Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Hasan Jambal/Cerpen


Keadilan itu Akhirnya Harus di Bayar dengan Nyawa
Oleh
Muammar khadafi

Hasan Jambal, nama yang hampir dimakan zaman peradaban modern abad 21. Nama yang dahulu berkilau diantara keremangan malam dan desahan para penjaja nafsu. Siapa saja yang mendengar nama itu mungkin akan menggidikan bulu kuduknya karena takut atau segan. Pada zamannya, Hasan Jambal begitu dikenal dan disegani seantero Jakarta, Jawa bahkan hingga luar Jawa. Namanya makin berkilau ketika ia dengan bengisnya menebas putus leher komandan ‘baret merah’ yang saat itu berduel dengannya di klab malam diwilayah bilangan Jati Negara. Kejadian itu sangat menggemparkan wilayah Jakarta khususnya, dan Indonesia secara umum, bahkan berita pemenggalan komandan 'baret merah' itu hampir mengisi disetiap halaman depan surat kabar nasional.

Hampir berbulan bulan bahkan hampir setahun Hasan Jambal menjadi buronan polisi beserta buru sergapnya. Entah berapa kota yang ia singgahi untuk bersembunyi menghindari para aparat yang haus akan darahnya, gerak geriknya sering tercium karena banyak pengkhiyanat disekelilingnya. Maklum saja, jenderal atasan baret merah sudah terlanjur berucap dan  menghargai kepala Hasan Jambal dengan hadiah dan imbalan beberapa gepok uang untuk siapa saja yang mampu membawa kepala Hasan Jambal kehadapannya hidup atau mati. Tak hanya polisi, para preman dan pembunuh bayaran pun sangat bernafsu untuk memburunya demi uang yang di janjikan sang jenderal tersebut.

Hal inilah yang membuat gerak Hasan Jambal menjadi sempit dan makin terjepit. Bahkan geng Naga Hitam yang diketuainya pun berserakan tidak terkordinir setelah ia menjadi buronan. Diantara anak buahnya masih ada yang setia dengan dirinya namun tidak sedikit anak buahnya yang membelot dan mencari dirinya untuk memburunya demi hadiah dan imbalan yang dijanjikan sang jendral. Demi uang kesetiaan tergadaikan, demi uang apapun akan dilakukan asalkan perut kenyang dan tidur nyanyak tak peduli ketua sendiri yang menjadi buruan demi segepok uang.

Beberapa kali Hasan Jambal disergap, beberapa kali itu pula ia lolos dari buru sergap polisi dan pembunuh bayaran. Ia bagai belut yang licin ditanggap, akalnya banyak seperti kancil, cerdik bagai tupai. Walau saat penyergapan terakhir ia sempat tertembus timah panas yang mengenai kaki dan dada belakangnya namun itu tidak menyurutkan pelariannya. Selentingan kabar Hasan Jambal mempunyai ajian susuk kijang aji pradana yang ia dapat dari berguru di Banten. Ilmu itulah yang mambuat ia sulit untuk dikejar. Selain ajian tersebut ia pun mempunyai ajian susuk baja yang diberikan ibunya semasih Hasan Jambal kecil, katanya bila terkena mortir pistol tubuhnya tidak dapat ditembus berkat ajian tersebut hingga ia terkenal dengan preman si kulit baja.

Hasan Jambal merupakan fenomena orang kecil pinggiran yang mengais rezeki di kerasnya jalanan. Ia bagai di ajarkan hidup di alam liar dimana yang kuat akan tetap hidup dan yang lemah tertindas dan berakhir tragis menjadi korban.

Yang berbeda dari sosok Hasan Jambal adalah ia merupakan Preman yang lembut hati. Hal ini terlihat ketika ia pernah merampok toko emas dibilangan Jakarta Barat, uang hasil rampokan itu ia bagikan kepada para gelandangan yang masih tertidur pulas di emperan pertokoan Senen. Sosok penjahat yang sukar ditemui di zaman modern seperti sekarang ini, ketika semua orang bersikap apatis, egois dan individualis, masih ada orang yang memikirkan perut orang lain.

Hampir 15 tahun ia melanglang buana menyusuri jalan gelap, sudut-sudut kota, dan keremangan malam. Entah sudah berapa klab malam, kedai, diskotik, ataupun bar yang pernah ia singgahi. Sosok Hasan Jambal bahkan tidak seseram apa yang dipikirkan orang tentang dia. Perwajahan Hasan Jambal datar, perwatakannya halus, tutur katanya lembut dan sangat jauh dari cermin preman pasar yang bermuka dan berkata kasar. Namun diantara sikap dan perkataannya yang halus itu ada bara dalam sekam di dirinya. Pernah dalam suatu kejadian anak buah dari Hasan Jambal melakukan kesalahan yang menurutnya fatal, ia pun tak tanggung-tanggung menempeleng anak buahnya itu sampai ia tersungkur jatuh.

Kejadian terakhir pun tidak lepas dari perangainya yang ‘panas seperti bara’. Betapa emosinya Hasan Jambal ketika ia mendengar daerah kekuasaanya di acak-acak oleh anggota baret merah, ditambah anggota baret merah itu sempat melecehkan istri dari Hasan Jambal. Hasan Jambal mendengar berita itu bagai disulut api, tanpa tedeng aling-aling ia langsung mengambil golok yang tersimpan di pojok kamarnya dan langsung berangkat menemuai anggota baret merah tersebut yang sedang asik minum bersama teman perempuannya dan langsung menebas leher anggota baret merah tersebut, dengan sekejap suasana kafetaria tersebut menjadi histeris dan gempar dengan kejadian tersebut dan berakhir menjadi pelarian Hasan Jambal.

Pelarian demi pelarian Hasan Jambal jalani. Dalam pelariannya itu sempat membuatnya jenuh, bahkan perawakan yang dahulu kekar kini menjadikurus akibat pelarian tersebut. Dalam pelarian yang panjang, Hasan Jambal pun mengalami kejenuhan yang tak terhingga. Rasa amannya hilang ditelan kekhawatiran akan penyergapan-penyergapan oleh para parat tak berseragam. Sempat terbersit dalam pikirnya untuk menyerahkan diri seperti yang disarankan oleh istri tercintanya Ainun.
“Abang emang gak jenuh dan bosen menjadi buronan?, mending Abang menyerahkan diri, paling paling Abang dipenjara beberapa tahun setelah itu bebas dan kita dapat hidup normal”. Begitulah saran istrinya kepada Hasan ketika ia mampir dan bersembunyi dirumahnya sebelum persembunyian itu tercium oleh polisi.

Namun buah pikir dan saran istrinya itu ia buang jauh jauh. Hasan tahu pasti jendral baret merah itu tidak tinggal diam, karena terbunuhnya anak buahnya itu merukapan tamparan keras bagi Korpnya, militer yang kastanya lebih tinggi dibanding rakyat sipil masa kalah dengan preman pasar seperti Hasan Jambal. Jenderal itu pun mungkin sudah menyewa pembunuh bayaran apabila ia tertanggap dan akan membusuk dalam penjara dan pembunuh bayaran sudah menunggunya. Hal itulah yang membuat dirinya mengurungkan  untuk tidak menyerahkan diri.

Hal terburuk yang ia bayangkan kalau saja ia menyerahkan diri, pasti dirinya akan membusuk bersama pembunuh bayaran sang Jenderal baret merah. Ketakutan demi ketakutan menyelimuti perasaannya.

Hasan Jambal bagai dihadapkan pada ‘buah simala kama’, yang memposisikan dirinya serba salah. Menyerahkan diri berarti mati, lari pun akan berakhir mati pula. Semua sudut persembunyiannya menjadi haram untuk persembunyiannya. Gerak geriknya sudah terbaca dan tercium oleh aparat maupun pembunuh bayaran. Anak buahnya pun yang dahulu royal dengan dirinya kni berbalik mengkhiyanatinya. Hasan Jambal semakin terjepit dalam posisi sulit, yang memaksa dirinya untuk terus berkelit, walau itu hal yang pahit.

Terakhir terdengar kabar Hasan Jambal kembali kekampung halamannya dipinggiran Kota Bekasi. Setelah hampir 15 tahun ia melanglang buana meningalkan kampung kelahirannya. Niat awal Hasan Jambal kembali adalah untuk menengok Ibunda tercinya yang sudah mulai uzur dan sering sakit sakitan. Namun kembalinya Hasan Jambal itu sudah terbaca dan diketahui oleh aparat maupun para pembunuh bayaran.

Kerinduan akan ibunya memuncak dan pecah dalam pelukan Hasan Jambal dengan Ibunda tercinta. Tak henti hentinya ibunya memeluk dan menyecuk kening Hasan Jambal serasa tak mau terlepaskan. Dengan derai air mata yang membasahi pelupuk mata yang senja Ibunda Hasan jambal terharu, hatinya yang keras kini mencair akan tangis Ibundanya yang pecah dimalam itu. 
“Hasan kamu itu orang baik, seperti arti nama kamu yang berarti baik Lek’, kamu memang gak bosen menjadi pelarian?”. Setelah kata kata itu terucap oleh ibunya seketika Hasan menangis tidak terkira, matanya basah akan air matanya, isak tangis pun pecah antara ibu dan anak yang sedang memadu kerinduan.
”Kamu ikhlas kan Lek’?”. Ucapan ibunya seraya membelai kasih kepala Hasan Jambal.
“Hasan ikhlas Bu’!’.

Setelah beberapa saat ketika ibu dan anak itu sedang memadu kerinduan. Dari luar rumah terdengar letupan suara pistol yang menderu membelah kesunyian malam. Ternyata para aparat dan pembunuh bayaran sudah mengepung rumah Hasan yang terletak dipinggiran kali. Dikeremangan malam terdengar suara teriakan dari luar rumah yang memaksa Hasan untuk segera menyerahkan diri dan keluar rumah. Hampir tiga puluh orang yang terlihat dalam pengepungan itu, diantara mereka da yang bersenjata lengkap laras panjang Ak 47 dan tak terhitung pistol yang disakukan dipinggang.

Hasan pun panik bukan kepalang dengan penyerbuan itu. Diseka airmatanya, beberapa lama ia pun pamit kepada Ibundanya yang masih terbius akan kerinduan anak kesayangannya. Sesaat ia melompat keluar dari jendela rumahnya, ditengah keremangan malam terdengar letupan suara deru senjata api yang satu sama lain saling menyusul. Secepat kilat Hasan berlari menghindari kepungan itu. Dengan ajian susuk kijang aji pradana ia berlari menghindari kejaran para pemburu dirinya.

Namun malang tak dapat ditolak, kakinya tertembus timah panas sang aparat. Kali ini ia tidak beruntung seperti pelariannya sebelumnya. Ajian susuk bajanya hilang. Ia tertatih tatih. Kakinya terus mengeluarkan darah, setelah kakinya tertembak kini pungggungnya yang menjadi sarang peluru Ak 47. Seperti kata ibunya ia harus ikhlas, ternyata kata ikhlas yang diucapkan ibunya adalah ikhlas akan ajian susuk bajanya untuk di ambil kebali pada ibunya, dan kini kulitnya yang dahulu sekuat baja kini dengan mudah dapat ditembus peluru.

Dalam pelariannya yang sekarang ia mungkin tidak akan selamat seperti dahulu. Tubuhnya terus mengeluarkan darah, apalagi ditambah suasana pada saat itu hujan deras, jejak langkahnya terbaca, bercak darahnya terlihat diantara derap langkahnya hingga akhirnya Hasan Jambal tertangkap.

Dengan kebengisan para aparat yang diselimuti dendam, tubuh Hasan Jambal terus diberondong dengan senjata Ak 47 dari jarak dekat, tubuhnya terus dihujami benda tumpul seperti beratnya senajata Ak 47, walau tubuhnya terus mengeluarkan darah, para pemburu seraya tidak mau tau dan peduli. Mereka terus mengujami Hasan dengan pukulan. Sesekali dalam kesekaratan Hasan Jambal ditembak secara dekat oleh para aparat yang selama ini gemas dengan dirinya. Terhitung ada lima tembakan yang menghujami tubuh sekaratnya. Para pemburu itupun berteriak ‘matilah kau bajingan Jambal’ seraya memasukan tubuh Hasan Jambal kedalam karung goni, kemudian karung itu di ikat dengan erat, setelah itu karung itu diberondong dengan tembakan jarak dekat hingga isi karung itu tidak bergerak dan hanya darah yang keluar dari karung itu. Mungkin inilah akhir dari perjalan Hasan jambal, sang petualang, sang pelarian, sang penjagal baret merat yang termahsyur namanya. Keesokan harinya mayatnya ditemukan mengapung dikali Bekasi oleh warga yang sedang memancing. Inilah akhir dari perjalan sang petualang Hasan Jambal. Keadilan yang harus dibayar dengan nyawa sang penjagal baret merah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar