Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Untuk Ibunda Tercinta

Catatan Untuk Ibu Tercinta
Muammar Khadafi

Wajahnya malam itu begitu muram durja, raut mukanya mempasi, tatapan matanya kosong menatap masa hari esok. Sekujur tubuhnya lemah, kedua kakinya kadang bergetar tidak karuan menahan ketakutan masa yg ada di di depan matanya. Perawakan yg kurus membuat yg menatap raganya mungkin beriba padanya. Ia wanita setengah tua, beranak delapan. Sudah 2 minggu ini ia jatuh sakit, tidak enak makan, tidak enak tidur, yg ia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar yg mulai berbau pengab.Yang ia lakukan hanya tidur dan merenung menerawang jauh ke masa depan, mungkin yg ia pikirkan tentang nasib hidupnya yg ia ratapi begitu jelek, mungkin juga ia sedang berfikir bagaimana melanjutkan hidup dengan ke 8 anaknya yg masih butuh kasih sayangnya.Sepeninggal suaminya seminggu yg lalu ia berubah drastis, dahulu wajahnya dahulu di penuhi dan di hiasi senyum, karena ia bisa dikatakan perempuan yg ramah pada keluarga maupun dengan orang yg ia baru kenal. Dahulu sebelum suaminya meninggalkannya, ia adalah ibu rumah tangga yg baik, mendidik anak anaknya dengan kejujuran dan keteladanan walau ia tidak bisa membaca dan menulis karena tidak pernah mengenyam pendidikan formal tapi ia tak kurang seperti guru bagi anak anaknya. Setelah merawat suaminya yg sakit panjang hingga menghembuskan nafas yg terakhir ia masih menjadi wanita yg sabar walaupun ia masih di lilit utang karena untuk biaya sakit suaminya itu. Gurat gurat tua sudah mulai nampak pada kelopak matanya yg agak sembak membengkak, mungkin karena ia terus menangis, meratapi meninggalnya suaminya itu.Ia bagai kehilangan pegangan hidup, kini tulang punggungnya telah tiada, sekarang ia menjadi orang tua tunggal yg harus menghidupi ke 8 anaknya yg masih kecil kecil.Hidupnya mungkin kini penuh dengan keputus asaan, bagaimana Tuhan menggariskan jalan hidupnya begitu pelik.Pikirnya sekarang mungkin telah membatin, susahnya hidup sedang ia bayangkan saat ini, sepintas dalam benaknya ingin mengakhiri jalan hidupnya tapi ia urungkan dimi anak anaknya.Air matanya pun meleleh dan membasahi pipinya bila ia ingat tentang suamin tercintanya, mungkin hanya air mata itu saja yg dapat menerjemahkan perasaannya sekarang.Benaknya terus menerawang jauh, apakah ia sanggup menghidupi anak anaknya, mensekolahkannya, dan membesarkannya, pertanyaan pertanyaan itu terus muncul dalam benaknya hingga membuat kepercayaan dirinya kembali pesimis.Bagaimanapun juga ia seorang wanita, lemah dan tidak berdaya. Kerinduan akan suaminya terus menggelayuti hati dan pikirannya. Aku yakin ia sangat mencintai suaminya hal itu ku tafsirkan ketika melihat bulir bulir air matanya yg terus menetes dari kelopak matanya. Seperti kata penyair yg patah hati, sakitnya patah hati ditinggal orang yg paling kita cintai lebih sakit dari kematian, lebih perih dari di iris sembilu.Mungkin benar apa yg di katakan Laila Majnun 'Mati itu lebih baik dari pada hidup tersiksa di tinggalkan orang yg kita cintai'. Dengan niat yg tulus wanita itu berupaya bersikap optimis, jalan dimata manusia memang curam tapi belum tentu di mata Tuhan, Tuhan tau mana yg terbaik untuk kita, mungkin ini sudah jalan hidupnya.Dengan setengah keyakinan dan setengah keraguan ia mencoba menghadapi realita hidup.

Air mataku bercucuran ketika menatap wajah ibu, bila mengingat masa yg lalu ketika ia bersusah payah membesarkan anaknya menjadi dewasa. Ibu engkau adalah manusia baja, tak lekang dimakan arus jaman, kasih dan sayang mu lebih luas dari samudra, lebih megah dari semesta. Diantara nafas hidup dan mati kami di lahirkan dari rahimmu yg suci, diantara hidup dan mati kami lahir kemuka bumi ini, engkau dimensi jiwa yg tak pernah lelah mendidik dan mengasuh kami. Air mataku terus menetes saat menuliskan kata kata ini, tak ada kata yg lebih indah dan agung dari manusia selain kata ibu.Kini anak anak mu telah tumbuh menjadi dewasa, mereka tumbuh menjadi insan yg berpengetahuan.(Untuk ibunda Farida Aswad Tulisan ini ananda dedikasikan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar