Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Prasasti Cinta/Cerpen


PRASASTI CINTA

Terik mentari siang itu membawaku kesebuah tempat yang kumuh dibantaran kali pondok Ungu[1]. Sebuah tempat yang tidak terlalu bersih dan agaknya telah bertahun tahun digunakan sebagai depot barang barang rongsokan.
Singatku aku pernah melewati tempat ini, pohon pisang yang hijau di sepanjang jalan, terasa sekali menyejukkan hati yang sedang galau.
Tidak seperti jalan jalan perkotaan, suasana jalan ini begitu lengang. Sepanjang jalan kita dapat menjumpai rumah rumah sederhana, dan warung kopi yang berjejer disekitar kali yang airnya sangat keruh kecokelatan.
Siang ini aku berada lagi ditempat ini, tapi sekarang tidak ditemani orang yang ku cintai. Ia baru saja meninggalkanku dan pergi bersama langkah orang lain disisinya, tak urung kepalaku yang biasa segar kini tertunduk lesu. Begitu berat rasanya hidup tanpamu.
Begitulah cerita hidupku, rasanya baru kemarin aku bersiul siul dan bercanda ria dengannya, rasanya baru kemarin aku mengatakan kepada dunia tentang cinta yang ku punya. Sekarang, dengan hati yang dalam aku harus kembali mengarungi samudera kehidupan ini sendiri.
Kini aku teringat kan pesan Hamzah[2] yang telah gugur sebagai syuhada di Afganistan. Cinta adalah sebuah prasasti yang tak tetulis, semuanya penuh misteri. Hamzah yang anak salah satu petinggi pemerintahan dikota Serang Banten menuturkan kisah cintanya pada seorang gadis dari keluarga biasa. Ia tidak mempunyai keberanian untuk menjalin asmara dengan kadis kota yang telah berubah idialismenya berorientasi pada hakikat materi semata. Saat itu aku tidak begitu paham dengan maksud pesannya. Baru setelah Hamzah berpulang untuk selama lamanya aku baru memahami maksud dari kata katanya. Ketika itu Abu Hanni [3] meminta kami yang masih hidup menulis surat untuk keluarga Hamzah di serang. Aku pun kebagian menulis surat untuk anak isterinya. Aku bingung apa yang akan aku katakana dalam surat itu. Lama setelah berfikir akhirnya aku putuskan untuk menulis pesan yang dibagian akhir kalimat dari surat itu aku katakan : Syahid Hamzah telah mengabdikan dirinya untuk agamanya. Kebahagiaan hidupnya bersama Ukhti Huna membulatkan tekadnya untuk menanti lebih dulu di Raudathul jannah[4].
Sebuah pesan yang tak lebih sindiran kepadaku. Sebab aku didahului olehnya pergi kesurga. Hamzah adalah orang yang tahu banyak tentang aku. Karena aku sendiri yang menceritakan kisahku kepadanya. Saat itu untuk mengusir kepenatan saat kami sedang mendapat tugas jaga di camp latihan para suhada di Pakistan, aku berbincang bincang dengan Hamzah, bercerita tentang diri sendiri.
Hamzah mengatakan kalau ia rindu dengan isteri dan anak anaknya. Ia mempunyai dua orang anak. Sewaktu ia berangkat ke Pakistan anak yang paling kecil masih menyusui  oleh Uminya. Ia juga rindu dengan salak, emping melinjo dan petai kota Serang. Selesai berceita tentang keluarganya ia pun bertanya tentang pacar atau calon isteri. Aku hanya tersenyum, kenapa pada saat situasi yang genting itu, dimedan perang masih sempat sepatnya ia memikirkan hal itu. Tapi akhirnya aku tanggapi. Karena seingatku aku baru sekali menjalin hubungan, maka aku ceritakan hubunganku dengan Robiatul adawiyah[5] yang berakhir  tragis.
  


[1] Salah satu sudut tempat dikawasan kecamatan Bekaksi Utara
[2] Menurut pamanku, Hamzah adalah sorang mujahidin sejati yang dating ke Afganistan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang pergi keluar negeri untuk belajar ia malah ikut menjadi mujahid melawan tentara militer Rusia. Ia gugur dalam penggempuran tentara Rusia disebelah  barat kota Kabul.
[3] Abu Hanni adalah komandan Mujahid asal Palestina, begitulah ujar pamanku yang pernah bejuang sebagai mujahid disana tentang kejadian itu.
[4] Taman surga
[5] Ia adalah angkatanku pada saat aku di MAN I Kota Bekasi, ia memutuskan aku dan pergi bersama pacarnya, setelah bebrapa bulan kuterima suratnya ia putus dengan pacarnya dan ingin kembali kepadaku, setelah itu ia meninggalkan aku lagi dan menikah dengan seorang dokter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar