Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Pamanku Abdul Hakim

Untuk Pamanku Hakim
(Muammar Khadafi)
Rasa rasanya saya baru melihat senyum yang mengembang dari wajahnya, tepatnya minggu lalu ketika ia bertandang kerumah ibunya. Ia terlihat sangat bahagia ketika menceritakan kisah si kecil  Hanif, anak bungsunya.Rona bahagia terlihat dari canda tawanya yg renyah bagai keripik singkong goreng yg baru diangkat. Ia anak bungsu dari anak anak nenekku yg hampir semuanya menjadi guru, termasuk aku cucunya yg dengan takdir Allah menjadi guru juga. Dulu memang kisah cinta tidak begitu mulus, beberapa kali aku mendengar ia pernah terkecewakan atas nama cinta. Bahkan terakhir aku mendengar ia sempat tidak diterima baik oleh orang tua perempuannya yg dahulu seorang perawat lantaran ia hanya seorang guru yg bergaji 200 ribu perbulan, itu pun bila dana BOS tidak macet dari pemerintah. Sewaktu menimba ilmu di IAIN yg kini bermetamorfosa menjadi UIN, ia adalah seorang aktivis tangguh, ini dibuktikan dengan sederet piagam yg berjejer di bekas kamarya yg kini menjadi kamarku. Ia pun tercata sebagai mahasiswa tetap penerima beasiswa Supersemar yg langsung di bawah naungan presiden Suharto waktu itu.
Namun otak dan prestasinya tidak seiring sejalan dengan jalan cintanya, bila aku lihat lihat buku hariannya yg hampir usang di makan debu, kisah cintanya begitu berliku, terkadang aku hampir menitikan air mata saat membaca keluh kesahnya dalam lembar demi lembar buku hariannya.Pantas saja bila ada sajak yg berkata : "sekuat kuatnya hati bila ia mengenal cinta pasti ia akan berair mata". Sampai cintanya menjadi penyandra hati. Cinta adalah rangkuman hati, menyulam perasaan hingga melahirkan kasih sayang. Akhir 2001 ia mengakhiri petualangan cintanya, ia menikahi seorang gadis Kaliabang. Sepuluh tahun pertama aku tidak mendengar percekcokan dalam rumah tangganya. Tetapi setelah ia dikaruniai lagi putra bernama Hanif, rumah tangganya mulai terlihat goyang. Malam itu ketika aku sedang sibuk di meja kerja, ia mendadak datang dengan luka cakar yg menguliti sekujur tangan hingga muka. Aku mendengar kabar ia bertengkar hebat dengan istrinya, Evi. Dengan nada suara sedikit parau ia meminta izin untuk beberapa hari untuk menginap dan menenangkan diri. Cinta memang indah, lebih indah lagi ketika kerikil kerikil cinta membumbui jalan cinta, percekcokan, pertengkaran, persilangan pendapat adalah hal yg biasa dalam membangun tatanan rumah tangga, semua itu akan mendewasakan kita dan menjadi catatan manis ketika kita dapat melewatinya, mudah mudahan pamanku sabar atas cobaan cinta rumah tangganya. Amien yaa Rabbal alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar