta, terkenal dengan rumah dan masjidnya si Pitung, jagoan dari Betawi Asli.
[3] Biasa dikenal dengan pohon Jati kampong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar