Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Sekelumit Tentang Aku

SEKELUMIT TENTANG AKU

Entah dari sisi yang mana orang menilaiku sebagai laki laki yang sombong. Apakah karena mereka  itu pernah mendengar kalau aku pernah mengucapkan kata kata yang sulit difahami? Atau apakah karena mereka pernah melihatku merendahkan kedudukan orang lain? Atau apakah karena aku jarang menyapa orang terlebih dahulu? Saat ini begitulah yang kudengar, orang menyebutku sebagai laki laki sombong.
Demi Tuhan, rasanya aku bukan dilahirkan untuk menjadi manusia yang angkuh atau sombong. Ayahku adalah seorang laki laki biasa yang tidak pernah meminta perlakuan istimewa dari lingkungannya. Ia seorang petani yang selalu tawadhu dengan hasil yang diperolehnya. Dan ibuku hanya seorang perempuan desa, yang kelebihannya hanya bisa mengurus anaknya yang berjumlah delapan, perwatakan ia sangat sabar walau ia tidak pernah mengecap baca tulis tapi ia sangat mengetahui bagaimana manajemen mendidik anak yang baik hingga anak sudah pada sarjana.
Aku sendiri merasakan kesederhanaan kedua orang tuaku didalam diriku. Dari ayahku aku mewarisi kesederhanaan, dari ibuku aku mewarisi sifat pendiam. Ketika masih kecil aku bukanlah anak yang rewel. Aku biasa diberi uang jajan dua ratus rupiah. Ibuku selalu mengatakan: Kalau pengen kenyang, waktu istirahat, pulang ajah kerumah. Sekolahku memang sangat dekat dari rumah, dengan hanya berlari aku hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk mencapainya. Memang, sebagaimana manusia normal, aku sering ngambek. Tapi itu tidak sampai memecahkan gelas atau piring. Paling paling, untuk meredam kemarahan orang tua aku pergi kesawah untuk mencari ikan.
Di lain pihak, ayahku tidak pernah meladeni pengaduanku kalau aku minta duit untuk jajan diwarung. Pernah aku dipukuli dengan sabuknya sampai sampai sekujur badanku memar. Sewaktu itu ayahku naik pitam, ia marah besar dan ia memukul pantatku dengan sapu lidi yang sangat panas rasanya terkena kulit. Sejak saat itu aku tidak mau berurusan dengan ayahku yang sangat keras perwatakannya. Hingga ia meninggalkanku pada saat aku berusia delapan tahun.
Ada beberapa hal yang membuatku kelihatan sombong, pertama, aku terlihat sombong karena kau jarang sekali bercanda dengan orang yang belum kenal akrab. Kedua, aku kelihatan sombong karena aku tidak meiliki wajah yang kelihatan ramah, dan jarang tersenyum. Wajahku kasar, penuh kerutan dan tidak sensual. Meskipun kutahu senyumku memang tidak jelek jelek amat, bahkan bisa membuat kaum hawatidak bisa tidur dua hari dua malam, tapi bukan karena lantaran malihat mukaku tapi mereka sawan[1] melihat mukaku yang jelek.
Hal lain yang membuat penampilanku agak mengecewakan adalah masa laluku. Kekecewaan itu muncul dalam roman air mataku yangtak ramah. Ceritanya, sewaktu aku meninggalkan pesantren pada tiga tsanawiyah, jujur pada saat itu aku tidak kerasan dipesantren karena hukuman yang bagiku tidak manusiawi, bayangkan hamper setiap hari aku dan teman temanku “sarapan” dengan rotan para pengurs PPA[2] yang begis bengis itu dikarenakan aku tidak pergi muhadharah malam. Cerita lucu lain, pada saat eksekusi rotan, ada berbagaimacam cara yang dilakukan para santri, ada yang pura pura kencing kekamar mandi pada saat pelajaran menghapal mahfhuzat, ada yang memakai beberapa lapis celana dengan harapan tidak sakit pada saat penggebukan rotan kepantat. Itulah cerita lucu yang sampai saat ini aku tidak bisa lupakan, kalau aku ingat kejadian itu pasti aku tersenyum simpu sendiri.
Alasan lain yang mengakibatkan aku “cabut” dari pesantren, aku ingin memiliki pandangan yang luas akan ilmu tidak terkungkung oleh paradigma ortodok para ulama yang tidak mau dikoreksi  pada saat ia melakukan kesahan, ia bersembunyi dibalik jubah yang bernama agama.
Sebetulnya aku mempunyai selera humor yang tinggi dibalik kesombongan yang selama ini orang lain tafsirkan tentang aku. Ini ku ketahui ketika kau diundang dalam acara perkawinan seorang teman. Entah bagaimana mulanya tiba tiba aku bercerita tentang penganten baru yang kentut. Orang pun tertawa terpingkal pingkal ketika seritaku sampai pada bagian akhir. Khususnya teman teman perempuan yang selama ini memandang aku berkepribadian kaku, sombong, dan kasar. Teman teman perempuanku baru mengetahui aku bisa bercanda, mereka langsung pamit kebelakang karena tidak tahan kencing setelah ceritaku selesai. Ceritanya memang lucu dan sedikit jorok. Dimulai ketika sepasang penganten baru berbuat “anu” diatas ranjang. Tengah asiknya mereka bergumul memadu kasih, tiba tiba si suami seperti mendengar suara kentut. Sang suami menuduh istrinya, tapi istrinya membantah. Merekapun melanjutkan pergumulannya. Tapi, baru saja babak kedua dimulai terdengar lagi suara mirip kentut. Ketika si suami menuduh lagi istrinya tetap saja membantah tuduhan itu. Pertangdingan suami istripun di lanjutkan, maklum tanggung. Tapi, suara yang mengganggu itu terdengar lagi. “Pasti, siapa lagi kalau bukan kamu yang kentut”, tuduh suami kepada istrinya. Si istri jengkel bukan main dituduh yang bukan bukan oleh suaminya. “Maling kali yang kentut”, jawabnya sambil menggerutu. Kebetulan, di kolong tempat tidur penganten baru ada pencuri yang sedang bersembunyi. Si pencuri tidak terima dituduh mekaukan apa yang tidak dilakukan, merasa tidak bersalah ia pun keluar dari persembunyiannya. “Sumpah, kalau saya tidak kentut, wong saya Cuma bersembunyi”. Tapi setelah kejadian itu pencuri itu menyesal. Coba kalau dia tidak ngotot, dia pasti sudah menggasak seisi rumah penganten baru itu. Setelah pengakuan itupun pencuri itupun ditangkap dan diserahkan kepihak yang berwajib.
Itulah sekelumit cerita yang membuat pandangan teman temanku berubah tentang aku yang dahulu kaku, menjadi aku yang humoris hingga sampai sekarang ceritaku ditunggu oleh teman teman seangkatan pesantrenku, itulah sekelumit tentang aku.



[1] Perasaan takut atau ngeri pada sesuatu.
[2] Persatuan Pelajar Attaqwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar