Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Spiritualitas Ramadhan


Spritualitas Ramadhan
Oleh:
Muammar Khadafi

Ramadhan ini rasanya ramadhan terberat dalam hidupku, ingin rasanya aku tidak mengeluarkan  kata pengeluhan ini, tapi sudah beberapa tahun ini penyakit ini menggerogoti isi raga ini. Setelah pernikahan temanku dibangku sekolah dulu aku mulai tahu hal ikhwal dan gejala penyakit ini. Sudah beberapa tahun itu pula aku mencoba melupakan penyakit ini. Mulai ramadhan ini ku isi dengan kebahagian bersuka cita bersama keluarga dan keponakan keponakanku yang lucu lucu. Hari ke 21 ragaku runtuh, kondisiku melemah, penglihatanku kabur jalanku menjadi tertatih, tubuhku gemetar tidak karuan. Mungkin di ramadhan yang mulia ini Allah sedang menguji aku. Rasa rasanya baru kemarin aku melantunkan ayat suci al Quran hingga mataku belum terpejam sampai ibuku membangunkan aku untuk bersantap sahur. Rasanya baru kemarin aku bersyujud dikeheningan malam atas nama kecintaanku pada Mu yaa Allah. Tapi kini kenapa kondisi ini Engkau tebalikkan 180’. Kau baringkan aku, kau kaparkan aku dan ditemani oleh obat obat penahan rasa sakit ini.
Tiba tiba suhu panas badanku naik sangat tinggi, kepalaku rasanya berputar putar hingga aku tak sanggup berdiri, semua terasa senyap, gelap, mungkinkah aku sudah mati?. Entahlah , mungkin penyakit ini sudah memisahkan ragaku dari jiwaku. Apakah ini yang dikatakan Azzauzani dalam kitab ruhnya. Mungkin ini akhir dari kehidupanku dan awal dari kematianku. Aku bahkan belum mengucap salam perpisahan untuk ibuku tercinta yang dengan rahmat Allah memberikan kasih sayangnya kepadaku, aku bahkan belum mencium kedua telapak tangannya  tanda kesurgaanku disana. Aku belum memeluk erat tubuh beliau yang renta yang hampir habis dimakan jaman.
Jiwaku diawang awang diantara hamparan langit yang luas, ini hanya baru dugaanku saja langit karena begitulah aku mentafsirkan gambaran itu, warnanya biru, teduh menyelimuti disekitarku, rasa rasanya aku masih melayang layangdiantara langit langit itu. Hatiku begitu takut, tubuhku gemetar dimakan cahaya itu, cahaya itu semakin mendekat, semakin mendekatiku dan membakarku hingga lebur. Kejadian itu berulang ulang aku alami hingga aku mengerang kesakitan. Atas nama Allah aku mohon ampun, kata itu keluar dari mulutku, yaa Allah kasihanilah aku, kasihanilah aku, kasihanilah hambamu yang penuh dosa ini tapi cahaya itu masih membakar jiwaku, aku kesakitan tiada tara, cahaya ini lebih panah dari api dunia yang pernah membakar kulitku sewaktu aku kecil, lebih sakit lebih perih lebih dari segalanya.
 Ratusan kali bahkan ribuan kali cahaya itu mebakar jiwaku, sudah tak terhitung rasanya aku menangirs mengerang kesakitan yang sangat tak terhingga, aku dihancurkan, lalu aku dijadikan lagi, aku dihancurkan, aku dijadikan dan begitu seterusnya berulang ulang.
Tiba tiba cahaya itu berhenti membakarku, tiba tiba pula datang seorang lelaki tua renta memberikan salam kepadaku seraya membawakan aku beberapa teguk air minum hingga air itu membasahi tenggorokanku. yang kering Sekujur tubuhku rasanya sejuk lebih sejuk embun dipagi hari, airnya manis lebih manis madu dan gula yang selama ini aku rasakan, dan airnya haru lebih harum dari wewangian yang pernah aku cium baunya. Orang tua itu tersenyum padaku. Kata kata orang tua itu lembut lagi arif dan bijaksana, wajanya cerah walau raut tuanya masih terlihat, sesekali ia mengusap kepalaku seraya tersenyum simpul padaku hingga giginya yang putih itu terlihat oleh pandanganku. Lidahku kelu untuk mengucapkan rasa terimakasihku padanya, pandanganku masih terpanah atas cahaya yan menyelimuti jubahnya yang putih itu. Hatiku bertanya Tanya air apakah yang beliau berikan kepadaku itu, yang baunya masih tercium hingga sekarang.
Orang tua itu seraya berkata “air itu sari pati dari amal amal mu”, aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepada beliau “ begitu sediktkah amalku didunia selama ini”. Orang tua itu terdiam sejenak “amalmu sebenarnya banyak, tapi semua amalmu dilingkupi oleh rasa ria dan hasad dari hatimu”.
Mendengar kata kata itu hati bergetar, jiwaku lemas tanpa daya entah kenapa hati merasa sangat sedih sekali mendengar kata kata itu, air mataku keluar tak karuan, aku begitu sedih.
Orang tua itu pun tersenyum padaku seraya menunjuk kesatu arah “disana engkau akan mendapatkan hadiahmu selama ini”, ia menunjukk kesuatu bangunan yang sangat kokoh pintunya terkunci rapat dan mustahil aku bisa membukanya seorang diri. Aku hampiri pintu, aku dorong pintu itu sekuat tenagaku tetapi tidak menggoyahkan sama sekali, pintu itu bagai pintu benteng romawi yang terbuat dari kayu trembesi. Aku masih mencoba untuk membukanya, kudorong dorong sekuat tenaga, pintu itu begitu kuat hingga akhirnya aku tersungkur tak kuasa, derai air mata mengalir tiada henti dari mataku tanda kesedihanku hingga nafasku tersengal sengal karena begitu sedihnya. Entah dari mana datangnya makrifat itu lidahku mentasbikan asma Allah, menzikirkan nama Nya, aku pun bersalawat atas Nabi. Orang tua itu terlihat tersenyum padaku ”Setelah kamu berzikir kamu lanjutkan dengan membaca surat Ar rahman dan waqiah”. Seperti intruksi orang tua itu, aku pun membaca apa yang ia suruh aku membaca kedua surat itu sambil bercucuran air mata, entah kenapa hatiku merasa sangat sedih sekali mengalunkan kedua surat tersebut, diakhir surat Waqiah aku terlunglai lemas tak berdaya tapi aku merasakan pintu yang kokoh itu terbuka, aku melihat seberkas cahaya yang sangat sejuk, putih bersih, menyinari wajahku. Orang tua itu pun berkata kepadaku “Lihat apa yang engkau dapatkan dimalam 23 ini”. Aku merasakan cahaya, cahaya yang sangat megah dan seketika itu ia menghilang. Saat itulah aku terbangun dari sujud sujud panjangku disajadah ini, ternyata aku bermimpi dimalam 23 dibulan ramdhan ini setelah aku salat malam.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar