Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Goresan Cinta/Cerpen

Goreran Cinta
(Muammar Khadafi)
Langit siang ini biru, sebiru samudra kehidupanku di waktu lalu. Rasa rasanya waktu itu baru kemarin, saat aku merangkai jala jala cinta dengan dirinya. Ia manis nan rupawan bagai seorang maha dewi yg tersesat dikayangan. Wajahnya yg berbinar menyiratkan kejujuran pada perangainya. Ia arif nan bijaksana, itulah yg berkesan pada dirinya saat aku merangkai jala asmaraku. Kebersamaan dengan dirinya menjadi memori tersendiri pada jalan hidupku. Walau kebersamaanku tidak lebih dari 2 bulan tapi aku masih menyimpan wajahnya dalam setiap dinding dinding hatiku. Sudah hampir setahun setelah perpisahan kami dulu, kami berpisah berurai air mata pada saat itu. Perbedaan yg sangat prinsip membuat kami berpisah, jurang perbedaan itulah yg memisahkan kami walau cinta kami begitu kuat namun kami tak kuat menerjang tembok perbedaam itu. Ia begitu berkesan, aku masih ingat saat mengantar dirinya pada minggu Gereja, ia begitu menghormati aku dan agamaku hingga ia tak berani dan menjaga jarak saat ku bonceng dengan sepeda motor tua ku. Ia menghormatiku dan keyakinanku lebih dari seorang muslimah menghormati seorang ikhwan. Ia Katolik yg taat, setiap minggu Gereja ia tak pernah absen. Bagiku ia lebih muslimah dari seorang muslimah, setiap malam senin dan kamis ia tak lupa membangunkan aku untuk bangun saur, shaum senin kamis.Ia pun tak lupa dan tak lelahnya membangunkan aku pada jam 3 tiga pagi hanya untuk membangunkan aku untuk salat malam. Walau kami berlainan keyakinan ia begitu tenggang rasa pada keyakinan kami masing masing. Ia menghormatiku lebih dari imannya, ia lebih dari sekedar muslimah, tercerpin dari sikapnya yg lembut nan halus. Perjalanan cinta ini begitu unik, aku yg selama ini mengidam idamkan seorang pendamping muslima kepincut seorang gadis Katolik. Wajahnya bagai bunda Maria ketika ia mencoba memakai kerudung teman perempuanku, saat itu ia menunggui ku saat aku salat asar dikampusnya. Ku curi pandang, lalu ia tersipu malu. Sepulang dari kampus menuju rumahnya, ia memberanikan diri untuk bertanya bagai mana penampilannya ketika mencoba memakai kerudung. Aku jawab spontan, kamu cantik bagai perawan Bunda Maria. Ku katakan bahwa ia lebih dari seorang muslimah, kejadian itu berawal ketika aku pertama kali kerumahnya, ketika itu ayah bundanya keluar kota karena ada saudaranya yg sakit. Saat itulah terbuka mataku bahwa ia lebih dari sekedar muslimah, saat aku terbawa suasana berdua, aku memberanikan diri untuk memegang tangannya saat itulah ia memperingatkan aku bahwa kami tidak berdua tapi bertiga, yg ketiga adalah Allah swt. Aku tercengang mendengar ucapan yg sangat bijak nan arif, ia mengingatkan aku akan agamaku dan larangannya. Setelah itu kami masing menjaga sikap kami masing masing. Kami bagai berada di dua dimensi yg berbeda, kami juga merasa kami dari dua kutub yg bersinggungan. Jumat ia mengantarkan aku ke Masjid, hari minggu aku mengantarkannya ke Gereja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar