Powered By Blogger

Senin, 28 November 2011

Negara Darussalam


Negara Darussalam.
Oleh Muammar Khadafi

Setelah hampir setengah abad lebih kita mengenyam kemerdekaan sudah saatnya kita harus berfikir visioner (kedepan).  Pikiran  yang melilit kita atas nama perbedaan harus kita buang jauh jauh, kebencian, hasad, dan dengki seharusnya kita buang jauh dari hati kita. Sebagai insan yang beragama sudah seharusnya sikap kita mencerminkan orang yang beragama pula, namun kenyataan itu harus kita lihat serealistis mungkin. Dalam waktu dekat lalu, dalam masa menyambut tahun baru Islam yang kita kenal pula dengan kalender Hijriyah, saya menyayangkan seorang yang katanya beragama berteriak-teriak atas nama agamanya, perkataannya penuh kebencian dan sesekali provokatif. Kata- katanya terdengar seperti orang yang beragama, saya amat menyayangkan sekali tentang peristiwa itu. Sebagai orang yang beragama dan mengerti esensi agama, sebenarnya tidak layah dan tidak bijak bila ia berkata kata dengan penuh kebencian, karena agama manapun tidak mengajarkan kebencian walau dengan alasan apapun. Islam sebagai ‘Rahmatan lilalamin’ sudah seharusnya menebarkan ‘virus-virus’ perdamaian.
Dalam isue-isue ke-Islaman pula, kelompok yang sering dikatan ‘islam garis keras’ mengangkat isue tentang negara Islam ‘Darrul Islam’, istilah ini mungkin akrab ditelinga kita. Kalo boleh saya katakan negara Islam tidak cocok bila diterapkan di negara manapun tidak terkecuali dengan Indonesia dalam hal ini, kenyataan ini tidak saya katakan tanpa dalil dan dan kenyataan logis. Kita mungkin masih ingat tentang ‘revolusi melati’ yang melanda timur tengah, negara Islam tidak selamanya ideal bagi konstitusi negara. Negara Islam  juga belum tentu pilihan yang ideal bagi ideologo negara. Bila negara Islam diterapkan di Indonesia diterapkan di Indonesia terlalu banyak hal yang perlu dipertimbangkan, dari perbedaan budaya karena Indonesia adalam negara multikultural sampai lima agama yang harus di akomodir dengan baik sebagai mahkluk beragama.
Yang ingin saya katakan disini, negara Islam saya pandang bukan merupakan produk yang ideal bagi sebuah negara, saya malah lebih condong dan setuju dengan pendapat KH Said Aqiel Siroj tentang idiologi neraga yang berkeinginan dan mencita-citakan negara Indonesia sebagai negara ‘darussalam’ (negara yang penuh dengan kedaian dan keselamatan). Negara  darussalam dipandang perlu untuk mencapai idiologi politik yang balance dan seimbang. Hal yang percuma bila kita bernagara Islam namun konstitusi dan moral negarawannya tidak mencerminkan nilai nilai ke islaman, saya bahkan masih ingat ujaran tokoh agama budaya sekaliber Caknun yang berujar ‘di Inggris itu orang Islam itu jarang, tapi Islam ada dan berkembang subur disana’. Percuma bila banyak orang Islam namun tidak mencerminkan Islam.  Maris  bercermin pada hati kecil kita, kita memang Islam apakah kita sudah mengamalkan nilai nilai ke Islaman?.

Minggu, 20 November 2011

Umi Kalsum Malang

Sebuah Catatan Untuk Umi Kalsum
Oleh
Muammar Kahadafi


Sudah beberapa hari ini nama gais itu tak pernah ku sebut lagi dalam pergaulan dengan teman temanku. Namanya seraya menghilang ditelan perasaanku, mungkin karena rasa takutku untuk menyakiti dan mendekatinya. Umi Kalsum, nama yang selama ini dalam hati aku puja dan damba, putrid Haji Tabrani dari desa sebelah. Tapi diam diam namanya menyebung keluar dari didalam hatiku malam ini.

“Apa kabar dengan Umi Kalsum?”. Setelah pertemuan kami terakhir itu, aku tidak dapat bertemu ia lagi. Malam itu sengaja aku memberanikan diri menemui dirinya setelah ta’lim Kiai Noer, malam itu aku coba ikhtiar untuk mendekati dirinya. Aku berniat untuk mengantar Umi Kalsum pulang ba’da ta’lim Kiai Noer. Diam diam aku menungguinya didepan Surau pesantren tepat dibawah pohon trembesi yang rimbun itu, berharap untuk dapt menjumpai dirinya sepulang dari mengaji. Setelah beberapa lama aku menungguinya dan ditemani dengan gigitan ‘nyamuk kebon’ yang lumayan membuat kulit ku terasa gatal, akhirnya ia keluar bersama jamah ta’lim. Akupun cepat cepat menghampirinya.

“Asslamulaikum”, tegurku dengan lembut seraya memberi salam kepadanya. “Alaikumsalam”jawabnya dengan penuh keimanan dan ketawaduan. Suaranya lembut bagai ayat suci yang dialunkan dengan tidak berkesudahan. Aku terdian sejeak diam sejuta bahasa, terpaku seperti yesus yang tersalib atas nama ruh kudus. Aku tepesona dengan teduhnnya wajahnya, ayunya parasnya, birunya matanya, serta jilbabnya yang menuntai menutupi semua anggota auratnya. ‘Astagfirullah”, aku mencoba melepaskan jerat pandangan setan.

Ku beranikan hati dan diri ini untuk mendekatinya, aku beranikan untuk berkata sepatah kata demi untuk memuluskan niat hatiku untuk mengantarnya pulang. Betapa gembiranya aku saat ia mengiyakan dan menganggukan kepalanya saat aku ajak pulang bareng dimalam itu. Akupun langsung menancap gas sepeda motor Supra kesayanganku. Di keramangan malam kami pun hilang dianta deru rota sepeda motor. Dalam perjalan itu pun tidak aku sia siakan, selama perjalan itu kami bercakap cakap, bersenda gurau, walau kali itu pertama kami bertemu. Hatiku mengembang tidak terkira, bahagia ini telah dipelupuk mataku, rona wajahmu membuat aku yakin bahwa engkaulah gadis yang selama ini diciptakan Allah dengan sangat sempurna untuk ku. Terimakasi yaa Allah, mungkin inilah jawaban atas munajad yang selama ini aku panjakan tas nama-Mu. Namanya yang selama ini aku zikirkan dalam sajadah cinta kini ada disampingku

Sejurus perjalanan kami,  dari arah yang kami tuju ku lihat ad sosok tinggi kekar berdiri tegap ditepi jalan mengawasi kami. Ia berdiri tak jauh dari gerbang rumah Umi Kalsum. Mukanya masam bagai orang yang akan melumat santapan mangsanya. Dalam keremanagn itu aku tidak melihat jelas siapa sosok itu sebenarnya. Tetapi ketika Umi Kalsum meminta mendadak untuk menghentikan laju sepeda motorku, aku berkeyakinan bahwa ia adalah orang yang Umi Kalsum kenal. Langkah Umi Kalsum meninggalkan ku menuju arah sosok itu begitu cepat. Tanpa banyak bicara apa apa, aku lihat sebuah tangan mendarat tepat diwajah Umi Kalsum, Umi Kalsum menjerit kesakitan dan berhamburan masuk kerumah.

“Siapa kau?, berani berani bersama anak gadisku?”. Oarng tua itu membentak seraya menajmkan matanya kearahku, dengan geramnya ia mencekik leherku, setengah takut akupun menhindari cekikan itu. “Saya temannya Umi kalsum Pak!” , aku mulai jelas melihat wajah sosok itu, ternyata orang tua itu adalah Ayahanda Umi kalsum. Setengah sopan tan rasa takutku akupun memberanikan diri memberi salam dan mencium tangannya. Betapa kagetnya aku ketika ia memalingkan tanganya tanda ia menolak salamku. “Kau anaknya Aswad kan, anak pedagang sayur itu”, aku langsung mengangguk saat ia menyebut nama orang tuaku. “Kenapa kau berani beraninya jalan berduaan dengan anak gadis keyanganku, aku haramkan kau bergaul dengan anak dan keturunanku, dasar anak petani, sudah punya apa kau hingga berani berani mendekati putriku?”. Betapa kagetnya aku mendengar caci makinya, bagai tersambar petir mendengarnya. Tapi aku tidak berani menimpali sumpah serapahnya itu, hal itu aku lakukan demi Umi Kalsum yang aku punya. “Awas sekali kau dekati anakku, ku ganyang dan kulumat kau!”, orang tua itu setengah mengancamku.

Haji Tanah Abang itu begitu geram melihat dan mengusirku. Hatiku dibuat kesal dengan caci makinya. Aku berfikir apakah ini wajah asli dari Haji tanah Abang itu?” . orang orang dikampung memberikan gelar haji tanah Abang, karena waktu haji dulu ia hanya berkeliaran dan plesiran disekitar wilayah tanah Abang dan baru kembali menggambungkan diri dengan jamaah haji yang baru pulang dari Mekah. Tapi rahasi disiamkan itu akhirnya jadi popular juga di kampung, seperti halnya bangkai walau ditutupi serapat mungkin toh akan tercium juga baunya.

Sesudah haji tanah abang itu meninggalkanku didepan rumah itu untuk masuk. Dari dalam rumah terdengar suara kegaduhan, terdengar jelas rintihan dan tangis gadis yang selama ini aku puja. Rintihan dan tangis Umi Kalsum bagai menyayat hati sembilu. Umi Kalsum melolong kesakitan saat tangan tangan kasar itu mendarat diwajahnya. Aku mencoba membayangkan keadaan Umi Kalsum sekarang, mungkin wajah yang bagai purnama Lailatul Qadar itu sudah membiru terkena tamparan haji tanah abang itu. “Ampun Abi’, ampun Abi”. Hatiku luluh dan leleh seperti semen yang tersiram air, Umi kalsum yang selama ini ku kasihi sekarang menjadi korban kekejaman bapaknya yang durjana. Dan air mataku ini mungkin menjawab seberapa menderitanya ia saat ini.

Tiba tiba hatiku menjadi geram, kesal, dan benci menyelimuti hatiku. Manakal aku bayangkan haji durjana itu. Rasanya aku ingin dating menyelamatkan Umi Kalsum dari cengkraman bandot tua itu. “Dasar haji Durjana, tidak ingatkah kau bahwa yang kau sakiti sekarang adalah darah dagingku sendiri”. Umpatku kepadanya dalam hati. Akupun bergegas pulang meningalkan rumah Umi Kalsum.

Orang kampung mengenal haji Tabrani sebagai orang yang ringan tangan, kasar, dan sering bersikap arogan. Ia juga dikenal kikir, pelit. Akupun pertamanya tidak percaya akan kabar itu, bahwa ia katanya jarang sembahyang dan sebagainya. Dibulan puasa pun ia tak pernah terlihat di surau untuk taraweh dan tidak berpuasa. Pada bulan itu ia sering tertangkap mata sedang asik nongkrong dirumah makan dekat pasar. Seorang temanku bahkan pernah bercerita bahwa ia pernah memegoki haji laknat itu sedang asik makan dan merokok diwarung madura berpelayan janda kembang itu, padahal sebagian orang sdang bepuasa ramadhan. Tapi muka para santri dan para haji diSurau Kiai Noer ia selalu bermanis manis dan berlaku seperti orang laim. Mungkin itu untuk menutupi kebusukannya.

Sedangkan anak perempuannya diharuskan bekerja keras dirumah, diwaktu malam anaknya dipaksa bergadang semalaman untuk memilihkan gabar dari beras, maklum haji Tabrani adalah juragan beras dikampung kami. Anaknya tidak diperbolehkan untuk bergaul dan keluar rumah. Kecuali saat mengaji disurau Kiai Noer anaknya diperbolehkan keluar rumah. Kerapkali itu juga anaknya menjadi korban tangan ringannya ketika anak gadisnya terlambat pulang mengaji. Anak gadisnya menggepar gelepar seperti ayam yang disembelih ketika tangan kasarya mendarat diwajah anak gadisnya.

Haji laknat itu  bahkan bercita cita agar semua anak gadisnya dikawini dengan orang berduit tidak peduli anaknya itu dimadu, seperti putri tertuanya yang bernama Latifa, ia dijodohkan dan dinikahkan oleh lelaki beristri yang udah uzur dan bau tanah. Tidak terkecuali dengan Umi Kalsum, bahkan setelah kejadian malam itu aku mendengar selentingan bahwa Umi Kalsum akan dinikahkan oleh orang seberang beristri tiga. Kabar ini aku dapat dari teman baik Umi Kalsum, Zainab teman sepengajian di ta’lim Kiai Noer.

Pada suatu hari dari sekian banyak hari tanpa mendengar kabar berita Umi kalsum. Aku menerima secari surat dari Umi kaslum yang dititipkan murid TPA ku :


Assalamulakum……..
Salam beserta kasih mudah mudahan kakak selalu  dalam lindungan Allah…
Sudah sejak lama rasanya aku ingin mengungkapkan perasaan ini, tapi jujur aku tak mampu mengutarakannya kepadamu. Udah sejak lama rasanya aku menasbihkan namanmu dalam doaku, ketika zikir, dan pikirku menyatu dalam keheningan malam doaku
Walau kita baru berkenalan, dan aku baru mengenalmu, tetapi debaran dan getaran hatiku aku yakin seirama dengan hatimu. Betapa bahagianya aku ketika melihatmu menghampiri diriku setelah malam ta’lim di Kiai Noer, malam itu begitu indah dan special bagiku. Malam itu aku sangat menikmati kebersamaan kita. Zainab, bercerita banyak tentangmu, setelah malam satu sura itu ketika itu engkau mengalunkan salawat atas Nabi, aku mulai menyukaimu wahai mataraiku…
Kapadamu aku kirimkan seberkas salam terindah, entah dari mana aku mendapatkan wahyu untuk menyusun kata kata ini, untuk ungkapkan segala perasaan yang hampir meledak didada ini, saat kau membaca surat, anggaplah aku sedang ada dihadapanmu dan mengharap iba ditelapak kakimu wahai pemudaku.
Sejak rasa aman ku hilang direnggut orang tuaku. Mungkin kau sudah mendengar bahkan melihat langsung dikejadian malam itu…..
Sejak malam itu aku tidak mempunyai siapa siapa selain Allah dihatiku, dan engkaulah orang pertama yang menggetarkan hati ini, ketika malam itu engkau menyairkan lagu “ Gonilli” malam itu juga aku terbius akan rasa mahabbahku padamu.
Aku tau sejak malam pertemuan itu, kau mungkin menitikkan airmata atas namaku, memang begitulah kelakuan Abi ku selama ini. Ketika orang disekitarku tidak peduli dengan rasa amanku, namun engkau dating dengan harapan surgawi itu…
Malam itu mengira bahwa aku tidak mempunyai siapa siapa hingga aku hampir mengakhiri hidupku. Aku nyaris putus asa, dan hampir mengetuk pintu neraka yang selama ini terkunci rapat, seketika setan hampir mengelincirkan aku dengan rasa sedih yang tidak berkesudahan ini, namun engkau dating dengan secerca harapan…
Anggaplah saat ini aku sedang bersujud dan mencium kedua telapak kakimu dengan air mataku seraya memohon agar engkau melepaskan belenggu ini. Jika engkau berkenan dan mengizinkan aku ingin menjadi budakmu, ikut kemana langkah kakimu, patuh akan titah dan perintahmu, mengabdi dengan ketulusan dan rasa cintaku padamu.
Menjadi budak orang soleh mungkin lebih baik bagiku disbanding menjadi putrid raja yang durjana ini.
Saat ini aku dirundung kesedihan yang tidak berkesudahan, aku takut akan bapakku yang kasar itu, aku bahkan akan dijualnya dengan bandot trua yang bau tanah itu.
Jujur aku merasa siada pantas utuk kau miliki lagi, kehormatan yang selama ini aku sucikan untuk calon suamiku kini telah direnggut oleh tua laknat itu, tetapi rasa iba dan empati yang sekarang ada dihati yang dialiri pancaran surga pasti mendengar jerit hati ini.
Malam ini aku telah terbakar, terbakar api asmaramu yang suci, aku mungkin sudah gila segila Laila yang Majnun akan cintanya. Aku dimabuk cinta seperti mahabbahnya Rabiah al Adawiyah dalam cintanya kepada Allah.
Sekiranya engkau berkenan membawaku pergi dalam neraka ini, aku sangat berterima kasih…

Dari orang yang mengharapkan pertolonganmu…..
Wassalam
Umi kalsum yang malang

Tak terasa air mata membasi kelopak mataku, aku seolah merasakan apa yang Umi kalsum rasakan, ia sangat ketakutan, rasa aman terenggut oleh orang tuanya sendiri. Aku seka airmataku, kulipat surat Umi Kalsum dan kumasukkan kedalam amplop semula.

Sore menjelang asar setelah terkirimnya surat Umi Kalsum itu, akuun memberanikan untuk dating kerumahnya. Betapa kagetnya aku ketika baru saja sampai didepan rumah Umi Kalsum.

Terdengar teriakan dan longlongan  teriak dan sumpak serapah dari dalam rumah. “Bangsat, dasar kau tua tua keladi, dikiranya aku pelacur yang seenak udengmu dapat dikotori”, terdengat suara sumpah serapah.

“Dasar laknat, tua bangka!” suara itu rasa rasanya aku mengenalnya, suara perempuan. Seketika aku melihat Umi Kalsum dengan wajah semeraut keluar dari dalam rumahnya. Karuan saja satu kampung dan tetangga sekitar gaduh. Tapi akhirnya dengan kesigapan warga sekitar Umi kalsum yang saat itu tidak mengenakan apa apa alias telanjang ditangkap dandikembalikan kedalam kamarnya.

Haji Tabranirupanya sudah kewalahan merawat anak gadisnya yang kini gila. Umi Kalsum yang dulu aku cintai kini telah gila. Hatiku begitu hancur melihat kenyataan ini. Andai saja sejak pengiriman surat itu aku ajak kabur pergi dari haji laknat itu, mungki tidak begini keadaannya, arasa sesalku kini tak bisa mengubah apa apa selain melahirkan penyesalan yang tidak terkira. Sore itu rumah Haji Tabrani dikerumuni orang yang ingin melihat langsung keadaan anak gadisnya

Setelah pertemuan itu aku tidak mendengar lagi Umi Kalsum. Selentingan kabar bahwa ia dibawa haji Tabrani kepulau Sumatra untuk diobati oleh orang pintar disana.

Kamis, 10 November 2011

Esensi Syukur

Esensi Syukur

Alkisah tersebutlah seorang Raja yang kaya dan perkasa namun pelit. Ia hobi berburu hewan. Ketika datang bulan purnama, dia keluar istana dilengkapi senjata tombaknya dengan mengendarai untuk berburu. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah kijang. Dia merasa tertantang dan adrenalinnya naik ketika mengejar kijang yang larinya begitu cepat dan lincah. Namun, Raja itu masih juga belum berhasil, sehingga membuat tambah penasaran. 

Saking semangatnya dia tidak merasa ketika kijang itu telah keluar jauh dari lingkungan istana, dan bahkan telah masuk ke padang pasir nan luas dan tandus. Berkat semangat dan kerja kerasnya akhirnya raja berhasil menangkap kijang dengan lemparan tombaknya. Setelah berhasil dia berhenti dan turun dari kudanya. Dia kaget bahwa perjalanannya telah jauh dari istana dan kini tersesat di padang pasir dalam keadaan capek, lapar dan haus yang tak terkira. Tak seorang pun penduduk di sana.

Dalam situasi demikian, maka satu-satunya harapan adalah menunggu musafir lewat untuk minta bantuan makan dan minum agar tenaganya pulih kembali lalu pulang ke istana. Demikianlah, setelah menunggu sehari semalam penuh dalam kondisi badan yang amat letih, lapar dan haus lewatlah seorang musafir yang ditunggu-tunggu. “Hai kawan, sayang senang sekali Anda datang. Kalau tidak, pasti saya akan menemui ajal di padang pasir ini akibat kehausan dan mayatku akan jadi pesta anjing-anjing liar,” katanya lirih. "Kalau boleh tahu, mengapa saudara di sini, sudah berapa lama, dan apa yang bisa aku bantu?" Tanya musafir. “Saya ini seorang Raja yang tengah berburu kijang lalu nyasar ke padang pasir. Semua bekalku habis, bahkan kuda yang saya kendarai juga pergi entah kemana ketika saya tertidur,” jawabnya.

Mengetahui bahwa yang tersesat adalah seorang raja, maka musafir tadi berubah pikirannya yang semula mau memberi minum secara gratis lalu terpikir untuk ditukarkan dengan uang. “Saya membawa makan-minum tetapi terbatas, sementara perjalanan saya masih jauh. Bagaimana kalau sebagian bekal saya ditukar dengan uang?" tanya musafir. Raja menjawab, “Kamu itu sungguh keterlaluan. Sudah tahu bahwa saya ini Raja, mestinya menghormati, tetapi  malah mencari keuntungan di tengah penderitaan orang lain?”.

Mendengar jawaban itu bukannya musafir menjadi kasihan, melainkan malah tersinggung. “Ya sudah kalau demikian, selamat tinggal, saya mau meneruskan perjalanan, semoga ada musafir lewat yang sudi menolongmu. Hanya saja harap tahu, belum tentu sebulan sekali ada musafir lewat daerah terpencil ini.” Mendengar jawaban musafir yang bernada kesal itu Raja pun hatinya melunak dan mengiba minta dikasihani dengan suara yang sudah sangat lemah karena kehausan. Di benaknya muncul bayangan yang mengerikan andaikan tidak mendapat pertolongan air, maka dia pasti akan mati konyol di tengah padang pasir.

Maka terjadilah dialog dan tawar-menawar harga antara musafir dan Raja yang berujung pada tawaran yang sungguh di luar dugaan Raja. “Karena engkau seorang Raja yang pasti kaya-raya dan memiliki banyak istana, engkau boleh mengambil separuh bekal makanan dan airku dengan imbalan istana. Kalau setuju, serahkan kunci istanamu, kalau tidak saya akan segera pergi meneruskan perjalanan.”

Raja kesal, namun tidak berdaya. Setelah tercenung cukup lama dengan kesehatannya semakin memburuk, akhirnya Raja setuju. Tak ada pilihan lain kecuali sebuah istananya mesti dilepas ditukar dengan air minum. 

Singkat cerita, setelah minum dan badannya segar kembali Raja pulang ke istana dengan jalan kaki berhari-hari baru sampai. Sesampai di rumah, sambil istirahat menikmati makan minum yang terhidang, dia berpikir, sebuah istanaku yang megah telah hilang hanya ditukar dengan beberapa botol air minum. "Selama ini saya tidak pernah menyadari, betapa nikmat dan mahalnya kenikmatan bisa minum secara leluasa yang harganya senilai istana," pikirnya.

Belum pulih benar kesehatannya, Raja itu terserang sakit yang membuatnya tidak bisa buang air kecil alias kencing. Mungkin akibat kelelahan fisiknya. Maka dipangillah tabib istana, namun hasilnya sia-sia. Tetap saja Raja tidak bisa buang air kecil. Akhirnya dibuatlah sayembara terbuka, siapa yang bisa mengobati sakit Raja akan memperoleh hadiah yang banyak. Maka datanglah silih berganti tabib yang berusaha mengobati, namun tetap juga belum berhasil. Seluruh aktivitas Raja terhenti gara-gara tidak bisa buang air kecil.  

Terakhir, datanglah seorang tabib yang penampilannya tidak meyakinkan, lalu menantang Raja yang kaya namun pelit itu. “Tuan Raja, saya akan berusaha mengobati penyakit tuan agar bisa sehat, perut tidak kembung serta lancar buang air kecil. Namun, ongkosnya mahal. Kalau sembuh, imbalannya sebuah istana, dan kalau gagal silahkan saya dihukum mati,” katanya. Karena tak lagi tahan menanggung sakit akibat tidak bisa kencing, tawaran tabib itu disepakati mesti dengan hati dongkol. Singkat cerita, ternyata Raja sembuh dan bisa buang air dengan lega dan lancar, namun dengan ongkos sebuah istananya berpindah tangan.

Lagi-lagi raja itu merenung, betapa nikmat dan mahalnya bisa minum dan buang air kecil secara leluasa yang nilainya seharga dua istana. “Gara-gara kehausan saya kehilangan satu istana, dan kini gara-gara tidak bisa buang air kecil hilang lagi istanaku yang lain,” keluhnya. "Mengapa selama ini saya tidak pernah bersyukur?," bisik Raja introspeksi. "Saya bisa makan, minum, dan tidur dengan nikmatnya tetapi tidak pernah saya hargai, bahkan saya selalu saja mengejar harta dan sangat bangga pada istanaku. Pada hal hanya dalam waktu sekejap istanaku hilang hanya karena ingin minum dan buang air kecil."

Sejak itu raja berubah sikapnya. Dijalaninya hidup dengan penuh rasa syukur dan senang berderma, sehingga rakyatnya yang semula benci berubah menjadi simpati. Ketika memandang makanan dan minuman yang terhidang, Raja berbisik pada diri sendiri, “Air minum ini nilainya sama dengan istanaku.” Ketika hendak masuk ke kamar kecil, dia membayangkan masuk istana. Kesehatan itu mahkota kehidupan yang lebih berharga ketimbang mahkota raja, tetapi seseorang baru menyadari memiliki mahkota yang demikian berharga ketika sakit. Haruskah sakit lebih dahulu untuk bisa mensyukuri anugerah kesehatan? Rayakanlah kesehatan setiap saat dengan berbuat kebajikan dan berbagi kebahagiaan pada sesama.    

Sabtu, 05 November 2011

Refleksi Idhul Kurban

Refleksi Idhul Kurban

Ibadah yang mempunyai nilai sosial yang tinggi adalah kurban. Dimana pada saat pelaksanaan idul kurban terefleksi semangat untuk berkurban antar sesama.Sekitar tiga juta jamaah haji sedang merefleksikan dirinya dalam dimensi wukuf di padang Arofah. Arofah sebagai manifestasi manusia atas kesetaraan di mata sang pencipta menciptakan manusia dengan kesetaraan yang sama, tak mengenal warna kulit atau apapun, kesetaraan inilah yang terlihat di mana para peziarah haji yang semua mengenakan kain ihram. Refleksi kesetaraan inilah yang membuat manusia seharusnya bermuhasabah akan esensi dirinya sebagai makhluk. Arofah, secara bahasa dapat di setarakan bagian dari kata aroftu, yang berarti mengenal, manusia dalam sisi ini seharusnya bermuhasabah siapa dirinya, berasal dari mana dirinya, pengenalan dirinya itulah yang akan menentukan arah keimanan diri seseorang itu, mungkin hal inilah yang mengalaskan wukuf sebagai dimensi terpenting dan puncak dari haji itu sendiri. Dalam dimensi lain, pengenaan kain ihram dalam perjalanan wukuf sebagai manifestasi dari kejadian yang di janjikan Allah pada yaumul akhir nanti, yaitu dimana manusia akan dikumpulkan di padang mahsyar nanti ketika hari pembalasan itu tiba.

Secara terpisah dimensi haji dijelaskan, haji merupakan perjalanan suci menuju jalan Allah, dimana kesabaran dan ketawakalan kita di tuntut dalam perjalanan ini. Haji merupakan perjalanan panjang dari seorang manusia menuju jalan Salikh, jalan Allah yang sangat berliku, dimana sepiritualitas kita di tuntut menjadi insan kamil.

Sementara Dimensi kurban yang tak pernah terlepaskan dari dua dimensi di atas, dimensi kurban begitu esensi ketika musim haji tiba, refleksi pengorbanan yang tercermin dari pengorbanan seorang ayah yang rela mengorbankan anak kesayangannya semata mata karena ia patuh terhadap perintah Tuhannya (refleksi sejarah Nabi Ibrahim as). Secara normatif kurban adalah suatu bentuk ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, namun secara secara filosofi kurban merupakan kerelaan hati untuk berbagi kepada sesama makhluk Tuhan, disinilah esensi kurban sebagai ibadah yang penuh nilai-nilai sosial, dimana ketulusan hati di tuntut dalam hal memberi dan berbagi dengan ikhlas. Nilai nilai sosial iniah yang seharusnya di pupuk secara berkesinambungan di tengah manusia yang diliputi sikap egois dan individualis.

Muammar Khadafi, 5 Nopember 2011.
Selamat Hari idhul Adha.
Lihat Selengkapnya
— di Tadabbur hati.