Powered By Blogger

Kamis, 16 Februari 2012

CERPEN LENGKAP

                          KEADILAN ITU AKHIRNYA HARUS DI BAYAR DENGAN NYAWA


H
asan Jambal, nama yang hampir dimakan zaman peradaban modern abad 21. Nama yang dahulu berkilau diantara keremangan malam dan desahan para penjaja nafsu. Siapa saja yang mendengar nama itu mungkin akan menggidik kan bulu kuduknya karena takut atau segan. Pada zamannya, Hasan Jambal begitu dikenal dan disegani seantero Jakarta, Jawa bahkan hingga luar Jawa. Namanya makin berkilau ketika ia dengan bengisnya menebas putus leher komandan ‘baret merah’ yang saat itu berduel dengannya di klab malam diwilayah bilangan Jati Negara. Kejadian itu sangat menggemparkan wilayah Jakarta khususnya, dan Indonesia secara umum, bahkan berita pemenggalan komandan baret merah itu hampir mengisi disetiap halaman depan surat kabar nasional.

Hampir berbulan-bulan bahkan hampir setahun Hasan Jambal menjadi buronan polisi beserta buru sergapnya. Entah berapa kota yang ia singgahi untuk bersembunyi, menghindari para aparat yang haus akan darahnya, gerak geriknya sering tercium karena banyak pengkhiyanat disekelilingnya. Maklum saja, jenderal atasan baret merah sudah terlanjur berucap dan  menghargai kepala Hasan Jambal dengan hadiah dan imbalan beberapa gepok uang untuk siapa saja yang mampu membawa kepala Hasan Jambal kehadapannya hidup atau mati. Tak hanya polisi, para preman dan pembunuh bayaran pun sangat bernafsu untuk memburunya demi uang yang di janjikan sang jenderal tersebut.

Hal inilah yang membuat gerak Hasan Jambal menjadi sempit dan makin terjepit. Bahkan geng Naga Hitam yang diketuainya pun berserakan tidak terkordinir setelah ia menjadi buronan. Diantara anak buahnya masih ada yang setia dengan dirinya namun tidak sedikit anak buahnya yang membelot, berbalik dan mencari dirinya, memburunya demi hadiah dan imbalan yang dijanjikan sang jendral. Demi uang kesetiaan tergadaikan, demi uang apapun akan dilakukan asalkan perut kenyang dan tidur nyanyak tak peduli ketua sendiri yang menjadi buruan demi segepok uang.

Beberapa kali Hasan Jambal disergap, beberapa kali itu pula ia lolos dari buru sergap polisi dan pembunuh bayaran. Ia bagai belut yang licin ditangkap, akalnya banyak seperti kancil, cerdik bagai tupai. Walau saat penyergapan terakhir ia sempat tertembus timah panas yang mengenai kaki dan dada belakangnya namun itu tidak menyurutkan pelariannya. Selentingan kabar Hasan Jambal mempunyai ajian susuk kijang aji pradana yang ia dapat dari berguru di Banten. Ilmu itulah yang mambuat ia sulit untuk dikejar. Selain ajian tersebut ia pun mempunyai ajian susuk baja yang diberikan ibunya semasih Hasan Jambal kecil, katanya bila terkena mortir pistol tubuhnya tidak dapat ditembus berkat ajian tersebut hingga ia terkenal dengan preman si kulit baja.

Hasan Jambal merupakan fenomena orang kecil pinggiran yang mengais rezeki di kerasnya jalanan. Ia bagai di ajarkan hidup di alam liar dimana yang kuat akan tetap hidup dan yang lemah tertindas dan berakhir tragis menjadi korban.

Yang berbeda dari sosok Hasan Jambal adalah ia merupakan Preman yang lembut hati. Hal ini terlihat ketika ia pernah merampok toko emas dibilangan Jakarta Barat, uang hasil rampokan itu ia bagikan kepada para gelandangan yang masih tertidur pulas di emperan pertokoan Senen. Sosok penjahat yang sukar ditemui di zaman modern seperti sekarang ini, ketika semua orang bersikap apatis, egois dan individualis, masih ada orang yang memikirkan perut orang lain.

Hampir 15 tahun ia melanglang buana menyusuri jalan gelap, sudut-sudut kota, dan keremangan malam. Entah sudah berapa klab malam, kedai, diskotik, ataupun bar yang pernah ia singgahi. Sosok Hasan Jambal bahkan tidak seseram apa yang dipikirkan orang tentang dia. Perwajahan Hasan Jambal datar, perwatakannya halus, tutur katanya lembut dan sangat jauh dari cermin preman pasar yang bermuka dan berkata kasar. Namun diantara sikap dan perkataannya yang halus itu ada bara dalam sekam di dirinya. Pernah dalam suatu kejadian anak buah dari Hasan Jambal melakukan kesalahan yang menurutnya fatal, ia pun tak tanggung-tanggung menempeleng anak buahnya itu sampai ia tersungkur jatuh.

Kejadian terakhir pun tidak lepas dari perangainya yang ‘panas seperti bara’. Betapa emosinya Hasan Jambal ketika ia mendengar daerah kekuasaanya di acak-acak oleh anggota baret merah, ditambah anggota baret merah itu sempat melecehkan istri dari Hasan Jambal. Hasan Jambal mendengar berita itu bagai disulut api, tanpa tedeng aling-aling ia langsung mengambil golok yang tersimpan di pojok kamarnya dan langsung berangkat menemuai anggota baret merah tersebut yang sedang asik minum bersama teman perempuannya dan langsung menebas leher anggota baret merah tersebut, dengan sekejap suasana kafetaria tersebut menjadi histeris dan gempar dengan kejadian tersebut dan berakhir menjadi pelarian Hasan Jambal.

Pelarian demi pelarian Hasan Jambal jalani. Dalam pelariannya itu sempat membuatnya jenuh, bahkan perawakan yang dahulu kekar kini menjadi kurus akibat pelarian tersebut. Dalam pelarian yang panjang, Hasan Jambal pun mengalami kejenuhan yang tak terhingga. Rasa amannya hilang ditelan kekhawatiran akan penyergapan-penyergapan oleh para parat tak berseragam. Sempat terbersit dalam pikirnya untuk menyerahkan diri seperti yang disarankan oleh istri tercintanya, Ainun.

“Abang emang gak jenuh dan bosen menjadi buronan?, mending Abang menyerahkan diri, paling-paling Abang dipenjara beberapa tahun setelah itu bebas dan kita dapat hidup normal”. Begitulah saran istrinya kepada Hasan ketika ia mampir dan bersembunyi dirumahnya sebelum persembunyian itu tercium oleh polisi.

Namun buah pikir dan saran istrinya itu ia buang jauh jauh. Hasan tahu pasti jenderal baret merah itu tidak tinggal diam, karena terbunuhnya anak buahnya itu merukapan tamparan keras bagi Korps nya, militer yang kastanya lebih tinggi dibanding rakyat sipil masa kalah dengan preman pasar seperti Hasan Jambal. Jenderal itu pun mungkin sudah menyewa pembunuh bayaran apabila ia tertanggap dan akan membusuk dalam penjara dan pembunuh bayaran sudah menunggunya. Hal itulah yang membuat dirinya mengurungkan  untuk tidak menyerahkan diri. Ketakutan demi ketakutan menyelimuti perasaannya.

Hasan Jambal bagai dihadapkan pada ‘buah simala kama’, yang memposisikan dirinya serba salah. Menyerahkan diri berarti mati, lari pun akan berakhir mati pula. Semua sudut persembunyiannya menjadi haram untuk persembunyiannya. Gerak geriknya sudah terbaca dan tercium oleh aparat maupun pembunuh bayaran. Anak buahnya pun yang dahulu royal dengan dirinya kni berbalik mengkhiyanatinya. Hasan Jambal semakin terjepit dalam posisi sulit, yang memaksa dirinya untuk terus berkelit, walau itu hal yang pahit.

Terakhir terdengar kabar Hasan Jambal kembali kekampung halamannya dipinggiran Kota Bekasi. Setelah hampir 15 tahun ia melanglang buana meningalkan kampung kelahirannya. Niat awal Hasan Jambal kembali adalah untuk menengok Ibunda tercinya yang sudah mulai uzur dan sering sakit-sakitan. Namun kembalinya Hasan Jambal itu sudah terbaca dan diketahui oleh aparat maupun para pembunuh bayaran.

Kerinduan akan ibunya memuncak dan pecah dalam pelukan Hasan Jambal dengan Ibunda tercinta. Tak henti-hentinya ibunya memeluk dan menyecuk kening Hasan Jambal serasa tak mau terlepaskan. Dengan derai air mata yang membasahi pelupuk mata yang senja Ibunda Hasan jambal terharu, hatinya yang keras kini mencair akan tangis Ibundanya yang pecah dimalam itu.

“Hasan kamu itu orang baik, seperti arti nama kamu yang berarti baik, kamu memang gak bosen jadi boronan?”. Setelah kata-kata itu terucap oleh ibunya seketika Hasan menangis tidak terkira, matanya basah akan air matanya, isak tangis pun pecah antara ibu dan anak yang sedang memadu kerinduan.

”Kamu ikhlas kan Nak’?”. Ucapan ibunya seraya membelai kasih kepala Hasan Jambal.
“Hasan ikhlas Mak’!’.

Setelah beberapa saat ketika ibu dan anak itu sedang memadu kerinduan. Dari luar rumah terdengar letupan suara pistol yang menderu membelah kesunyian malam. Ternyata para aparat dan pembunuh bayaran sudah mengepung rumah Hasan yang terletak dipinggir kali. Dikeremangan malam terdengar suara teriakan dari luar rumah yang memaksa Hasan untuk segera menyerahkan diri dan keluar rumah. Hampir tiga puluh orang yang terlihat dalam pengepungan itu, diantara mereka ada yang bersenjata lengkap laras panjang Ak 47 dan tak terhitung pistol yang disakukan dipinggang.

Hasan pun panik bukan kepalang dengan penyerbuan itu. Diseka airmatanya, tak lama ia pun pamit kepada Ibundanya yang masih terbius akan kerinduan anak kesayangannya. Sesaat ia melompat keluar dari jendela rumahnya, ditengah keremangan malam terdengar letupan suara deru senjata api yang satu sama lain saling menyusul. Secepat kilat Hasan berlari menghindari kepungan itu. Dengan ajian susuk kijang aji pradana ia berlari menghindari kejaran para pemburu dirinya.

Namun malang tak dapat ditolak, kakinya tertembus timah panas sang aparat. Kali ini ia tidak beruntung seperti pelariannya sebelumnya. Ajian susuk bajanya hilang. Ia tertatih-tatih. Kakinya terus mengeluarkan darah, setelah kakinya tertembak kini pungggungnya yang menjadi sarang peluru Ak 47. Seperti kata ibunya ia harus ikhlas, ternyata kata ikhlas yang diucapkan ibunya adalah ikhlas akan ajian susuk bajanya untuk di ambil kembali pada ibunya, dan kini kulitnya yang dahulu sekuat baja kini dengan mudah dapat ditembus peluru.

Dalam pelariannya yang sekarang ia mungkin tidak akan selamat seperti dahulu. Tubuhnya terus mengeluarkan darah, apalagi ditambah suasana pada saat itu hujan deras, jejak langkahnya terbaca, bercak darahnya terlihat diantara derap langkahnya hingga akhirnya Hasan Jambal tertangkap.

Dengan kebengisan para aparat yang diselimuti dendam, tubuh Hasan Jambal terus diberondong dengan senjata dari jarak dekat, tubuhnya terus dihujami benda tumpul seperti beratnya senajata laras panjang Ak 47, walau tubuhnya terus mengeluarkan darah, para pemburu seraya tidak mau  peduli. Mereka terus mengujami Hasan dengan pukulan. Terhitung ada lima tembakan yang menghujami tubuh sekaratnya. Para pemburu itupun berteriak ‘matilah kau bajingan Jambal’ seraya memasukan tubuh Hasan Jambal kedalam karung goni, kemudian karung itu di ikat dengan erat, setelah itu karung itu diberondong dengan tembakan jarak dekat hingga isi karung itu tidak bergerak dan hanya darah segar yang keluar dari karung itu. Mungkin inilah akhir dari perjalan Hasan jambal, sang petualang, sang pelarian, sang penjagal baret merat yang termahsyur namanya. Keesokan harinya mayatnya ditemukan mengapung dikali Bekasi oleh warga yang sedang memancing. Inilah akhir dari perjalan sang petualang Hasan Jambal. Keadilan yang harus dibayar dengan nyawa sang penjagal baret merah.  




















TEMAN BARU DI UJUNG SORE STASIUN PASAR SENEN


S
enja sudah mulai turun ketika kereta jurusan Yogyakarta tiba di peron 2 stasiun Senen. Sebagaimana umumnya kereta kelas ekonomi yang murah meriah, hampir seluruh gerbong terisi dengan penuh sesaknya manusia yang hilir mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Sore ini langit jakarta begitu mendung, setumpuk buku yang ku beli dari pasar buku Kwitang untuk melengkapi tugas akhirku akhirnya terbeli juga. Hampir tiga bab tugas ku rampung tinggal menuju acc dosen pembimbingku di universitas yang aku tinggali selama kurang lebih tiga tahun lamanya aku menuntut ilmu disana. Tugas ini sangat melelahkanku, entah sudah berapa banyak aku hunting tempat penjualan buku untuk menyempurnakan tugas akhirku.

“Boni sudah saatnya engkau berangkat kawan”, aku seraya berkata sambil menepuk pundaknya yang tegak.

 Boni adalah teman yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu di stasiun ini, tapi obrolannya seperti sahabat yang sudah kenal bertahun-tahun itu karena ia tipe orang yang sangat terbuka dengan menceritakan kisah dirinya, ia tampak lugu dan terbuka dalam bercerita.

Sebetulnya ia baru beberapa hari berada di kota Jakarta yang kejam ini, dan rencanya ia akan tinggal lama. Tetapi karena ada masalah, suasana kota metropolitan yang idam-idamkan berubah menjadi kegelisahan hatinya, akhirnya ia memutuskan untuk kembali  kekampung halamannya Wonogiri.

Telah banyak yang ia ceritakakan kepadaku walau aku baru kenal ia beberapa jam yang lalu. Mulai dari ia menjual sapi di kampung untuk ongkos pergi ke Jakarta sampai kecopetan diatas kereta, semua pengalaman yang menyusahkan ia curhatkan kepadaku tanpa melihat aku dan dia baru kenalan beberapa jam yang lalu, pengalaman yang tidak enak itu menjadi bahan tertawaan kami pada saat kami penat untuk meunggu lamanya kereta yang datang. Aku menunggu kereta listrik jurusan stasiun Bekasi, sedangkan Boni menunggu kereta jurusan Jawa.

Tapi yang paling menarik dari cerita tentang Boni adalah cerita Megamustika, pacarnya yang sudah hampir setahun meninggalkannya kekota Jakarta. Wajahnya tampak tegang dan memendam emosi yang sangat dalam pada saat ia menceritakan kisahnya dengan Megamustika itu.

“Bayangkan Mas, jauh-jauh saya menyusul ke sini, malah ia memutuskan hubungan kami,” katanya lirih dan agak  sedikit emosi.

Kisahnya di awali dari hubungannya dengan Megamustika semasa dikampung. Pertalian kekerabatan yang masih sangat kental di kampung meraka memaksa ia menjalin tali kasih dengan cara diam-diam  dengan gadis  yang ia gambarkan manis, berkulit kuning langsat. Ibarat botol dengan tutupnya merekapun merasa cocok jika hubungan yang mereka jalin diteruskan sampai kebangku pelaminan. Hanya saja Megamusika mengajukan persyaratan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan setelah ia menyelesaikan kuliahnya dulu di Jakarta.

Boni setuju saja. Sebagai laki laki ia cukup moderat dan tidak neko neko. Malahan ia siap membantu jiwa raga seandainya kedepannya Megamustika membutuhkan bantuan moril maupun materil. Maklum kalau sedang kasmaran remaja bau kencur, jangan kan uang, nyawapun akan abang pertaruhkan.

Maka berangkatlah Megamustika ke Jakarta. Layaknya orang akan berpisah lama merekapun saling bertangisan, saling memberi dan menerima pesan, janji saling setia dan  bertukar kabar. Perpisahan itupun mereka rayakan dengan mengadakan pesta kecil-kecilan yang diselengarakan mereka berdua di kebun singkong yang tak jauh dari rumah, dan undangannyapun mereka berdua saja maklum private party untuk remaja yang di mabuk kepayang. Di sana mereka bermain cinta ala remaja bergaya barat yang tentunya dilarang oleh semua agama dimuka bumi ini hingga mereka tertidur lemas dikebun singkong.

Seminggu, sebulan, hingga hampir setahun ternyata Megamustika tidak juga memberi kabar. Wanita pujaan Boni hilang tak ada kabar bagai ditelan belantara kota Jakarta. Hal yang sama juga dirasakan oleh kedua orang tua Megamustika. Sejak  keberangkatannya ke Jakarta mereka belum menerima kabar sehelai suratpun.

“ Seperti ada yang kurang beres, Mas,” kata Boni dengan logat Jawanya mengenang.

“ Orang kuliah pasti butuh uang, kok dia malah tidak pernah meminta uang.”

Satu satunya harapan yang tersisa adalah pertemuan di hari raya Idhul Fitri dimana Megamustika pulang mudik. Ternyata harapan itu pun pupus dan tidak terwujudkan. Megamustika tidak pulang untuk berlebaran dikampung halaman. Boni pun menjadi cemas. Padahal sebagai pacar ia tidak kurang kesetiaanya kepada Megamustika. Ia tidak mendua, juga tidak mencari pacar gelap  untuk melampiaskan kesepian hatinya yang ditinggalkan Megamustika.

 “ Sejujurnya Mas, catatan harian saya tentang dirinya sudah tiga buku harian, malahan hampir empat buku,” katanya mengenang.

 “ Saya tulis itu sebagai persiapan jawaban surat yang ia kirimkan, tetapi kenyataannya sehelai suratpun ia tidak kirimkan kepada saya”.

Dalam kecemasannya tiba tiba terbesit keinginan untuk menyusul ke Jakarta. Ia teringat dengan kata-kata terakhir Megamustiga dalam private party di kebon singkong dulu.

“Jangan lupa menyusul aku ke Jakarta Bon’, di sana kita akan lebih bebas melakukan ini.”

“Begitulah kata-kata terakhir Megamustika ketika kami selesai berlemas-lemasan di kebon singkong.” Ia dengan terus terangnya menceritakan kisah kebun singkongnya.
Berbekal informasi yang minim akhirnya Boni memutuskan untuk menyusul pujaan hatinya ke kota Jakarta. Tujuannya ialah stasiun Pasar Senen dari situlah ia akan mencari kontrakan Megamustika yang kabarnya berada di dibelakang pertokoan Cempaka Putih.

Sepanjang perjalan Boni mengkhayal mebayangkan pertemuan yang ia nanti nanti. Disanan kita akan lebih bebas, itulah kata yang terngiang-ngiang di telinganya Boni dari mulut Megamustika. Ia membayangkan Megamustika meringkusnya di kasur kontrakannya di Jakarta dan bermain cinta sepanjang hari disana.

Kata-kata itu pula yang memberikan dorongan dan spirit untuk ia berangkat ke Jakarta yang belum ia ketahui sama sekali. Sepanjang perjalanan ia rela berdiri berdesak desakan dan membiarkan tempat duduknya digantigan orang.

“Mungkin pada saat itulah saya kecopetan,” katanya getir mengenang peristiwa itu.

 “Sengaja saya selipkan uang saya di kaus kaki, tapi ternyata copet Jakarta tau membedakan mana bau kaki mana bau duit.” Ia bercetita sambil tergelak tawa.

Untung Boni tidak kehilangan semua uangnya. Sebagian uangnya disimpan di kantung pelastik dalam tasnya.

Lega rasanya ketika  menjejakkan kakinya dipelataran stasiun pasar Senen. Pertemuan dengan Megamustika ia bayangkan beberapa menit lagi . Dengan langkah-langkah pasti ia telusuri jalan-jalan sibuk kota Jakarta menuju Cempaka Putih, beruntung ada yang berbaik hati mengantarkan ke alamat yang ia tuju.

Perasaannya berbinar-binar ketika tangannya mengetuk pintu kamar kontrakan Megamustika. Sebentar lagi detik-detik yang ia nantikan akan terlaksana. Pasti atmosfer yang akan berkembang akan berbeda dan seru di bandingkan dengan kejadian dikebun singkong yang sangat gila itu.

Pintu terbuka. Megamustika tidak siap menerima kedatangan arjunanya itu. Ia hanya mengenakan rok yang ala kadarnya. Ia gugup dan tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Megamustika selain diam seribu bahasa melihat wajah Boni yang baru saja datang.
“Kenapa kau kesini?,” dengan wajah kesal Megamustika berkata kepada Boni.

“Kenapa katamu? Aku menaggih janjimu, manis,” jawab Boni dengan penuh percaya diri. Megamustika hanya bisa menghela nafas.

 “Seharusnya engkau menunggu dulu”.

 “ sampai kapan aku menunggu, aku tunggu kabar dari kamu, tapi tidak ada selembar suratpun yang kamu kirimkan, sampai sampai lebaran kemarin pun engkau tidak pulang.” Boni yang sedikit emosi.

“Aku datang kemari bukan untuk bertengkar, aku datang kemari untuk menagih janjimu,  ikrar kita dikebun singkong dulu, moso aku harus kembali lagi ke kampung, kereta saja butuh istirahat apalagi manusia.” Entah karena Megamustika kasihan atau karena ia sayang pada ku akhirnya ia mempersilahkan aku masuk.

“Kau boleh tinggal beberapa hari disini, sekarang aku mau pergi dulu, jika ingin makan pesan saja di warung makan sebelah biar nanti aku yang bayar.”

Bruk’, pintu dibanting tanda ia meninggalkan dikontrakan ini. Megamustika begitu saja meninggalkan Boni yang saja datang tanpa ambil peduli.

Boni merebahkan  tubuhnya diatas lantai. Beberapa saat ia menerawang jauh hingga tiap jengkal dinding kamar kontrakan ia pandangi, yang terlihat hanya berbagai macam jenis pakaian dalam wanita yang sebelumnya ia belum lihat dikampung halamannya. Pakaian siapa ini? Ia patut bertanya-tanya karena apakah mungki Megamustika mengenakan pakai yang sangat seksi ini.

Sebelum ia memejamkan mata, suara ketukan kamar mengema seraya berkata, “Kantin mau tutup, apa mau pesan makanan?”. Tanya suara dari luar pintu.

Malam hari ia tidak kunjung pulang jua, yang ada hanya wanita kontrakan sebelah yang menurut Boni sangat seksi busananya. Boni pun menghampirinya dan berniat mengorek informasi apa saja yang Megamustika lakukan selama setahuan ini. Ia pun bercerita bahwa Mega jarang sekali pulang kalaupun pulang ia sangat larut malam, wanita itu sedikit mabuk, ini tercium dari aroma alkohol dari mulutnya, deretan botol miras tercecer dilantai kamarnya, abu dan puntung rokok tanda wanita ini sebagai perokok berat. Sesekali ia menawarkan minumannya kepada Boni, dengan sopan dan halus ia pun menolak.

Informasi yang Boni inginkan pun didapat juga. Kata wanita mabuk itu Mega sedang happy-happy di puncak. Apalagi ia sedang banyak duit maklum ia sedang laris berat pasarannya. Boni sesekali menggigit bibirnya sendiri, darahnya mendidih. Ternyata ini yang dilakukan Mega selama setahun belakangan ini, kuliah hanya kedok saja agar ia di izinkan untuk pergi ke Jakarta.

Keesokan harinya Mega pun pulang. Hari itu sudah hampir pagi, beberapa saat azan subuh menggema seantereo pagi dan Boni pun tidak perlu menanyakan dari mana Mega karena ia sudah tahu dari wanita itu, ia pun malah berpura-pura mendengkur dan membiarkan matanya kelilipan sesuatu ketika Mega melangkahi wajahnya.

Di atas kasurpun Boni melihat Mega merebahkan tubuhnya bagai karung beras yang sudah tidak berisi. Wanita itu kelihatan lelah sekali sehingga ia tidak sempat menganti pakaiannya, yang ada hanya kaus ketat ala model barat dengan rok yang sangat mini. Rok itupun tergulung hingga pangkal pahanya terlihat jelas putih mulus.

Karena sudah tak tahan menahan birahi, Boni pun mengendap-ngendap mendekati wanita itu. Di elusnya leher wanita itu, diciumi sekujur tubuh molek wanita itu, berlahan ia buka kaus yang wanita itu kenakan, tidak lupa rok yang ia kenakan. Wanita itu  memang benar-benar pulas hingga pada saat melancarkan agresi meliter ia tidak merasakan dan tidak bangun. Boni pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu ia pun melakukan pencurian besar ala koboi teroris yang merampok bank CIMB, malahan sesekali mega merasa keenakan ditengah ketidak sadaran dirinya.

“Tidurmu semalam begitu pulas hingga aku tak mau membangunkan pada saat aku pulang” ujar Mega ketika Boni bangun pagi. Boni hanya tertawa dalam hati. Apakah ia tidak salah dengar? justru wanita itu yang tertidur sangat pulas hingga ia tidak tahu bahwa kalau ia baru ‘dirampok’ Boni.

“Aku tidak mau mengganggumu yang sudak lelah, makanya aku tidur saja, lagi pula tak ada gunanya aku menggamumu” ujar Boni seraya membalikan badannya yang masih tidur.

“ Kalau begitu kapan kamu pulang”.

“Setelah engkau melunasi janjimu di kebun singkong dulu, disini kita akan lebih bebas” ujar  Boni dengan nada culas.

“Kau kira aku perempuan murahan?, yang gampang di ajak tidur oleh mu” Mega yang tidak menyukai kata kata Boni.

“Kenapa, kau kira aku tidak sanggup bayar? Jujur saja uang yang ada disakuku masih ada empat juta”.

“Bajingan!” Mega sangat emosi.

“Memang kau tidak murah, makanya aku langsung memberi harga empat juta, bagaimana? bisa kita putuskan!”.

“Yah’ kita putus, hubungan kita putus sekarang”.

“Aku telah menduga itu jawabanmu” Boni sambil membereskan pakaiaannya kedalam tas. Ia hanya mencuci mukanya dan sedikit merapikan rambutnya dengan sisir.

“Sebetulnya kau wanita murahan, bahkan lebih murah dan rendah dari anjing, setelah ini segeralah pergi kedokter kelamin, seingatku ada beberapa helai buntut kudaku tertinggal didalam punyamu.”

Sambil bersiul-siul Boni meninggalkan Mega yang melongo dan terbengong seperti orang sakit jiwa. Siulan Boni bertambah nyaring ketika mendengar sumpah serapah yang keluar dari mulut wanita itu.


“Begitulah Mas’ ceritanya,” katanya mengakhiri ceritanya kepadaku.

“Tapi kan kau sudah merasakannya” aku yang sejak awal diam tak menimpali ceritanya. “Jadi kau tetap untung kan?”.
“Saya pikir itu pemainan yang cantik dalam kehidupan yang serba dusta. Hubungan kalian diawali dengan kenegatifan, kamu takut tidak ada perempuan lain yang dapat menjadi isteri kamu selain dia. Pacarmu takut kalau masa depannya hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Ia melanjutkan sekolahnya di Jakarta yang sangat ganas ini, tapi pacar mu salah bergaul akhirnya ia terjerumus kelembah penuh dosa dan nista, kau juga salah merampok wanita itu…” Boni pun tertawa menerima nasehatku.

“Mas’ benar. Sekarang makin mantap saja keinginanku untuk pulang”.

 “ Sebetulnya bukan kamu saja yang mengalami kegagalan cinta, akupun pernah mengalaminya. Yakinlah, jika sembilan puluh sembilan wanita menamparmu, yakinlah yang keseratus akan menciummu.” Aku sambil tertawa kepada Boni. Kami pun berbagi tawa ditengah hiruk pikuk sesaknya stasiun Pasar Senen yang ramai.

Ku lepaskan keberangkatan Boni hingga ke pintu kereta. Aku ingin ia segera hilang dalam sesaknya kerumunan penumpang kereta ekonomi jurusan jawa. Dengan demikian aku bisa segera pulang ke Bekasi dan berhenti mendengar ocehan dan cerita jorok yang ia lontarkan kepadaku.

Tetapi ia seperti hendak menyampaikan sesuatu kepadaku.
“Ini alamat saya di Wonogiri,” katanya sambil menyerahkan secari kertas.

 “Mampir kerumah kalau Mas kebetulan sedang ada di Yogya.”

Aku pun mengangguk, selamat jalan Bon’. Aku pun beranjak ke KRL yang baru saja datang. Dengan setumpuk buku untuk melengkapi tugas skripsiku, akupun berangkat pulang meuju Bekasi ditemani senja di ujung stasiun Pasar Senen.      













                                                        RIWAYAT PENGGALI KUBUR

H
ampir dua tahun ini aku masih hidup menyendiri. Kebahagiaan yang hilang direnggut dengan kepergian Umi Kalsum. Hari hari yang sepi dan sunyi senyap dimakan kesepian. Pikirku melayang diantara khayalan khayalan dimana ketika itu aku tempatkan cinta diatas segalanya. Mungkin hidupku yang sekarang bersikap Juhud, meninggalkan hingar bingar keramaian dunia yang fana ini.

Setelah musim panen dikampung kami selesai, perenunganku pun pindah diantara gundukan tanah yang menyembul keluar. Yah’ sekarang aku sering merenung dipemakaman kampung. Diantara orang orang yang telah dikebumikan waktuku aku habiskan disana. Aku bagai orang gila yang nestafa, kegagalan cinta membuat hati terluka dan berkarat sekarat karatnya. Diantara hilir kembali orang yang mengantarkan mayat keliang lahat, disitulah aku bersemayam dan termangu dalam kesepian.

Didalam kesepian kadang kala aku ditemani Pak Rohim, Pak tua penggali liang lahat orang mati.  Aku pikir ia sudah terlalu tua untuk ukuran lelaki penggali kubur, walau aku tahu bahwa pekerjaan itu sudah ia lakukan sejak ia masih muda. Aku pikir bahwa Pak Rohim adalah orang yang sulit dicari saat ini, ia istiqomah dan konsisten menjalankan pekerjaannya. Pak Rohim pun bercerita banyak tentang pengalamannya sebagai penggali kubur. Pengalaman pertamanya menggali kubur ialah untuk jenazah Kiai Mustofa, itu pun sudah berlalu hampir lima tahun yang lalu. Ia selalu berfkir betapa bahagianya bila ia bisa mengikuti jejak Kiai Soleh itu, yang meninggalkan dunia dengan penuh keikhlasan dan khusnul khotimah. Dan apabila pikirannya sudah sampai pada kenangan wanginya masa muda, seluruh perasaannya terbawa emosi dan terharu yang berakhir linangan air mata yang tidak berkesudahan. Masa muda yang penuh gejolak dan keinginan, perasaan yang tumbuh membahagia diantara harapan-harapan darah muda, hal itupun tercermin oleh sikap beliau yang veteran santri Kiai Mustofa. Masa muda saat dimana ia dirasuki gejolak cinta, saat perasaan mencintai begitu indah dan sebaliknya perasaan dikhiyanati begitu menyedihkan jiwa. Kadang kala Pak Rohim tidak habis pikir kenapa takdir cintanya begitu berliku, apakah karena ia cacat secara fisik hingga banyak anak perawan yang menolak cintanya itu?. Yang aku tahu ia cacat kaki akibat ia kecelakaan dimasa kecil. Dengan rasa keputus asaan itu pu ia mencenderungkan diri pada tanah pemakaman sebab itu mendekatkan dirinya kepada muhasabah kematian. Kematian yang tanpa bisa dikompromikan, tidak pula dapat ditawar walau seberapa tinggi tawaran kita. Tapi aneh, betapapun ia mengharapkan mati, namun kematian itu tidak kunjung jua menghampirinya. Untuk hal yang itu ia sering sekali mengeluh.

‘Ah, Allah belum juga menakdirkan aku mati. Atau barang kali Ia tidak meridhoi orang orang yang berputus asa seperti halnya aku. Tapi aku bukan berputus asa menerima cobaan ini. Aku hanya ingin lekas mati, agar tidak lagi melihat kepahitan-kepahitan hidup yang serba susah ini, kerusakan dan kebatilan meraja lela dimana mana’ keluh kesahnya didalam hati.
Dan seperti hari-hari sebelumnya, bulan-bulan sebelumnya, bahkan seperti tahun tahun sebelumnya, kejemuan dan kebosanan melanda hatinya. Dan apabila rasa itu melanda hatinya, perasaannya menjadi kosong seketika. Ia merasa dirinya begitu ringan dan seolah-olah melayang dihantam angin. Tapi apabila pikirannya itu sampai pada masa kenangan jantannya, dimana ketika itu ia pernah ikut dalam suatu moment peperangan melawan penjajah, hatinya kembali mengeras. Dan ia memungkin mungkinkan perasaannya, andai saja katika saat itu ia meninggal dunia, mungkin ia sudah menjadi syuhada perang. Kemudian ia merasakan perasaan yang gaib merasuk kedalam jiwanya menyebabkan ia menjadi kembali kedirinya. Kenangan itu begitu jelas terpampang disaat saat ia menjadi pejuang diwaktu itu. Disaat ia dalam keadaan kekosongan jiwa, ia masih ingat api perang melawan penjajah begitu mengelora yang hampir meruntuhkan tombok pesantren yang pada saat itu sebagai benteng para santri hampir roboh terkena bedil Belanda. Dimana menara surau pesantren hampir rata terkena meriam Si Jagur. Ia pun masih ingat ketika sang Kiai berpesan menjelang ajalnya.

‘Rohim, jadilah raja dalam diri sendiri. Raja tauhid dan hati tawakal melawan kezaliman’. Kata-kata itu dulu tak pernah ia pahami sepenuhnya. Tapi kini setelah usianya menjelang senja, kata kata itu bagai darah yang mengalir disetiap pembuluhnya.

Orang tua itu menarik nafas begitu panjang. Seolah itu adalah nafas yang disambung atas nama kehidupan. Tubuhnya menggigil diterpa angin yang semilir mengoyangkan dahan dan ranting pekuburan. Ia pun masih tetap mengayunkan cangkulnya menimbun tanah penggalian kubur. Beberapa kali ia berhenti untuk menarik nafas yang sudah tersengal sengal. Tubuhnya yang sudah renta seakan berkata bahwa dirinya sudah tidah kuat lagi untuk menggalinya. Tubuhnya basah berpeluh dengan keringat yang membasah diantara kaos yang ia kenakan saat itu. Semilir angin menghebuskan aroma bunga yang rasa-rasanya baru ditabur hari ini dimakam yang baru ditinggalkan oleh pelayatnya. Dedaunan kamboja bergoyang tertiup angin dan panas sudah merembet diantara peparingan yang merindangi area kuburan.

‘Sebentar lagi tanah ini akan menerima tuannya’. Orang tua itu bicara seperti ada orang lain didepannya. ‘lahad ini bukan untukku, ia akan memangku jasad Ishadi, moga-moga ruhnya diterima dan dilapangkan di sisi Allah’.

Kini orang tua itu duduk sambil mengusap peluh keringatnya yang mengalir diantara dahi, leher hingga area perutnya. Ia berpaling melihat kejauhan. Ia mendengar kicauan burung pipit yang menari nari diantara rerimbunan pohon beringin yang tumbuh lebat. Ketika burung itu hingap dan pergi, kepala orang tua itu pu menengadah kelangit, lalu berujar pelan ‘burung itu terbang begitu tinggi. Mungkin ia terbang menuju surga. Alangkah damainya disana’ . orang tua itu lalu terbatuk batuk. Kemudian ia meneruskan penggalian liang lahatnya. Tapi tiba-tiba tanah itu mengeluarkan air. Basah merata menggenangi galian kuburnya. Orang tua itu lalu menggumam dalam hati ‘kasihan si Ishadi , tanah ini becek dan bermata air. Mungkin ia akan kebasahan dan kedinginan diantara selimut kafan yang ia kenakan dimalam pertamanya dikuburan ini’. Dijamah jamahnya tanah yang yang basah dan becek dalam liang lahad. Ia bicara dan terus bicara seolah ada malaikat yang menemaninya berbicara. Tapi akhirnya ia pun bangkit dan merayap keatas dari liang lahat itu. Tak lama setelah ba’da Asar, tampak oleh matanya serombongan orang berkalimat tauhid dan bertahmid menuju ke arahnya.

‘Assalamulaikum yaa ahli kubur minal muslimin wal muslimat wa insyaallah hubikum lahikunaa walakumul afiat’. Suara salam yang memaksa ia bangkin dari dalam kubur itu. Dan manakala orang yang membawa mayyit itu menurunkan dari kurung batangnya. Orng tua itu lalu tersenyum sambil memejamkan mata dan menengadahkan kepalanya kelangit, dan berujar dalam hati ‘Yaa Allah kapankah aku menemui takdirku?, alangkah bahagianya Ishadi yang Engkau panggil hari ini yaa Allah’ tanpa disadari air matanya berderai dn berlinang tak tertahan. Sementara suara tahlil meneradang diantara jerit hatinya yang begitu mendambakan kematian.

Allah belum juga mau memanggil dirinya yang sudah renta itu. Disaat rona tua sudah tercermin dintara wajah dan tubuhnya. Disaat itu, setelah orang yang melayat tersapu diantara keheningan pekuburan kampung yang tertinggal hanya dirinya seorang diri. Tubuhnya bergetar dan menggigil. Tulang tuanya yang selama ini menopang tubuhnya yang renta tiba-tiba merapuh. Hanya tonjolan rusuk iganya yang jelas dari diri orang tua itu. Mungkin ia menggigil karena diterpa angin senja, atau bahkan karena ia kelelahan setelah mengali kubur Ishadi. Setelah eranganya yang terakhir, ia pun tertidur diantara gundukan tanah merah mayyit yang masih segar tertabur bunga tujuh rupa.

Hampir lima puluh tahun sisa umurnya ia habiskan dipekuburan itu, mengabdi seorang diri menjadi penggali kubur. Tanah kubur hasil wakaf masyarakat kampung desa yang kurang lebih luasnya 2000 meter persegi. Disanalah makam satu satunya yang dimiliki masyarakat kampung. Tak  terbilang lagi berapa jumlah jezanah yang telah dikebumikan. Tak terhitung lagi berapa nisan yang telah ditanam. Orang tua itu masih ingat benar  betapa lima puluh tahun yang lalu ia masih bisa menghitungnya, berapa jumlah mayat yang menggunakan nisan dan yang tidak. Tapi kini setelah kuburan itu dipenuhi para mujahid perang yang syahid di Sasak kapuk Pondok Ungu, setelah itu kia tidak ingat lagi berapa jumlahnya. Mungkin lebih banyak dari jumlah orang yang masih hidup di kampungnya. Ia masih ingat sekali ketika ia menggali makam untuk para syuhada Sasak kapuk, saat itu ia membantu memakamkannya. Dan diantara yang mati syahid itu ialah anak kandungnya Yazid.

Ketika ia ingat Yazid seketika itu ia mengalirkan air mata. ia mengenang akan anaknya yang saat itu berjuang malawan penjajah. Namun malang nasibnya ia mati terkena mortir Belanda. Dibenaknya ia berpikir ‘Berbahagialah kau anakku, kau ikut mati bersama pejuang syahid, dimakamkan bersebelahan bersama orang yang soleh’. Kembali air mata orang tua itu berlinang mengingat anaknya. Lalu ia melanjutkan ‘kenapa, kenapa aku tidak berhasil seperti halnya kau yang meninggal dengan keharuman syahid? Apakah aku ini laki laki pengecut dan tak berani menembus panasnya peluru?’.

Tiba-tiba bagai digerakkan oleh mukjizat, diraihnya baju dan cangkulnya, dengan langkah merunduk dilangkahkan kakinya. Terbayang kini dalam ingatanya. Istrinya yang selama ini ia tinggalkan sendiri di rumah. Kini timbul keinginan untuk bertemu dan pulang kerumahnya.

“Demi  Allah, kalau saja aku tidak ingat akan yazid anak kita, aku mungkin lupa kau sedang sakit keras” lelaki itu berujar kepada istrinya yang terbaring dibalai kamar. Sudah tiga hari ini istrinya sakit, panas badannya sangat tinggi dan menggigil. Dan ketika ia hendak menuju kekamar mandi untuk membersihkan kakinya yang berlumpur. Dari suara kamar terdengar suara dan sesekali rintihan istrinya .
”Bapak bawa jamu pak?’.
 Lelaki itu menjawa “Bawa, nanti aku seduhin setelah Bapak membersihkan badan Bapak dari Lumpur ini”. Istrinya terdiam, nafasnya tersengal sengal, mungkin ia terkena sesak nafas atah bahkan meriang yang tak berkesudahan.

Malam itu setelah ia sembahyang maghrib. Lelaki tua itu lalu menyeduhkan jamu untuk istrinya. Sesekali ia mengusap kepala istrinya. Ia rasakan hawa panas dari istrinya. Didalam hati ia sesekali bergumam, ‘yaa Allah lebih baik kau panggil aku terlebih dulu, jangan kau panggi istriku’. Air matanya membasah diantara pipinya yang hitam terbakar matahari. Di malam itu bagai merasa akan dipanggil oleh Allah. Ia pun merasakan meriang yang tak terhingga disekujur tubuhnya seperti halnya istrinya yang mengigil kedinginan.  Ia bahkan menebak bahwa hari inilah ia akan di panggil oleh yang maha Esa.

Malam itu ia sembahyang sunnah sebanyak banyaknya. Seolah ia ingin menebus hari harinya yang lalu ketika ia sering meninggalkan salat. Malam itu ia sembahyang begitu khusuk, seolah panca indranya semua terkunci, hanya hatinya yang menuju Allah. Doanyapun tidak biasanya, malam itu ia munazatkan doa yang panjang sesekali dan tidak biasanya, sesekali ia menitikkan air mata dan sesegukkan. Tak lupa ia mendoakan istrinya agar diberi kesembuhan, jikalau ada yang dipanggil lebih baik ia yang di panggil terlebih dahulu, hampir menjelang fajar ia masih duduk berzikr diantara tasbih dan sajadahnya yang sudah usang.

Setelah ia melongok keadaan istrinya dikamar, panas badannya sudah turun. Mungkin istrinya sudah baikkan. Ia pun berpamitan, berangkat pagi untuk pergi kemakam. Pagi itu suasana makam begitu sunyi dan senyap. Hanya sesekali suara jangkrik yang menggelitik telinga. Mungkin setelah hujan malam tadi binatang masih malas keluar dari sarangnya. Tak terkecuali dengan kubur ishadi yang dikebumikan kemarin, kuburnya basah dan bunga yang ditabur diatas kuburnya berserakan kebawah.

‘Allahu akbar’ mulutnya berzikir, cangkulnya berayun menancap diantara tanah yang masih basah. Orang tua itu memulai pengaliannya. Setelah hampir satu jam ia berjibaku dengan galian kubur, tubuhnya berpeluh dengan keringat yang membasah disekujur badannya. Sesekali ia menyeka keringat yang jatuh diantara wajahnya. Sebentar ia berhenti, dan merasakan kepalanya sakit dan pusing. Matanya berkunang kunang. Dengan rasa sakit yang ia rasakan ia itu, ia tetap melanjutkan ayunan cangkul yang bertubi tubi menghantam galian makam. Rasa lemah menjalar keseluruh badannya yang kisut dan tua. Ia lalu melihat kebawah lubang kubur, dalam benaknya berkata ‘tinggal meratakan ruang lahat jasad saja’.

‘Di sini nanti aku berbaring, rasa rasanya Allah sudah mau mengabulkan permohonanku’. Beberapa saat ia giatkan tangannya untuk membuat liang lahat mayyit. Setelah pekerjaan itu selesai, akhirnya ia bangkit dan naik keatas. Dilemparnya cangkul itu jauh jauh. Ia terduduk malas diatas timbunan tanah hasil galian kuburnya. Demikian ia berpeluh dengan keringat, dibaringkannya badannya diatas gundukan tanah itu. Yang terasa kini pusing yang tak terhingga, matanya berputar putar. Ia merasa bumi ini bagai diputar putar. Ia merasakan langit berputar.

‘Yaa Allah, pekerjaan suci ini telah selesai. Kini hambamu sedang menanti malaikat Izrail Mu.’ Kemudian ia pejamkan mata. ia tahan nafasnya dalam-dalam perebahannya. Ia mencoba matikan panca indranya. Dipusatkan pikirannya hanya kepada Allah. Ia mencoba hanya mendengar suara hatinya. Tetapi maut belum saja menghampirinya. Berulang ulang hal itu dilakukan tapi hasilnya sama. Belum berhasil.

Dalam keinginan matinya itu ia dengar derap langkah menuju arahnya. Semakin lama semakin mendekatinya. Sesekali ada yang memanggil namanya dari kejauhan itu. Sebenarnya ia mencoba mengacuhkan panggilan itu. Tapi konsentrasi matinya akhirnya terganggu juga. Ia bangkit dan melihat siapa oaring yang memanggilnya. Dari pintu gerbang makan terlihat serombongan orang yang berduyun-duyun membawa kurung batang. Ia pikir, siapa lagi yang mati. Dan ketika beberapa orang mendekatinya, baru ia tahu bahwa diatara orang yang membawa jenazah ia adalah tetangganya.

Beriringan dengan salam kubur. Serombongan itu berkata “lahat sudah siap?. Pak Rohim sudah tahu bahwa istrinya akan meninggal hari ini, makanya ia sudah menyiapkan kuburnya” ujar salah satu dari serombongan yang mebawa mayit itu.

Orang tua itu menarik nafas panjang. Dan dari mulutnya keluar keluh bagai menyesali dirinya. “ternyata Allah lebih sayang pada istriku”, seketika itu air matanya mengalir dan membasahi pipinya, menagisi istrinya yang hari itu meninggal dunia.
















                                             OBROLORAN WARUNG KOPI TANJUNG PAKIS


Setelah hampir 2 jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di desa terpencil ini, Tanjung Pakis. Rasa rasanya hampir 13 tahun lebih aku tak lagi ke desa terpencil ini. Dahulu pertama kali aku kemari, desa ini masih diselimuti belantara pohon pakis , mungkin karena itulah desa ini dinamakan Tanjung Pakis.

Pertama kali aku datang, pada saat itu aku duduk dibangku Tsanawiyah pesantren, dalam acara napak tilas Kiai Mustofa dalam perjalanan perjuangannya, akhirnya aku dengan teman teman keperamukaan mengadakan camping di desa terpencil ini.

Setelah 13 tahun berlalu, tempat ini telah sangat berubah. Dari belantara pohon pakis hingga pohon-pohon itu kini telah ditebangi, hanya beberapa pohon pakis saja yang tersisa.

Aku masih saja termangu di warung kopi ini setelah menempuh perjalan yang sangat melelahkan, sesekali aku mendengar obrolan masyarakat sekitar tentang cerita air mata dan kesedihan seorang remaja yang hidupnya berakhir tragis.
Di desa ini dulu, pernah hidup seorang pemuda bernama Bidin. Seorang yang bernasib malang. Menurut cerita dari mulut ke mulut, jalan hidupnya tidak seindah apa yang dialami teman-teman sebayanya, yang dalam keluguan dan kesederhanaannya mereka masih bisa menjalani hidup sebagai mestinya.

Sebetulnya Bidin pemuda yang baik dan rajin. Sebagai anak nelayan ia biasa melakukan pekerjaan yang sebetulnya hanya patut dilakukan orang dewasa. Malam hari pergi mencari ikan dan siangnya membetulkan jala yang kadang kala robek tersangkut karang. Ia adalah pemuda teladan dalam hal kesungguhan bekerja. Kecuali pada waktu waktu tertentu yang tidak memungkinkannya pergi untuk melaut.

Namun nasibnya berubah drastis setelah ia gagal menikahi seorang gadis. Ia menjadi pemurung dan tidak begairah. Perahu dan jala ia tingkan begitu saja. Rasa kecewa rupanya membuat dirinya putus asa. Kerjanya setiap hari hanya melamun. Siang mengurung diri di rumah, malam bergadang sendirian di tepi pantai.
Beberapa tahun kemudian Bidin meninggal dalam keadaan yang sangat mengerikan. Tubuhnya tercabik cabik dimakan ikan hiu. Dari cerita yang saya dengar, banyak penduduk Tanjung Pakis yang tak  tahan dan menitikkan air mata tatkala mendengar kematian Bidin yang tragis seperti itu. Terlebih mereka tahu penderitaaan batin Bidin sejak awal, mereka merasa sangat bedosa atas kematiannya yang tak wajar. Mereka pula yang kemudian menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Bidin meninggal dalam penderitaan batin akibat kegagalan perkawinannya dengan seorang gadis bernama Alfiah.

Kampung Tanjung Pakis seperti sebuah sajak abadi yang sengaja ditulis untuk diingat dan dikenang. Walaupun letaknya terpencil dan jauh dari keramaian ia banyak menyimpan keindahan pemandangan. Ada pantai yang berpasir lembut. Ada tanah lapang tempat dimana anak-anak bisa bermain dengan sangat leluasa. Ada pula hutan bakau yang diselimuti pohon pakis yang rindang. Keindahan bertambah semarak bila ada acara hiburan gratis. Biasanya penduduk dihibur oleh pangung orkes gambus yang merupakan tontonan kegemaran turun-temurun. Setahun sekali mereka keriyaan menghidangkan hiburan gratis bagi penduduk Tanjung Pakis yang haus akan hiburan setelah penat melaut sepanjang hari.

                                                                 *      *        *

Suatu malam suasana kampung Tanjung Pakis kembali disemarakkan oleh tontonan gratis setelah beberapa hari sepi. Kali ini orkes gambus Al Falah mendapat kesempatan menghibur pengunjung pesta perkawinan putri dari kepada desa Tanjung Pakis. Penduduk pun tidak menyia-nyiakan hiburan gratis ini.
Di tempat acara, ada yang duduk diatas tikar yang khusus mereka bawa dari rumah, mereka duduk bersama anggota keluarganya, ada yang jongkok mengitari bandar judi putar dan dadu koprok. Walau dandanan mereka bias- biasa saja tapi mereka kelihatan menawan pada saat melihat orkes gambus, tak terlihat bau amis ala nelayan pesisir.

Di acara gambus itulah Bidin dan temannya Najir bekenalan dengan Alfiah. Pada malam itu, Bidin terkesima dengan kemolekkan Alfiah.
“Naz, kau lihat gadis itu, yang agak tinggi dan alisnya agak tebal itu, namanya Hasanah. Satunya lagi Alfiah. Mereka kembang desa disini, Naz.”
“Menurutku mereka biasa biasa ajah, mana lebih cantik dengan yang itu?” Nazir sesekali menimpali dengan agak acuh sembari menunjuk kearah gadis yang sedang bernyanyi diatas panggung.
Bidin tidak menjawab. Dengan sedikit jengkel merasa dipermainkan Nazir, Bidin pun meninggal Nazir yang sedang terkesima dengan biduan gambus di atas panggung.
 Bidin pergi kepenjual kacang rebus. Dibelinya sebungkus lalu ia menikmatinya
 Sambil duduk diatas akar pohon Sengon. Masa bodo dengan Nazir dan orkes gambusnya, toh’ tanpa harus berdiri ia masih bisa mendengar alunan lagu Albithar yang dinyanyikan oleh para biduwanita orkes gambus Al Falah.
Sedang Bidin menikmati kacang rebus, sekonyong konyong dilihatnya Hasanah dan Alfiah yang melintas dihadapannya dan berlahan mendekat kearahnya. Bidin sempat terkejut dengan kedatangan mereka berdua. Rupanya mereka berdua mencari tempat duduk
“Pegel juga yah’ berdiri”, Alfiah berbasa basi.
“Kalau enggak keberatan aku mau duduk di sini.”
“ Oh, silahkan…silahkan,” jawab Bidin tergopoh gopoh.
“Pegel dan pengen jajan juga,” kata Hasanah menimpali kata kata Alfiah.
“Dimana sih’ penjual keripik singkong?.”
“Di mulut gang. Sini, biar aku yang kesana membelikan.” Bidin menimpali.
“Traktir dong,” rengek Hasanah.
“Iya. Traktir kita, dong,” Alfiah menimpali.
Bidin pun dengan tergopoh gopoh langsung berangkat kemulut gang, dan kembali  dengan dua bungkus kripik singkong.
“Maafin yah’, tadi kita cuma bercanda”, kata Alfiah.
“Berapa duit tuh’ dua?.”
“Tidak usah,” sergah Bidin.
“Duitnya buat beli kopi ajah’ kalau nanti aku mampir kerumah.”
“Memang ada minat Din?,” Hasanah menimpali sambil melirik kearah Alfiah yang tampak tersipu sipu. Alfiah kemudian membalas dengan cubitan hingga Hasanah mengaduh kesakitan.
Merekapun sibuk dengan makanan masing masing. Sesekali Bidin mencuri pandang kearah Alfiah yang sedang mengunyah kripik singkong. Parasnya boleh juga, pikirnya dalam hati. Tidak ada yang kurang dari diri gadis itu. Untuk ukuran desa nelayan. Parasnya lumayan sempurna, kecuali jempol kakinya yang barang kali terlalu sering masuk Lumpur, kelihatan seperti pucung, agak menghitam.
Mereka lama bercakap cakap, sesekali Bidin menawarkan diri untuk dapat mengantarkan Alfiah dan Hasanah. Tanpa basa basi Hasanah dan Alfiah pun meng iyakan niat baik Bidin.
Pukul satu malam, mereka pulang. Hasanah tampak terkejut melihat Nazir datang bersama Bidin yang menghampiri mereka berdua.
“Sekarang ayo kita pulang” ujar Bidin kepada Hasanah dan Alfiah.
Hasanah dan Alfiah berjalan di depan sedangkan bidin dan Nazir mengiringi di belakang. Untuk sementara mereka tidak berjalan berdampingan karena suasana jalan masih ramai oleh orang yang lalu lalang. Mereka merasa tidak enak kalau sampai di curigai orang, bisa bisa rencana yang sudah tersusun kandas sebelum tiba di tempat tujuan. Yang penting sekarang bagaimana harus kelihatan seperti nafsi nafsi  dulu. Nanti kalau sudah melalui tempat yang aman berulah berjalan berpasang-pasangan.
Hasanah dan Alfiah mengajak mereka melalui jalan setapak yang sepi, dan sebetulnya itu tidak perlu. Namun sebagai anak muda, Bidin dan Nazir sudah bisa menangkap maksud dan tujuannya. Pertama, mungkin untuk menghindari petemuan dengan orang banyak. Kedua, supaya kesempatan ngobrol dan berlama lama berjalan berpasangan lebih kondusif.
Seperti sudah diatur setrateginya. Tak lama memasuki jalan setapak Hasanah menyurutkan langkahnya kebelakang dan menghampiri Bidin. Alfiah membiarkannya menunggu beberapa meter dari mereka.
“Masih ada minat gak?”, Hasanah sembari melihat Bidin da Alfiah. Bidin pura pura tak peduli. Padahal dalam hati ingin rasanya dia berteriak kegirangan. Setelah permisi kepada Nazir yang tampak kebingungan dengan pancingan Hasanah kepada Bidin, Bidin pun menghampiri Alfiah. Gadis itu pun tersipu-sipu sambil sesekali memalingkan wajahnya yang memerah.

“Hasanah menyuruhku menemui mu,” kata Bidin memberanikan diri. Ia tampak ragu dan gugup.
“Memangnya ada apa?,” sahut Alfiah seperti tak punya dosa.
“Aku mau kita mengobrol disana,” Bidin menunjuk kearah tanah lapang yang agak gelap.
Alfiah tidak menolak ajakannya. Ia menurut saja apa kata Bidin. Bahkan ketika Bidin berjalan merapatkan tangannya kebahu Alfiah, Alfiah pun diam saja, bagai kerbau di cocok hidungnya.
“Terus terang aku naksir kamu”, Bidin mencurahkan perasaannya.
“Sejak kita bertemu tadi, saat kau sedang asik mengunyah kripik singkong yang aku belikan tadi, diam-diam aku mencuri pandang wajahmu, mulai dari bibirmu yang tipis bagai kulit bawang, dagumu yang indah, membuat aku terpesona, rambutmu yang ikal mayang, ingin rasanya aku membelainya dengan kasih sayang,”.
Alfiah mendengar sanjungan Bidin, terkapar tak berdaya. sesekali  ia berkata “Kamu bisa ajah Din”. Kemudian Alfiah menyandarkan kepalanya kebahu Bidin. Bidin tak bisa menolak karena memang itu yang ia inginkan, dan Bidin pun tak mau melepaskan kesempatan yang berharga itu.
Pasrah, begitulah kalu perempuan sudah kena’ sihir laki-laki. Alfiah seperti sebatang kayu yang akan segera roboh bila tidak di topang. Di bahu Bidin ia serahkan tumpuannya, dan pada saat itu ia sangat bergantung kepada keputusan laki-laki itu.
Tapi Bidin tak berani untuk bertindak terlalu jauh. Membelai belai rambut Alfiah itu baginya lebih dari cukup. Dengan demikian ia berharap Alfiah akan merasakan arti pacaran yang sebenarnya. Bukannya perempuan membutuhkan kelembutan? Kelembutan akan membuat perasaannya selalu indah, senang dan bahagia.
Beruntung sekali Bidin menemukan seorang gadis yang di damba-dambakannya tanpa susah payah. Rasanya terlalu gampang ia memperoleh cinta Alfiah. Mungkin inilah bentuk keindaha cinta untuk dirinya. Mungkin juga ia harus lebih banyak berfikir dari kemudahan itu.
Bagimana dengan Nazir? Bidin sampai lupa dengan temannya saat itu. Tadi ia ditinggalkan berdua dengan Hasanah. Bidin tak sempat berpesan apa-apa. Apakah Nazir mempergunakan kesempatan ini dengan Hasanah seperti halnya dirinya dengan Alfiah. Atau ia Cuma menunggu Bidin dan Alfiah menuntaskan acara? kasihan kalau ia begitu keadaannya. Tapi, rasanya tidak apa-apa jika dalam sebuah persahabatan masih ada yang beruntung.

Pukul dua Bidin dan Nazir mengantar Hasanah dan Alfiah pulang kerumah mereka. Mereka berpisah. Bidin dan Alfiah pun berjajnji akan bertemu lagi setelah perpisahan malam ini.

Dihari hari berikutnya pertemuan mereka berlangsung tanpa kendala. Hampir setiap hari mereka bertemu dipersimpangan kampung. Untuk sementara hubungan mereka berlangsung aman, kalaulah nanti muncul kecurigaan tentang hubungan percintaan mereka berdua, Bidin pun siap dengan jurus pamungkasnya, meminang Alfiah.
Waktu terus berlalu, hubungan Bidin dan Alfiah semakin akrab. Tak pelak lagi hati mereka merasa bahagia. Bercinta di usia muda ternyata tidak membuat ragu orang tua mereka.
Di saat itu Bidin teringat akan sahabatnya, Nazir. Sahabatnya itu tidak terlihat mengikuti langkahnya dengan Hasanah. Nazir juga seperti menyimpan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain. Sejak malam itu ia selalu minghindar bertemu dengan Bidin. Pernah beberapa kali Bidin memintanya menemani berkunjung kerumah Alfiah, maksudnya tidak lain tidak bukan Supaya mempertemukan Nazir dengan Hasanah, sekalian mengantar Bidin bertemu Alfiah. Sebagai teman semenjak kecil Bidin tidak mau senang sendirian. Ia ingin Nazir memiliki sepeti apa yang dimilikinya. Toh Hasanah cukup sepadan dengan Nazir. Gadis itu cantik, anggun dan berpendidikan, suatu yang hanya sedikit dimiliki perempuan di desa terpencil itu.

Tapi Nazir selalu menolak saat Bidin mengajak dengan berbagai alasan. Mungkin ia sudah membaca pikiran Bidin sehingga mudah saja ia mencari-cari alasan. Terakhir kali ia mempetegas pendiriannya bahwa ia tidak tertarik dengan Hasanah yang disebutnya memiliki banyak sekali kesamaan watak dengan dirinya.
Hasanah juga jarang kelihatan. Bidin hanya pernah sekali berpapasan dengannya. Di jalan dan setelah itu tidak ketemu lagi. Sepertinya ia sengaja menghindar. Menurut Alfiah yang menjadi teman dekatnya, Hasanah sedang menjalani hukuman di larang keluyuran gara-gara pulang nonton melewati batas waktu yang ditentukan. Kasihan Hasanah, baru sekali jalan sudah kena hukuman.

Hari hari terus berjalan. Setahun ternyata bukan waktu yang lama. Tibalah saatnya Bidin akan dinikahkan dengan Alfiah. Saat-saat datangnya kebahagiaan itu seperti gumpalan batu yang mengelinding dari puncak gunung. Semakin dekat ketanah semakin mendebarkan. Perasaan cemas dan bahagia bercampur aduk, dan sepanjang malam Bidin sulit memejamkan mata membayangkan terus ia duduk dipelaminan berdua bersama Alfiah.
Suatu siang yang agak mendung dengan diantar keluarga, dan sanak familinya, Bidin berangkat menuju rumah Alfiah. Disana acara pernikahan mereka akan dilangsungkan. Sesuai adat yang berlaku, mereka hanya menikah, tidak ada pesta. Pesta baru akan dilaksanakan beberapa hari kemudian.
Mengenakan jas pinjaman dan kaca mata hitam, rasanya Bidin seperti Gus Dur yang akan kecemplung jika tidak di tuntun. Dua orang dikanan kiri mengapit lengan Bidin bak’ polisi menggelandang maling, sampai-sampai untuk menggaruk kepala yang gatal saja susahnya bukan main. Di mata mereka, Bidin adalah raja di raja pada saat itu. Raja tidak boleh berjalan sendirian, harus diapit dan dikawal. Demi menghormati raja juga tidak boleh ada yang berjalan mendahului mereka.

Kedatangan rombongan ‘besan’  di sambut sohibul bait dengan wajah merunduk. Di luar kebiasaan, rombongan juga disuguhi kebisuan para hadirin yang datang. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Mereka seperti merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan acara pernikahan Bidin.

Bidin di persilahkan masuk kesebuah rungan besar. Dimana disana sudah ada pengkhulu yang siap menikahkan, pengkhulu itu tersenyum kepada Bidin, walau Bidin tahu senyum pengkhulu itu serasa dipaksakan. Ketika Bidin menyorongkan tangannya untuk berjabat tangan semuanya yang hadir diharap tenang oleh sohibul bait.
“Hari ini sedianya kita akan menikahkan dua orang saudara kita, semuanya sudah siap dan tinggal melaksanakan. Tapi rupanya Tuhan berkhendak lain. Itu, calon mempelai wanita menghilang sejak tadi pagi. Sudah dicari-cari keseluruh plosok kampung, namun tidak ketemu,” penghulu membuka pembicaraan. Sekejap ruangan itu menjadi hening mendengar kata-kata pengkhulu tadi.
Wajah Bidin langsung menjadi pucat mendengar calon istrinya, Alfiah menghilang entah kemana. Malu dan merasa tidak percaya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Selama berhubungan, Alfiah tidak pernah memperlihatkan sikap aneh-aneh. Hubungan mereka mulus dan Bidin tidak pernah mendengar ada orang ketiga diantara hubungan mereka. Mereka suka sama suka dan sama sama berikrar untuk melanjutkannya ke jenjang rumah tangga.
Di ruangan itu semua pandangan tertuju kearah Bidin seorang. Ada yang prihatin, kasihan, empati, bahkan ada yang mengejeknya.
”Bagaimana bisa jaga istri kalau jaga calon istri saja tidak becus?” sindir mereka.
Satu persatu anggota rombongan besan keluar dari ruangan. Mereka seperti para penjudi yang kalah di meja perjudian. Tak ada basa basi karena mereka juga merasa malu. Ayah Bidin orang yang paling pertama keluar dari ruangan. Wajahnya tampak merah padam dan pergi tanpa menyadari sandal yang dikenakan hanya sebelah kanan saja.
Setelah berpamitan dengan ayah Alfiah dan para hadirin, Bidin pun menyusul keluar seperti halnya ayahnya. Mereka mencoba menghibur Bidin dan membesarkan hatinya, tapi keinginan untuk meninggalkan ruangan itu sudah bulat.
Bidin tidak langsung pulang melainkan singgah dirumah Hasanah terlebih dahulu. Ia yakin bungkamnya Hasanah selama ini ada kaitannya dengan hilangnya Alfiah.


“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Alfiah?,” Tanya Bidin kepada Hasanah.
“Tolong ceritakan semua dengan jujur dan terbuka. Sekarang bukan saatnya lagi kau tutup-tutupi.”
Hasanah tidak menjawab. Wajahnya yang mengandung ketakutan. Akhirnya Hasanah menceritakan tentang hal apa yang terjadi sebenarnya dengan Alfiah.
“Alfiah, Nazir yang membawanya pergi”. Hasanah. Tiba tiba badan Bidin terasa sesak dan nyeri. Tidak disangka Nazir dibelakang semua ini. Begitu teganya ia merampas Alfiah dari tangannya. Kau jahat Nazir. Kau jahat sekali Nazir. Hati kecil Bidin berteriak-teriak penuh amarah.

Di atas kehancuran perasaan Bidin, akhirnya Hasanah menceritakan yang sebenarnya.
“Antara Nazir dan Alfiah sebenanya ada hubungan, sebetulnya mereka telah lama berhubungan, bahkan sebelum kenal kamu Bidin. Tak ada yang tahu dengan hubungan mereka berdua. Nazir yang memintaku untuk merahasiakannya, karena kalau terang-terangan mereka takut tidak mendapatkan restu orang tua. Usia yang masih belia menjadi pertimbangan, terutama bagi Nazir yang abang-abangnya belum satupun yang berumah tangga.”

Menurut Hasanah, hubungan mereka sebenarnya sudah putus. Masalahnya Alfiah tidak ingin mengambil risiko jika hubungan mereka tidak mendapat restu dari orang tua Nazir. Ia tidak ingin menunggu dalam ketidak pastian. Nazir pun tidak mempersalahkan keputusan yang sebelah pihak. Kawin baginya belum merupakan sesuatu yang mendesak. Ia berkeyakinan kalau memang jodoh tidak pergi kemana mana walaupun hubungan mereka renggang.
“Sikap Nazir itu yang membuat Alfiah kecewa,” lanjut Hasanah.
“Ia merasa seolah olah sudah tidak dibutuhkan lagi. Oleh karena itu ketika kau ada minat dengan Alfiah ia langsung menerimanya.”
“Mungkin ia ingin memberi pelajaran kepada Nazir dengan memperalat aju menjadi pacarnya,” kata Bidin menyela.
“Benar,” jawab Hasanah tanpa mengangguk.
“Alfiah berhasil memberi pelajaran kepada Nazir. Sewaktu engkau mengobrol dengan Alfiah sepulang nonton gambus itu, Nazir seperti orang yang kebakaran jenggot. Ia menyalahkan aku terus menerus karena telah mempertemukanmu dengan Alfiah. Ia juga mengancam akan mempermalukanku kalau aku buka mulut tentang kecemburuannya kepadamu.”
“Apa rencananya?” Tanya Bidin ingin tahu.
“Entahlah,” jawab Hasanah tak pasti.
“Aku hanya sekali mendengar dia mengancam kalau akan ada dari kita yang menjadi korban. Kupikir yang akan menjadi korban adalah aku, hingga aku tak berani keluar rumah dan ngomong sembarangan. Tapi ternyata kau yang diincarnya. Aku menyesal, karena diamnya aku tidak ada gunanya. Aku mohon maaf karena telah turut mengorbankanmu.”
“Nasi sudah menjadi bubur sekarang” kata Bidin dengan suara yang mulai serak.
“Tidak ada yang perlu disesali lagi sekarang. Nazir-Alfiah, aku tidak pernah mengukur seberapa dalam cinta mereka. Kejadian ini menunjukkan kepadaku betapa cinta mereka dapat mengalahkan segala galanya”.
Pedih menjalari setiap relung hati Bidin. Untuk pertama kalinya Bidin menangis dengan air mata yang tak putus-putus. Sepanjang hari, sepanjang malam. Perkawinan yang gagal senantiasa menjadi beban pikirannya. Kegagalannya membuatnya  menjadi menusia yang tidak berharga, ketika dirinya merasa membuat malu sekandung badan dan keluarganya, rasa malu membuatnya tersisih seperti sampah yang tak punya tempat layak di sisi manusia. Tempatnya hanya kesendirian dan kesunyian.
Di dalam kepedihan hatinya terkadang  ia menyesali perjuampaannya dengan Alfiah. Ia telah membuat orang lain berbuat jahat kepada dirinya. Bagaimanapun sakitnya perbuatan Nazir, ia menyadari hal itu bisa terjadi karena kepolosannya yang terlalu percaya diri. Ia tidak bertanya kepada temannya itu tentang Alfiah. Ia berjalan sendiri sambil menutup mata, telinga, dan pikiran. Cinta telah membuatnya terlalu percaya diri.
Kalaulah ada ulah Nazir yang tak dimaafkannya ialah caranya merampas Alfiah. Nazir telah membuatnya malu seumur hidup. Sejak hari perkawinannya yang gagal ia sudah tidak sanggup mengangkat muka apabila berjalan dikeramaian. Tatapan mata dan senyum orang yang ditemuinya seolah mengejek kepada dirinya. Kegagalan perkawinan harus diterimanya dengan rasa sakit hati yang tak bisa dibagi-agi. Bidin yang dahulu rajin kini berubah menjadi pemurung. Tak ada yang memberi harapan dan dorongan kerena Tanjung Pakis bukan tempat berkumpulnya para ahli psikoterapi yang pandai membaca bahasa penderitaan. Tanjung Pakis adalah sebuah desa nelayan yang penduduknya menganggap sakit karena cinta merupakan kesalahan tangan sendiri. Tak ada tempat bagi orang yang sakit karena putus cinta. Tak ada tempat buat Bidin.
Seiring berjalannya waktu. Tubuh Bidin semakin kurus kerena kurang makan, Bidin juga mulai hilang ingatan. Ia suka bicara ngawur, tertawa, atau menangis sendirian. Kata-kata yang sering diucapkannya adalah : Kau jahat Nazir, kau jahat sekali Nazir. Tiada hari tanpa ia megucapkan kata kata itu.
Suatu hari Bidin berhenti mengucapkan kutukan dan umpatannya kepada Nazir. Kedua orang tuanya merasa bahagia ketika mendengar Bidin berkata : “Bu, saya ingin melaut malam. Saya mau menagkap ikan hiu”. Kata hiu membuat orang tuanya percaya bahwa Bidin sudah waras dan sembuh. Bidin memang dikenal pandai menangkap ikan besar, suatu keahlian yang diwariskan oleh ayahnya yang kini sudah uzur. Kebetulan harga sirip ikan hiu itu sangat mahal dipasar lelang. Oleh sebab itu ibunya mengizinkannya melaut.
Di malam Bidin melaut. Ibunya berpimpi anaknya berhasil menangkap seekor ikan hiu yang besarnya seukuran tak muat perahu. Bidin menyerahkan ikan hiu kepada ibunya dan berpesan supaya perutnya dibelah dulu sebelum dijual.
Esok paginya kedua orang tua Bidin pergi kepantai hendak menjemput anaknya. Disana mereka melihat nelayan yang sedang mengerumuni ikan hiu yang sangat besar. Tapi mereka tidak melihat Bidin disana. Juga perahunya. Ketika ditanyakan tak satupun nelayan yang melihat Bidin.
“Semalam saya melihat Bidin mencari ikan di laut lepas,” kata seorang nelayan.
“Mungkin ia mampir di bagan untuk mengangkat jaring.”
“Tidak mungkin sampai sesiang ini,” kata ayahnya cemas.
“Orang laut pasti tahu kapan saatnya ia harus pulang kedarat.”
Kecemasan juga terpanjar diwajah ibunya Bidin. Setelah tahu anak kesayangannya tidak kembali kepantai, perempuan separuh tua itu langsung meneteskan air mata. Seakan ia sudah tahu anaknya tidak akan pernah kembali kedarat dalam keadaan hidup.
“Coba dibelah perut ikan hiu itu” pintanya kepada salah seorang nelayan.
Dengan ragu ragu nelayan itu menuruti. Dibelahnya perut ikan hiu itu. Yang lain tampak tidak peduli dengan maksud orang tua Bidin yang meminta perut ikan hiu itu dibelah. Mereka sibuk dengan rencana pembagian hasil setelah ikan hiu dijual.
Obrolan mereka surut ketika bagian dalam perut ikan itu sudah terbuka. Mereka melihat sesuatu yang mengenaskan disana. Ada jasad manusia yang sudah tidak utuh dan tercabik cabik. Sehelai baju berlumur darah menjadi bukti yang sulit dipungkiri bahwa Bidin mati setelah terlebih dahulu dimangsa ikan hiu.
Selain kalimat inna lillahi wa inna ilaihi roji’un tak ada lagi kata yang terucap. Mereka yang ada ditempat itu semua terdiam seribu bahasa. Terlihat mata mereka berkaca-kaca. Sebagian mereka yang alergi dengan bau anyir bangkai manusia langsung pergi meninggalkan tempat itu. Sebagian yang lain yang masih punya hati nurani segera membantu, kedua orang tua Bidin mengumpulkan serpiham serpihan jasad Bidin dari perut ikan hiu. Mereka memasukkannya kedalam karung dan membawanya pulang untuk dikuburkan secara layak.
Kematian Bidin yang mengerikan itu membuat penduduk enggan pergi melaut. Bukan lantaran takut dengan ikan hiu, melainkan mereka disibuki dengan obrolan seputar kematian Bidin yang ada hubungannya dengan perkawinannya  yang gagal. Selama ini mereka hanya menganggap penderitaan batin Bidin sebagai buah ketidak berdayaannya dalam menghadapi cobaan. Tetapi sekarang mereka sepakat untuk memasukkan nama Nazir dan Alfiah didalam setiap obrolan. Karena dia lah biang keladinya.

Nazir dan Alfiah yang menempuh kawin lari, keberadaan mereka tak jelas dimana tempatnya. Penduduk Tanjung Pakis telah menetapkan kutukan bagi pasangan itu, menderitaan dan sengsara sepanjang mereka hidup. Mereka juga menghalau setiap perahu yang membawa keduanya pulang ke Tanjung Pakis. Perbuatan mereka baru termaafkan jika mereka mengalami musibah yang setimpal, jika di darat di terkam harimau dan jika dilaut di mangsa ikan hiu.


Hampir dua jam aku termangu diwarung ini. Tak terasa segelas kopi sudah hampir habis, lima buah bakwan dan tiga buah tahu isi sudah mengisi perutku yang selama perjalanan kosong. Dua jam aku terhanyut mendengar cerita orang-orang di warung kopi. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan jam empat sore. Cerita itu begitu menyentuh perasaanku. Percintaan remaja yang sesekali di bumbui kesedihan sampai kematian yang mengharukan. Cerita yang menitikan air mata, menguras perasaan bagi siapa saja yang mendengar kisah Tanjung Pakis itu. Tak disangka kampung terpelosok ini penyimpan sejuta kisah romantis namun berakhir teragis.

Sesekali aku menghela nafas, aku terbawa suasana oleh alur cerita yang memilukan serta mengharukan. Tak terasa dan tak bisa menahan air mataku mengalir dari kelopak mata. Pikiranku menerawang jauh, tega benar remaja bernama Nazir membawa kabur calon pengantin Bidin yang notabene’nya adalah sahabatnya sendiri, kejam benar Alfiah meninggalkan Bidin seorang diri dimeja pengkhulu yang siap menikahkan mereka. Tragis benar nasib Bidin hingga ia meregang nyawa diantara gigitan hiu yang buas itu.
Tanjung Pakis, eksotis, romantis, namun dibalik itu ia terselimuti cerita tragis, hingga orang yang mendengarnya pasti akan menangis.

Selamat malam Tanjung Pakis, atas nama cinta aku berbela sungkawa akan kesedihan mu. Sumpah demi air mata yang mewarnai ceritamu. Salam senyum untuk Almarhum Bidin, mudah mudahan engkau menemukan Alfiah lain yang lebih sejati dibandingkan Alfiah dunia….Amien.
























TEMBANG PILU DI TENGAH MALAM

Cerita pendek yang ku tulis belum lagi selesai ketika dari kejauhan sayup-sayup aku mendengar suara merdu perempuan menembang. Begitu merdu suaranya sampai-sampai aku terbius dalam untaian syair nada suaranya. Segera telinga dan pikiranku bekerja untuk memastikan suara itu bukan berasal dari langgar tempat anak anak menyanyikan tembang salawat di langgar. Jika tidak salah ingat, ini adalah malam ketiga kalinya aku mendengar tembang itu. Pada kesempatan pertama dan kedua aku hanya mengira itu suara Hayatunnisa santriwati yang bersuara merdu yang berdendang untuk mengusir sepi di kamar mandi pondok yang kata orang agak sedikit angker. Ia mempunyai suara yang merdu dan mendayu-dayu, mengingatkan aku akan Mimi Jamilah biduwanita gambus al Fatah yang terkenal di kampung ku. Tapi setelah aku tahu bahwa Hayatunnisa sedang pulang karena sakit, aku mulai berpikir pemilik suara itu adalah orang lain.
Ku dekatkan telinga ke daun jendela. Suara itu makin jelas terdengar dan seperti berasal dari sebuah gubuk di tengah kebun sayur. Apakah ada orang yang sedang berkemah disana? Aku mencoba menerka-nerka. Barang kali juga. Sebab beberapa waktu lalu tempat itu pernah dijadikan objek penelitian sekelompok mahasiswa Bandung yang tengah mengadakan studi banding. Aku bahkan pernah mengunjungi mereka pada suatu malam, dan kulihat mereka membakar api unggun sambil bernyanyi.
Sedang aku berfikir demikian, tiba tiba suara itu lenyap. Berarti benar disana masih ada orang berkemah. Mungkin mereka sudah lelah dan malam sangat larut sehingga mahasiswi berhenti bernyanyi. Aku pun kembali kemeja komputerku. Setelah itu aku melanjutkan menulis cerita pendek dan berharap bisa selesai sebelum pukul dua dini hari karena minggu depan harus sudah aku kirim ke meja redaksi.
Namun, baru saja tanganku mulai mengetik, tembang itu terdengar lagi. Kali ini amat pilu dan menyayat hati iramanya. Seperti lagu seriosa dalam suasana duka cita, dimana kepiluan milik orang yang menangis dan keharuan milik orang yang mendengarkan. Tembang itu begitu merasuk kedalam jiwa dan seakan akan akulah yang sedang ditujunya. Ia terus menembang dan menembang, sampai diriku tenggelam dalam keharuan yang bertalu-talu.
Malam ini aku seperti tidak sadar. Aku terus-menerus mendengarkan sajak yang sedih. Sajak berisikan air mata dan kenestafaan. Tanpa pikir panjang aku memberanikan diri untuk keluar walau aku tahu hujan sore tadi masih merintik rintik di atas genting. Ku ambil topi dan jaket, lalu keluar dari pintu belakang. Aku harus membuktikan dengan mata kepalaku sendiri apa yang terjadi ditengah kebun sayur itu.
Letak kebun sayur itu tidak jauh dari rumahku, tepat dibelakang pesantren dekat rumah ku. Letaknya hanya sekitar 100 meter. Tapi untuk sampai kesana aku harus melewati hutan bambu yang diselimuti semak dan belukar. Tempat itu gelap dan sunyi. Ini memang salah satu sudut asrama pondok yang paling ditakuti para santri karena keseramannya. Pernah ada cerita ada santri kalong yang tidak jadi bolos Muhadharah lantaran ia takut melawati keseraman kebun sayur itu, sampai sampai santri itu lari terkencing kencing.
Hal di atas juga di amini juga oleh Ustz Sohibul Hidayat teman sejawatku yang juga masih keturunan kiai, ia merasakan suatu yang aneh ditempat itu.

Pernah juga aku akan membunuh ular hitam yang sembunyi didalam kamar asrama. Tapi oleh Ustaz Sohib niatku dihalangi, menurutnya, ular itu ular jadi-jadian dari salah satu jin yang tidak sempat mengungsi. Dulu ketika sewaktu kiai meninggal, ada sebagian khadam nya yang tidak sempat disuruh pergi. Mungkin khadam-khadam itu sekarang menghuni pepohonan bambu di bekas pemakaman itu.
Percaya atau tidak, soal seramnya kuburan dekat  pohon bambu itu memang bisa menggoyahkan keberanian siapa saja. Pernah ada seorang pertapa yang ingin mendapatkan ilmu sakti di tempat itu. Pada sebuah batu nisan ia mengikat lehernya dengan seutas dadung, maksudnya bilamana diganggu oleh roh jahat masih ada yang menahannya untuk lari. Tapi dasarnya orang yang penakut, sudah diikat begitupun dia tetap saja takut. Baru saja mendengar suara bunglon menjerit ia sudah tidak kuasa menyembunyikan rasa takutnya. Saking takutnya, ia bahkan tidak sadar kalau batu nisan yang diikat dengan dadung dilehernya ikut tercabut ketika ia lari.
Kesan lucu itu sedikit menentramkan hatiku walaupun bulu kuduk sempat berdiri juga. Aku yakin tidak ada yang bisa mengejutkanku di tempat ini sebab aku termasuk yang tidak percaya dengan cerita yang berbau mistik. Bukannya aku takabur, tapi begitulah caranya untuk melawan gangguan gaib. Roh jahat tidak akan menggangu orang yang tidak percaya dengannya.
Benar. Sepanjang jalan di hutan bambu itu aku tidak menemui sesuatu yang aneh. Kecuali bahwa tembang pilu dari arah gubuk di dekat kebun sayur makin jelas suaranya. Rintihan kesedihan perempuan itu seperti menahan gerak angin dan hujan untuk tidak menyentuh dedaunan pohon bambu.
Sejurus kemudian aku sudah sampai dikawasan kebun sayur. Dengan hati-hati sekali kutelusuri pematang menuju gubuk yang terletak ditengah kebun. Beberapa kali aku sempat mengumpat kesal karena jalan yang licin membuat kakiku hampir tergelincir dan jatuh. Untunglah umpatanku tidak terlalu ribut, sehingga masih ada harapan kehadiranku tidak mengejutkan orang yang sedang berada digubuk itu. Aku ingin perempuan itu masih menembang ketika aku datang.
Tiba-tiba perempuan itu menghentikan tembangannya ketika tahu ada orang lain selain dirinya disekitar gubuk. Ia menatap ke arahku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Sambil menyeka wajah yang basah kuhampiri perempuan itu dan duduk disebelahnya. Ia kelihatan tidak ambil peduli dengan kedatanganku. Dari kilatan cahaya petir aku pastikan ia adalah perempuan yang cantik. Wajahnya ayu dan manis, aku kira usianya sekitar dua puluhan. Disaat itu pula aku merasakan betapa aku pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Tapi, entah dimana, aku sudah lupa.
Sayang sekali ia kelihatan letih dan pucat. Tatapan matanya begitu kosong bagai biji ketapang. Bibirnya yang tebal tampak kering dan pucat. Mungkin sebelumnya ia terlalu sering bergadang, atau kalau ia seorang penyanyi, ia terlalu sering naik panggung hingga larut malam.
Aku pun menyuruhnya untuk meneruskan menembang. Perempuan itu menoleh. Lalu memandangku lurus. Aku membalas pandangannya, seakan-akan memberi semangat kepada dirinya.
“Lagu apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara parau.
“Suukaro,” jawabku tanpa pikir panjang.
“Selera musikmu tinggi juga,” katanya memuji.
“Dari mana kau tahu lagu itu?”.
Aku jawab bahwa aku pernah berteman denga seorang biduwanita. Dia sering menyanyikan lagu itu di panggung.
Dengan suaranya yang merdu mulailah ia menyanyikan lagu kesukaanku itu. Tubuhku seperti melayang layang dibuatnya. Panggung demi panggung aku datangi, wajah demi wajah kutatapi, sehingga melintas kembali wajah Robiatul Adawiyah dipelupuk mata. Sayang sekali aku tidak bisa berlama lama mengingat Adawiyah. Kini dia sudah ada yang punya. Rasanya baru kemarin aku datang kewalimahan mantanku itu. Pernikahannya begitu mendadak. Tiga hati sebelum ijab kabulnya ia memberitahukanku behwa ia akan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Aku sangat kaget mendengar kabar yang hanya lewat telepon itu. Kami pun menangis bersamanya dimalam itu, karena kisah kasih kami berakhir tragis diatas pernikahannya.
Belum lagi aku terbius dengan tembangannya. Lagu itu sudah selesai dinyanyikan. Ia bertanya kepada ku "Apa yang membuatmu tertarik dengan biduan?”.
“Aku pikir karena cinta,” jawabku.
“Cinta?” katanya seraya tidak percaya.
“ Kau tahu biduan itu milk orang banyak. Dirumah ia milik suaminya, di panggung ia milik orang lain. Dengan mencintainya, berarti kau siap menerima keadaannya”.
“Kan dalam hidup ini harus ada kompromi,” jawabku membela diri.
“Kita harus tahu mana batas-batas toleransi dan mana batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Apalagi kami berangkat dari rumah yang berbeda. Seperti sajak penyair Kahlil Gibran, tidak selalu cinta seperti makan dari piring yang sama.”
“Kau punya bakat penyair rupanya,” pujinya lagi.
Wanita menghela nafas kuat-kuat. Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang hal dirinya. Ia pun menjawab bahwa dirinya adalah Umi Maria Ulfa.
“Aku Umi Maria Ulfa yang malang”.
Malang! Apa maksudnya? Padahal Maria Ulfa yang ku kenal adalah buduawanita termahal. Posisinya selalu menjadi bintang tamu yang hanya satu dua lagu menyanyikan disetiap hajatan kampung. Setiap ia ada show manggung ia pasti dikawal dan diantar dengan sedan mewah, begitu juga pulangnya. Satu hal yang membuatku tidak percaya, jika ia benar Umi Maria Ulfa, mengapa harus mengucilkan diri ditempat sesepi seperti ini. Ia tipe buduwanita yang menurutku pandai mendatangkan sorak sorai penonton. Aku bahkan masih ingat ketika aku menontonnya di kampung sebelah. Aku lihat bagaimana ia menyanyikan lagu habibi nya Amru diyab. Suara penonton riuh rendah memberi tepuk tangan.
“Lebih baik kau ceritakan semuanya dari pada di biarkan terus menyesakkan hati,” kataku memberi dorongan.
“Akan banyak sekali pelajan yang didapat oleh orang lain jika kau mau menceritakan pengalaman hidupmu.”
Ia menelan ludah. Tatapan matanya menengadah ke langit.
“ Toriqin,” ucapannya tiba tiba.
 “Kemalanganku berawal dari dia.”
“Sebelumnya aku tidak begitu mengenalnya, kecuali bahwa dia sangat baik disaat-saat aku membutuhkan pertolongannya. Tapi itu ku anggap hal yang wajar dalam bergaul. Walau aku sempat bertanya dalam hati, aku belum bisa menyimpulkan secara pasti pikiran apa yang sedang berputar dalam benaknya. Baru aku tahu saat ia bermaksud menyatakan cinta dihadapanku. Karena tidak ada alasan lain untuk menolaknya, ditambah lagi aku baru saja ditinggal pacar, pernyataan cintanya itu lalu aku terima. Jadilah kami pacaran.”
Ia berhenti sebentar. Setelah menghela nafas panjang, lalu ia melanjutkan lagi.

“Tapi keindahan cinta yang kurasakan tak sampai dua minggu. Ia meninggalkanku begitu saja tanpa alasan-alasan yang bisa ku mengerti. Katanya ia sedang diburu pekerjaan hingga ia kurang memperhatikan aku. Walau sebenarnya hati kecilku menerima, tapi aku sudah terlanjur kecewa. Aku mendendam kepadanya. Aku ingin menunjukkan kepada dirinya bahwa aku bisa mencari laki-laki selain dia. Maka setiap laki laki yang menyatakan cinta kepada ku lalu aku terima dan ku tampung. Tapi terakhir aku hanya punya satu, yang lainnya tersingkir karena tak dapat memberikan kebahagiaan materi kepadaku. Dia adalah Zakaria.”

"Beberapa waktu kemudian Toriqin yang lepas dari kesibukan kembali kepadaku. Entah kenapa yang pertamanya aku mendendam kepada dirinya, malah kembali baik lagi kepadanya, mungkin karena aku masih mencintainya. Katakanlah, ia dulu pernah memberi secercah harapan dan kasih sayang yang aku butuhkan, hingga ia mencairkan suasana hati yang dulu beku karena kecewa ditinggal cinta."

"Dalam diamnya Toriqin aku berusaha jujur. Ku bilang kepada Toriqin aku sudah mempunyai kekasih selain dia. Hebat kan! dalam sekali waktu seorang perempuan punya dua orang kekasih'. Tapi Toriqin masih tetap diam dengan ejekanku".

"Singkatnya aku harus memilih antara Toriqin dan Zakaria. Baik Toriqin dan Zakaria masing masing mempunyai kelebihan. Zakaria banyak uang dan dermawan. Tapi sayang cintanya sudah terbagi, kerena ia sudah menikah dan mempunyai anak, aku hanya simpanannya saja. Toriqin, seorang yang keras kemauannya, tapi kehidupannya pas pasan. Mendengar kata -kataku Toriqin pun terpental. Mungkin karena kata kataku yang kasar kepadanya. Dua minggu lamanya aku tidak melihat batang hidung Toriqin."

"Setelah dua minggu itu, Toriqin lalu muncul untuk menawar cinta kepadaku. Alasan yang diberikan pun masuk akal, bahwa aku bukan sedang menawarkan harga mati. Ketika suatu hubungan belum terjalin menjadi tali pernikahan, setiap laki laki boleh mengajukan penawaran atas diri wanita itu. Ini wajar, sebab jodoh ditangan Tuhan. Orang boleh saja menentukan siapa pacarnya, tapi yang menentukan jalinan pernikahan adalah Allah. Walau terkadang kita mendapat barang second dalam kehidupan ini. Walau sudah ku tolak mentah mentah kedatangannya kerumahku, tapi Toriqin tak pernah berhenti menunjukkan kesungguhannya kepadaku, ia berusaha menempuh jalan lain, menyuruh orang untuk mencari kabar tentang  aku. Tentu saja hal itu membuatku tambah benci kepada Toriqin. Ia seperti hendak menghalangi kebebasanku, ia seperti hendak merampas hak ku untuk mencintai Zakaria. Ini tak boleh terjadi, ini harus ku balas dengan lebih kejam."

“Puncak dari kebencianku meletup disaat ia mencegat ku setelah aku manggung ditengah keramaian.. Aku maki dia dengan kata-kata yang sangat kasar yang sangat tidak pantas keluar dari mulutku. Sengaja aku lakukan didepan orang banyak agar ia merasa malu. Hari itu, setelah kumaki, ia pergi sambil memeluk buku yang hendak diberikannya kepadaku. Ia kelihatan pucat dan malu dan pergi tanpa menoleh kepadaku. Mungkin karena ketajaman kata-kataku yang menusuk dan mengiris perasaannya. Akupun tertawa terbahak bahak, tawa penuh dengan kemenangan. Sebagai ucapan rasa syukur aku ceritakan kejadian itu kepada Zakaria yang kemudian ikut tertawa mendengar ceritaku. Agar Toriqin semakin tersudut, kuberitahu teman teman agar tidak meladeni pengaduannya. Aku juga menginginkan ia hancur di mata teman-temanku."

“Setelah itu aku tidak melihatnya lagi, kabar tentang dirinya juga aku tidak pernah dengar. Ia seperti lenyap tanpa bekas. Dirinya, suaranya, suara sepeda motornya tak ku dengar lagi. Padahal aku menunggu nunggu kabar tentang dirinya. Baru pada satu malam aku mendapatkan petunjuk keberadaannya, sekaligus merasa kasihan dengannya. Aku bermimpi melihat ia berdiri didepan rumahku. Katanya, ia mau pergi ke suatu tempat. Ia meminta izin karena kepergiannya kali ini tidak menjanjikan dirinya kembali lagi. Itulah satu satunya mimpiku tentang Toriqin, laki-laki yang pernah membuatku simpati sekaligus benci. Mimpi itu terus-menerus memaksa aku memikirkannya.”

Perempuan itu tersiak-siak mengais sambil bercerita kepadaku. Bagian cerita yang memilukan dan menyedihkan.

“Selang satu bulan setelah mimpiku itu, aku mendengar kabar tentang Toriqin meninggal, ia menghembuskan nafas terakhir ditempat yang begitu mulia, dipelukan ibunya, tepat dimana selama ini ia mengadukan penderitaannya. Seketika itu menetes air mataku. Aku menangis demi mengingat Toriqin sebagai orang yang sangat menderita. Kebencianku telah mengancurkan hidupnya. Ia merasakan sakit dari kata-kataku hingga ajal menjempunya. Sungguh aku manusia yang paling kejam di dunia ini. Aku kejam karena tidak memaafkan kesalahan Toriqin yang sebetulnya tak perlu ku ambil hati. Aku kejam karena membalas kejujuran dan ketulusan cintanya dengan kata-kata yang menyayat hati. Padahal ia meninggalkanku hanya untuk bekerja dan mengumpulkan rizki untuk meminang aku bila uangnya sudah terkumpul. Aku salah sangka dan membuat kecewa. Bila saja aku tidak mempermalukan dirinya dihadapan orang banyak, tentu keadaannya tidak seperti ini.”

“Hari itu aku melayat kerumahnya. Kepada ibunya kusampaikan rasa bela sungkawa dan permohonan maaf. Kucium tangannya seakan-akan ia juga ibuku yang tidak boleh ku sakiti hatinya. Berdua kami saling menyeka air mata tangis dan kedukaan. Wanita itu kemudian mngelus ngelus rambutku dengan penuh kasih sayang. Tapi tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia telah kehilangan kata katanya, ia telah kehilangan segala galanya, anak tumpuan hidupnya, harga dirinya, yang semua itu akibat ulah dan kata kataku. Aku telah membuat wanita itu menanggung malu karena anak laki lakinya kuhina. Bagi wanita itu, penyesalan dan permohonan maafku sudah terlambat. Penyesalanku akan membuatnya semakin menderita, setiap kali aku meminta maaf setiap kali itu juga ia  menangis untuk anaknya.”

“Setelah kematian Toriqin, aku seperti kehilangan gairah hidup. Aku jadi sering menyendiri dikamar, menyesali perbuatanku dengan menangis dan melamun. Di saat yang sama aku juga harus menanggung malu keluarga.”

“Tiga hari lalu aku sampai disini, beban penderitaanku yang membawa ku sampai kesana”.perempuan itu sambil menunjuk kearah pintu air tanggul sawah.

Hari sudah hampir subuh aku masih mendengarkan cerita wanita itu. Sesaat azan Subuh menggema seantero jagat. Aku mengajaknya lekas pergi akan tetapi ia menolak.
“Jika kau maksud untuk menyembah Tuhan, pergilah dan tunaikanlah sendiri. Aku tidak bisa melakukannya karena sudah lama aku melupakan Tuhan. Aku mahluk terkutuk.”
Aku mengernyitkan alis, bulu kudukku bangun. Apakah ia bukan manusia lagi?. Demi Tuhan, mudah-mudahan aku tidak sedang bertemu orang yang sudah mati. Tanpa menoleh lagi kearahnya aku tinggalkan dirinya sendiri digubuk, aku telusuri jalan pulang kerumah. Aku harus cepat-cepat sampai kerumah.
                                                            *          *          *

Siang hari kuajak beberapa orang penduduk memeriksa keadaan pintu air. Arus yang deras mengisyaratkan sesuatu yang mengerikan terjadi disini. Isyarat itu diperkuat oleh bercak darah yang mulai mengering. Setelah memanjatkan doa ku suruh dua orang dari mereka untuk menyelam kedalam kubangan pintu air yang arusnya deras. Beberapa waktu kemudian mereka sudah kembali dengan sesosok mayat perempuan yang hampir rusak. Itulah Umi Maria Ulfa, perempuan yang aku temui semalam ditengah gubuk kebun sayur, sungguh malang nasib biduanita itu. Kepalanya remuk terhantam benda keras. Rupanya sebelum terjun, ia membenturkan kepalanya terlebih dahulu kedinding pintu air. Ia mati bunuh diri.

“Tolong kuburkan jenazahnya selayak mungkin,” kataku kepada orang yang sedang megangkatnya.
“Wanita itu masih manusia juga.”
Sebelum beranjak pergi ku sempatkan diriku melihat kepusaran air. Dibawah sana, Umi Maria Ulfa sedang tersenyum dan melambaikan tangan kearahku. Kini ia telah bebas dialamnya sendiri.



                                        GURATAN PERJALANAN HIDUP PENJUAL BANTAL


D
alam teriknya hari, panas menyengat seakan membakar sekujur kulit ketika sang mentari menyentuh rinai kulit. Panas tahun ini seakan tidak dapat dikompromikan, sumur tanah hampir tidak mengeluarkan air, walaupun keluar air, airnya tidak sebening dan sejernih ketika musim kemarau tahun lalu. Panas yang berkepanjangan membuat tubuh menjadi mudah terserang sakit, aku bahkan beberapa kali terserang penyakit yang mengharuskan aku berobat kedokter dengan beberapa resep yang berbeda. Dalam kesempatan dan kesibukkan aku yang agak padat, aku menyempatkan untuk datang kembali ke tempat dulu aku menimba ilmu.  Yah’ aku harus kembali ke kampus tercinta untuk sekedar memberi bimbingan dan arahan mahasiswa yang kesulitan mengerjakan tugas akhirnya.  Satu hari aku terpaksa izin dari jam mengajarku di sekolah, aku bahkan sempat menolak permintaan mahasiswa itu tapi apa daya aku sudah terlanjur meng amini permintaannya, terpaksa aku meminta guru kelas untuk menggantikan ku untuk dapat masuk dan mengisi jam yang aku tinggalkan. Mungkin aku tipe orang yang tak dapat menolak bila aku dimintai tolong oleh orang lain, mungkin karena itulah aku sering di mintai tolong oleh sahabatku.

Pagi buta aku sudah menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan mahasiswa itu, tugas mahasiswa itu mungkin agak terlalu berat, ia membahas tentang variabel pendidikan yang menurutku agak sedikit rumit. Aku terpaksa sedikit memutar otak, aku buka catatan-catatan ku yang selama ini aku tinggalkan semenjak aku lulus kuliah, ku buka lagi buku-buku kuliahku, beberapa isi akhirnya aku temukan tentang filsafat pendidikan.

Setelah semua siap, semua bahan aku simpan kedalam tas agar tidak terlupakan olehku, tak lupa aku membawa tulisan-tulisanku yang belum selesai, aku harap tulisanku ini terselesaikan sebelum sore menjelang karena aku sudah di kejar deadline oleh redaksi salah satu koran di Bekasi.

Hingga pada saat pertemuan, aku arahkan kepada mahasiswa itu bahwa tugasnya ada beberapa yang harus direvisi ulang, penambahan paragrap dan isi pun diperlukan untuk menyempurnakan tugasnya. Mudah mudahan dua kali bimbingan lagi ia dapat menyeminarkan proposalnya ke meja penyidang.

Diliputi rasa lelah akhirnya selesai juga tugasku, setelah memberi beberapa arahan dan revisi, akhirnya aku harus kembali pulang kerumah, mungkin aku sudah di tunggu dan diharapkan dirumahku, maklum saja aku tinggal bersama nenekku yang sudah tua dan sering sakit-sakitan.

Dengan lekas ku pacu sepeda motor Supra ku menuju pulang, aku harap sebelum jam 5 lima sore aku sudah sampai dirumah. Memang dasar nasibku kurang beruntung saat sampai di tengah perjalanan ban sepeda motorku gembos karena bocor. Manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang menentukan akhirnya. Aku berharap sampai rumah jam lima, tapi malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat kuraih. Terpaksa aku menuntun sepeda motorku untuk sampai ketukang tambal ban terdekat, setelah beberapa meter aku menuntun sepeda motorku akhirnya aku sampai di tempat tambal ban.
Aku  mencoba menghela nafas yang sedari tadi tersengal-sengal setelah menuntun motor yang gembos, mungkin karena aku kurang olahraga hingga aku menjadi mudah lelah. Aku atur nafas agar tidak terlalu tersengal-sengal, pikirku kalut, tugas menumpuk dari sekolah, tulisan yang masih tercecer yang harus segera diterbitkan dan hari ini sialnya aku, banku gembos terkena paku.  Sambil menyeka wajah hingga menjalar ke kepala aku mencoba untuk tetap sabar. Belakangan ada seorang lelaki setengah baya yang lewat dengan gerobak dagangannya, ia berupaya permisi di hadapanku seraya meminta izin duduk dibangku panjang bengkel tambal ban itu, dengan segera aku mempersilahkan ia duduk. Sebenarnya aku sedari tadi memperhatikan ia berjalan agak lunglai, mungkin ia kecapean, tapi pikirku menerangwang jauh, aku jadi ingat dengan pamanku Zubair, ia berjalan seperti jalannya pamanku dulu yang terserang sakit keras, hati ku terus menerka-nerka tentang dirinya. Sekembali aku mengingat tentang pamanku Zubair, aku mencoba memperhatikan kelelahan lelaki setengah baya itu, ia menyeka mukanya yang penuh dengan keringat hingga handuk tangannya tampak basah karena basahan keringat. Aku juga hampir mendengar detak jantungnya yang berdebar dengan sangat kencang dan jelas. Mungkin terkaanku benar ia sedang kelelahan, dan butuh istirahat.

“Bapak kelihatannya cape sekali yah?” tanya aku dengan penuh ke ingin tahuan. Ia diam sesaat manarik nafasnya yang masih tersengal-sengal. Dengan pandangan yang sedikit kosong ia menatapku, matanya hening sejuk bagai angin dimusim semi, namun dibalik itu aku yakin ia menyimpan buah pikir yang berat dalam hatinya.

“Iya dek’, sudah lelah rasanya saya menyusuri jalan demi jalan, gang demi gang, namun belum ada yang membeli dagangan saya ini” Lelaki setengah baya itu mencoba menjawab ke ingin tahuan ku kepada dirinya. Dagangan masih terlihat penuh dan mungkin belum laku satu barangpun yang berkurang dari roda dagangannya. Bantal dan guling masih mengisi roda dagangannya, mungkin ia sudah sangat lelah membawa kesana-kemari bantal-bantal dagangannya hingga pada saat sore ini dagangannya belum laku walau hanya satu bantal pun. Aku melihat ia miris beserta sedih, ternyata masih ada yang lebih susah dariku, aku baru ditimpa ban gembos saja umpatanku kepada Tuhan sudah sangat begitu banyak, apa lagi aku diposisi ia mungkin aku sudah ingkar nikmat.

“Dulu ketika saya muda, saya melang lang buana sampai ke ujung Sumatra, pulau Jawa hampir semua pernah saya susuri, jalan demi jalan, gang demi gang, sampai saya pernah terjatuh dalam gang sempit di selokan sampai saya di tolong orang sekampung. Saat itu mungkin saya sangat kelelahan, hingga saya tak sadar telah melewati got yang melintas dalam gang yang sempit. Semasa masih muda saya termasuk orang yang sangat gagah dan cekatan, saya mulai berdagang sedari lulus SMP, maklum saja orang tua saya tidak mampu menyekolahkan saya ketingkat yang lebih tinggi semisal SMA. Setelah saya putus sekolah, saya merantau ke kota impian yang namanya Jakarta, saya katakan kota impian karena ketika saya masih SMP banyak anak muda desa saya bercerita tentang indahnya hidup di kota Jakarta yang sangat mewah. Di Jakarta kita bisa mendapatkan apa saja yang kita butuhkan, bukan seperti keadaan di kampung yang hidup dengan penuh kekurangan dan keprihatinan. Berkat cerita itu, dan semangat untuk hidup yang lebih baik lagi saya hijrah ke Jakarta, berbekal uang hasil tabungan saya ketika SMP akhirnya saya sampai di kota Jakarta. Sesampainya di Jakarta, hati saya mulai meragu, apa yang hendak saya lakukan di kota sebesar ini, apakah mungkin saya yang hanya berbekal ijazah SMP bisa menaklukkan kota sekejam Jakarta. Keraguan saya bertambah, ketika saya periksa tas bekal saya di bobol pencopet, persedian uang saya menipis, untung saja saya masih sempat memisahkan uang hasil celengan saya itu. Muter-muter saya mencari tempat tinggal, niatnya untuk mencari kontrakan yang murah, beberapa kali juga harus pindah kontrakan karena saya tidak sanggup bayar kontrakan, pekerjaan apapun saya kerjakan asal bisa menyambung hidup untuk makan dan bayar kontrakan, dari pedagang asongan, pengamen kereta listrik ekonomi jurusan Jakarta-Bekasi, hingga menjadi loper koran di Stasiun Kota. Ternyata Jakarta tak seindah yang saya pikirkan dan bayangkan”.  Sesekali lelaki itu menyeka keringatnya yang mulai mengering ter lap handuk tangannya.

“Hampir 2 tahun saya terlunta-lunta di kota Jakarta, saya pun sempat di gelandang satpol PP ketika saya tidak mempunyai tempat tinggal alias tunawisma. Dalam hati ingin kembali kekampung halaman untuk merajut hidup sebagai petani, tapi saya sudah terlanjur berbohong kepada orang sekampung bahwa kehidupan saya di Jakarta sangat enak dan makmur, saat itu saya mudik ke kampung saya bergaya hidup ala metropolitan, saya malu bila terlihat miskin dimata orang kampung, yang mereka tahu saya hidup enak di Jakarta.  Kepura-puraan kaya sayapun akhirnya ketahuan juga, waktu itu ketika saya menjadi pemulung sampah saya bertemu orang satu kampung saya, betapa malunya saya padanya, sampai-sampai saya tak berani lagi kembali kekampung akibat malu iitu, mungkin sudah beberapa lebaran saya tidak mudik gara-gara menanggung malu ini”. Ia terlihat sangat lelah, sesekali lelaki setengah baya itu ter enyuh, tatapan matanya kosong, entah dibuang kemana buah pikirnya.

“Dua tahun saya menjadi gelandangan, terlunta-lunta dalam kejamnya kota Jakarta. Sesekali terbesit niat jahat dalam pikiran saya. Saya berpikir mencari jalan pintas untuk merampok atau mencuri, namun niat itu saya buang jauh-jauh, biarlah saya miskin di dunia tapi tidak miskin di akhirat.” Kata kata itu terdengar sangat bijak di telingaku saat mendengar lelaki setengah baya itu bercerita.

“Setelah saya bertualang kesana kemari, akhirnya saya menemukan tambatan hati, wanita yang sekarang menjadi istri saya ibu dari anak saya. Ia mungkin wanita terbijak yang pernah saya temui, ketika semua memandang kebahagiaan dengan banyaknya materi tapi ia berbeda, ia menerima saya apa adanya, ia menerima saya beserta dengan kekurangan-kekurangan saya. Ia pelipur hati dikala hati ini sedih dan lara, tempat saya mengadu ketika saya di selimuti keputus asaan. Telah banyak saya mengenal wanita tapi jujur kali ini saya katakan ia sangat berbeda, ia bijak di saat saya membutuhkan sentuhan bijaknya. Bersamanya saya memandang masa depan lebih optimis tidak pesimis seperti dulu, ia penyemangat ketika semangat saya turun dan mengendur. Namun kebahagiaan saya tidak berlangsung lama, setelah istri saya melahirkan anak saya yang pertama, saya mendadak terserang penyakit stroke, penyakit inilah yang membuat saya hampir putus asa dengan keadaan ini, untung saja saya masih mempunyai  istri yang sabar dan terus menyemangati saya untuk sembuh. Beberapa bulan ia merawat saya dengan penuh dengan kesabaran. Aktivitas berdagang saya berhenti total  semenjak terserang stroke, ketika saya terkena stroke hampir semua aktivitas saya lakukan ditempat tidur, makan, minum bahkan buang air besar saya lakukan ditempat tidur, namun istri saya dengan sabarnya merawat saya tanpa mengeluh sedikitpun. Kebutuhan kami sehari  hari semenjak saya tidak dapat dagang lagi ia penuhi dengan menjadi buruh cuci harian, sesekali ia juga membuat kue yang langsung ia dagangkan keliling gang-gang sempit ibu kota.” Aku tahu Lelaki setengah baya itu berupaya tegar, namun air matanya tak tertahan lagi dan jatuh mengurai kesedihan hidupnya.

“Saya sangat beruntung mempunyai istri sesabar dia, beberapa kali terlintas dalam hati dan pikiran saya untuk mengakhiri hidup saya, bunuh diri. Saya berpikiran kalau saya sudah mati, saya berharap ia menemukan lelaki yang lebih dari saya, tidak menyengsarakan hidupnya seperti saya ini” Kembali air mata lelaki itu mengaliri kelopak matanya yang terlihat menua.

“Ini kali pertama saya dagang lagi setelah saya terkena stroke, saya paksakan untuk dagang karena istri dan anak saya yang masih kecil sedang sakit, tadi malam panas badan istri saya sangat tinggi, hati saya sangat khawatir, di katong tak satu rupiahpun saya megantongi uang, bahkan untuk membeli obat warung saja saya tidak mampu, melihat keadaan istri saya hati saya menjerit sedih tak terhingga, di tambah anak saya yang masih sangat kecil yang membutuhkan kasih sayang ibunya. Selepas Subuh tadi saya nekad untuk berangkat keliling membawa dagangan, walau jalan saya masih tertatih-tatih akibat penyakit stroke saya, saya berupaya untuk kuat dan tegar, walau sesekali saya merasakan nyeri yang tak terhingga di punggung dan kaki saya, saya tahan sekuat tenaga” Aku hampir menitikkan air mata mendengar kata kata lelaki setengah baya itu, begitu berliku dan sedihnya jalan hidupnya.

“Demi anak dan istri saya harus kuat melawan cobaan hidup ini, usaha saya hari ini mungkin tidak sebanding dengan pengorbanan istri saya yang selama ini dengan sabar merawat saya sewaktu saya sakit keras stroke. Mungkin ini yang bisa saya lakukan untuk istri dan anak saya, walau sampai sesore ini saya belum mendapatkan uang karena dagangan saya belum laku satu bantal pun tapi minimal saya sudah berusaha, mudah mudahan Allah mencatat  usaha saya ini.” Sambil memijit-mijit kakinya yang mungkin pegal lelaki setengah baya itu terus bercerita tentang jalan hidupnya yang pahit dan getir.

Ku perhatikan lelaki itu hampir berputus asa, hal itu terlihat dari guratan-guratan diwajahnya, di tambah tatapan matanya yang berbinar kosong. Mungkin ini perjalan yang berat dalam hidupnya , terserang sakit, istri dan anak sakit yang mengharuskan ia berjibaku dengan nasib dan sakit stroke nya. Lelaki yang sangat tegar, pandangan awal ku benar akan keniscayaannya, lelaki itu sakit seperti sakitnya pamanku dulu ketika ia masih hidup. Pamanku terserang stroke hingga mengharuskan dirinya kembali kepada sang Pencipta. Jalan hidup memang sangat berliku, kadang manis dan kadang pula pahit, kadang sedih terkadang juga gembira. Ketika kita di sudutkan dalam satu pilihan mau tidak mau kita harus menghadapinya. Pikiran ku menerawang perasaan lelaki setengah baya itu, kalau sudah sesore ini ia belum mendapat satu rupiahpun, mau dikasih apa anak istrinya yang sedang sakit itu. Ku buka amplop yang diberikan mahasiswa yang bimbingan tadi, dua lembar pecahan ratusan ribu ternyata isinya, lumayan banyak untuk sekali bimbingan proposal tadi siang, aku berpikir dan ingat bantal dirumah sudah pada bobol dan rusak jahitannya, aku putuskan untuk memilah milih bantal yang masih tersusun rapi di roda lelaki setengah baya itu, setelah lama memilih lalu aku putuskan membeli dua buah bantal dan dua buah guling, ku tanyakan harganya ternyata pas dengan isi amplop yang diberikan mahasiswa tadi, tanpa menawar aku langsung membalinya. Terlihat lelaki setengah baya itu tersenyum denganku, sambil menerima uang yang aku berikan, ia spontan saja memelukku sambil berkata terimakasih, aku tak bisa menahan haru ketika air mata lelaki setengah tua itu mengurai diantara pelupuk matanya, dengan eratnya ia memelukku sambil tak henti hentinya ia mengucapkan terimakasih kepadaku.

Tak terasa ban sepeda motor supraku telah selesai di tambal, saatnya untuk pulang, kulihat jam di tanyaku menunjukkan hampir setenga enam sore, ku ikat bantal yang habis ku beli di jok belakang, sambil mengucapkan salam kepada lelaki setengah tua itu, ku lajurkan sepeda motorku untuk hendak pulang ke Ujungharapan.












































                                                       CINTA : PRASASTI YANG TAK TERTULIS


S
enja sudah hampir tua, langit barat sudah mulai terlihat merah oleh mega yang merona indah,angin sore pun bertiup semilir menari nari diantara bulu rona yang berigi. Tetapi lelaki itu masih saja termenung seperti hari hari sebelumnya. mungkin ia masih merenungi nasib malangnya yang tak berkesudahan. Enam bulan lalu padahal ia masih diselimuti rona kebahagian diraut mukanya yang selama ini suduh mulai terlihat menua dimakan usia. Namun kebahagian hanya sebentar menghinggapi dirinya, setelah itu ia sedih dan nestafa, hatinya kosong tak terisi, hampa tak berpenghuni. ia masih saja memabolak balik surat yang minggu lalu ia terima. Surat yang mulai terlihat agak lecek, mungkin karena kebanyakan di bolak balik oleh dirinya. Apakah ia sedang meratapi nasibnya yg malang? hanya dia dan hatinya yang tahu.

Masitoh, istri yang amat dicintainya kini menghilang tanpa jejak, Masitoh meninggalkan dirinya seorang diri. Masitoh mengkhiyanati cintanya yang ikhlas dan suci, ia meniggalkannya setelah ia sakit keras. Lelaki itu terkena stroke setelah 3 bulan ia menikahi istrinya Masitoh. Masitoh ternyata tidak cukup sabar mendampinginya ketika ia terbaring sakit. Ia malah tega meninggalkan lelaki itu dalam keadaan yang lemah dan sekarat. Tega nian Masitoh itu, habis manis sepah dibuang, lebih kejamnya lagi surat yang lelaki itu baca ternyata surat cerai dari pengadilan agama yang isinya mengabulkan gugatan cerai Masitoh atas dirinya.Sungguh tidak dapat dibayangkan bagaimana perasaannya sekarang ini. Rona tatapan mata lelaki itu seketika menjadi kosong, sesekali ia menyeka air matanya yang tak tertahan dari kelopak matanya. Ia bahkan mengindahkan anjuran dokter bahwa ia jangan terlalu banyak pikiran, tetapi apa mau dikata, surat cerai sudah ditangan, kesediham sudah menyelimuti hatinya yang perasa. Sungguh cobaan yang berat bagi dirinya yang berhati lembut. Terhitung dari semenjak sekolah hingga kuliah dan sekarang ia meraup sakit hati dari berbagai wanita yang telah melukai hatinya. Ia boleh pandai bersyair,berpuisi dan bersajak, tapi ia tidak pandai dalam urusan yang bernama cinta, lagu sedih yang selama ini ia sering nyanyikan ternyata menjadi karma hidupnya.

Zubair Murikh yang malang ,Zubair yang hilang. kini kenestafaanmu menyelimuti jalan cintamu , dosa cinta apakah yang telah engkau buat dimasa lalu hingga hatimu lebur seperti sekarang ini.

                *    *    *

Ketika masih menjadi mahasiswa Islamabad University ia adalah seorang aktivis muda yg sangat diperhitungkan namanya dikalangan mahasiswa asing, bahkam tidak sedikit Ukhti yg menyatakan cinta kepadanya saking tertarik oleh kepribadiannya. Namun semua itu ia tolak atas nama komitmen yang ia telah buat oleh gadis yang ia cintainya. Sebelum berangkat ke Pakistan bahkan dirinya diantarkan oleh gadis itu dengam air mata yang berlinangan.Ia berucap janji bahwa ia akan menungguinya sampai ia menggondol gelar sarjana dari Pakistan. Namun janji tinggal janji, gadis itu tidak sanggup menepati janji yang telah terucap. ia mengkhiyanati janji yang diucapkan dirinya sendiri. Ia menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Gadis itu pun sempat menulis surat kepada dirinya yang berisikan kesedihan, air mata, rasa penyesalan dan permintaan maaf. Semenjak pengkhiyanatan itulah ia tidak mau mencari cinta lain. Bahkan diantara kegalauan hatinya ia sempat ikut bersama Ikhwan Mujahiddin Afgan untuk berperang dan mengangkat senjata. Keputusan itu ia ambil untuk menghibur kedelaraan hatinya karena ditinggal kawin oleh gadis yang selama ini ia cintai. Pengalaman yang jarang ia dapat kan ketika ikut berperang dengan ikhwan afgan.

sesekali itu pula dalam libur panjangnya dalam masa kuliah di Islamabad University ia menjadi porter haji di KBIH Indonesia, saat itulah nama dirinya mulai dikenal dikalangan jamaah Indonesia karena kecekatannya dalam membantu jamaah haji yang mengalami kesulitan ditanah suci. Ia bahkan menjadi buah bibir para jamaah haji muda khususnya jamaah putri karena kebaikan hatinya.Seluruh hatinya dicurahkan dengan kegiatan kemahasiswaan dan keagamaan, dengan hal itulah mungkin ia melupakan sakit hatinya dengan gadis yang ia kenal di pondok pesantren. Ia bahkan berkomitnen dan beridialisme bahwa dia tidak akan menjalin benang cinta karena itu hanya menyakitkan hatinya saja. Hal itulah yang membuat para ukhti dikalangan masiswa Islamabad takut mendekatinya walaupun hanya niat taarufan kepada dirinya. Waktu tinggal waktu, selepas ia kembali dari Pakistan ia pun aktif di Yayasan pesantren, ia menjadi guru disekolah, selain itu ia pun aktif mengelola radio amatir bersama sama para alumni abituren pesantren, dalam kesibukan itulah tak jarang ia pulang hingga larut malam.

                *     *    *                                                   
Malam ini angin terasa dingin sekali, mungkin angin laut yang bertiup kedarat malam ini. Kata orang tua dulu angin ini adalah angin penyakit. Tapi malam ini kami masih saja asik duduk di meja makan seafood. Sudah sejak lama aku tidak ngobrol panjang dengan pamanku Zubair murikh, sejak ia jatuh sakit, tepatnya satu tahun yang lalu ketika ia terserang stroke tiga bulan setelah ia menikahi Encingku, Masitoh yang kini telah menceraikan pamanku itu. Tatapan matanya  sedikit kosong, ku perhatikan, mungkin ia sedang memikirkan Istrinya itu. Aku bahkan tidak habis pikir kenapa Encingku begitu tega menceraikan pamanku ketika ia sedang sakit dan sudah mulai membaik dari penyakit yang menghinggapinya.

Hampir seminggu tiga kali aku mengantarnya terapi yang berada didepan Wisma Asri itu, sepulang dari terapi kami pun mampir kerumah makan seafood untuk sekedar nostagia masalalu ketika pamanku itu bermukim di Pakistan. Ia teringat dan bercerita akan temannya yang bernama Alwi yang telah gugur sebagai syuhada di Afganistan. "Cinta adalah sebuah prasasti yang tak tertulis, semuanya penuh dengan misteri. Begitulah  Alwi berujar yang anak Bupati Serang itu kemudian menuturkan alasannya menikahi gadis dari keluarga biasa. Ia tidak mempunyai keberanian untuk menikahi gadis kota yang berubah idialismenya menjadi kapitalis hedonis. Saat itu aku tidak begitu paham dengan maksud pesanya. Saat itu  aku dengan sejumlah teman Mujahidin asal Filipina Moro tengah sibuk mengevakuasi Iman Mujahid yang terluka parah.

Baru setalah Alwi berpulang untuk selama selamanya aku memahami maksud dari kata katanya itu. Ketika itu Abu Yasser komandan Mujahidin asal Palestina meminta kami yang masih hidup menulis surat untuk keluarga Alwi di Serang Banten. Aku kebagian menulis surat untuk istri dan anak anaknya. Aku bingung karena tidak tahu apa  yang aku katakana. Lama berpikir akhirnya aku putuskan menulis pesan yang ku kirimkan dan  di akhir surat itu aku sisipkan kata : Syahid Alwi telah mengabdikan dirinya untuk agamanya dan Allah, Mak Cik harus sabar. Kebersamaan dirinya dengan Mak Cik membulatkan tekadnya untuk menanti lebih dahulu di surga firdaus.

Sebuah pesan yang tak lebih dari sebuah sindiran kepadaku. Sebab Alwi banyak tahu tentang jalan hidupku. Karena saat kami mengangkat senjata di Afgan aku sering bercerita tentang jalan hidupku di Indonesia maupun di Pakistan. Aku masih ingat ketika itu aku mendapat tugas hiros (jaga) di camp latihan suhada di Afgan. Untuk mengusir rasa kantuk dan dingin kami berbincang panjang dimalam itu. Alwi bahkan sempat mengatakan kerinduan akan anak dan istrinya yag berada di Serang Banten. Ia sangat rindu akan kedua anaknya serta istrinya yang pada saat itu katanya paling cantik se Banten dan sekenanya. Pada saat keberangkatannya ia bercerita, pada saat itu anaknya yang kedua masih menyusu dengan ibunya. Ia juga mengatakan kerinduannya dengan kampung halamannya, dengan salak, emping melinjo, dan sambel petai buatan ibunya. Selesai bercerita kemudian ia bertanya kepadaku apakah aku mempunyai pacar atau calon istri. Aku hanya tersenyum, kenapa di saat saat yang genting ini, dimedan perang Afgan, kami masih saja sempat memikirkan urusan  lain. Tapi pertanyaan Alwi itu aku tanggapi juga. Karena seingat aku, aku hanya sekali menjalin hubungan, maka aku ceritakan hubunganku dengan gadis bernama Yayah Salbiyah. Ia adalah gadis alumni pesantren di kampungku. Jalan hubungan kami begitu pahit. Awal hubungan kami dinodai dengan hadirnya orang ketiga yang bernama Nur Mahmudi Ismai. Karena kehadiarannya lah aku memutuskan untuk mundur dari hubungan kami. Enam bulan setelah keberangkatan aku ke Pakistan Yayah menulis surat dan mengatakan bahwa ia telah putus dengan Nur Mahmudi. Ia mengatakan ingin kembali kepadaku. Dengan besar hati dan lapang dada kuterima niat kembalinya. Namun di bulan April ia mengkhiyanati janjinya lagi dan menikah dengan orang lain.

Alwi terperangah, "kok bisa begitu?". Lalu kujelaskan apa adanya, mungkin jarak yang terlalu jauh sehingga aku tidak dapat mengawasinya. Jarak, mungkin itu suatu penyabab berakhirnya hubungan kami dan keputusan Yayah untuk menikah dan meninggalkan aku. Namun terakhir aku mendengar kabar bahwa pernikahan Yayah dengan lelaki itu adalah pernikahan balas budi. Lelaki yang sekarang menjadi suaminya  telah banyak berkorban selama ibunya sakit. Itu ku ketahui ketika bertemu ibunya dalam kesempatan musim haji. Sambil menangis ibunya memelukku dan meminta maaf. Aku kenal baik dengan keluarga besarnya Yayah. Kerena itu, walau telah gagal menjadi menantunya, selama berada si Saudi Arabia tak kurang sedkitpun perlakuan baikku kepada keluarganya khusunya ibunya. Datang kusambut, pulang ku antar sampai tangga pesawat.

Dari ceritaku itu mungkin Alwi merangkai pesan yang bagiku terasa sangat istimewa. Ia sudah mengerti orang macam apa diriku, seorang yang jalan hidupnya penuh dengan keunikan. Disaat damai aku belajar di Islamabad University, disaat libur perang aku perang di Afgan, disaat sendiri akupun mengerjakan puisi, esai, ataupun naskan drama, disaat suntukpun aku kadang menulis lagu.

Kata “Prasasti yang tak tertulis” bukan tidak mempunyai makna. Justru ketika aku merenungi semakin banyak yang kutahu tentang rahasia cinta. Pengalaman menarik tentang ini aku jumpai pada musim haji tahun 1990. ketika itu aku bekerja di bagian pemberangkatan haji di bandara King Abdul Aziz Jeddah. Masa kedatangan jamaah haji yang telah mencapai puncaknya menuntutku untuk lebih cekatan dalam mem-booking bus-bus yang akan mengangkut para jamaah haji ke Mekah. Keadaan semakin padat karena bus-bus belum juga kembali dari Mekkah, dalam kolong-kolong tenda besar bandara masih banyak jamaah yang belum terangkut, kurang lebih masih ada enam keloter. Dengan inisiatif sendiri kuperintahkan jamaah asal Semarang menaiki bus-bus yang diparkir khusus untuk jamah Turki. Dengan cara itu aku berharap proses keberangkatan berjalan lancar, dan tidak ada penumpukan dibandara. Jamaah pun berhamburan masuk ke bus-bus sesuai dengan intruksi ku. Belum sempat para jamah duduk petugas dari Turki menghalau mereka karena bus itu sudah di booking. Pada saat itulah ada jamah wanita muda melontarkan kekesalan padaku : Gimana sih?, kok ngasih petunjuknya tidak jelas!, wanita itu kemudian pergi sambil mulutnya yang tak henti-hentinya memakiku.

Di Mina setelah melempar Jumrah secara tidak sengaja aku berpapasan dengan wanita muda itu. Ia memperhatikanku, seraya mengingatku orang yang membuat kesal dirinya. Aku juga membalas memperhatikan dirinya. Apakah dia yang dahulu memaki aku akibat kesalahan bus?. Aku baru ingat bahwa dirinyalah yang mempermalukanku dengan caci makinya didepan para jamaah lain akibat keteledoranku. Kami lalu hanya saling memperhatikan satu sama lain hingga hari terakhir di Mina kami tidak bertemu lagi.

Kami baru bertemu lagi di Jeddah di masa kepulangan para jamaah haji. Kala itu dimuka pintu bandara yang baru saja tiba dari Madinah. Wanita muda itu sedang antri untuk memasuki check in. Rasa lelah karena semalaman penuh dengan tugas membuat aku kurang memperhatikan dari mana asal gadis itu di nomer keloternya. Aku hanya berdiri lesu di pintu masuk bandara sambil sesekali mengingatkan jamah yang sudah uzur agar memerikas kembali dokumen perjalanan hajinya. Disaat itulah aku mendengar sebuah suara  "Mas, pulang bareng yuk ke Indonesia!". Ketika ku toleh ternyata wanita muda yang membuatku kesal saat di Jeddah. Lalu aku balas dengan keramahan dan senyuman. Dan yang membuat aku terkesan dengannya adalah ia menghadiahkan sal batiknya. Katanya, supaya aku ingat terus dengannya. Kuterima pemberiannya diiringi dengan ucapan terima kasih. Dari caranya memandangku sepertinya ia menyukai aku. Sampai pada pintu counter  masuk pesawat ia masih mencuri-curi pandang kearahku. Akhirnya aku lambaikan tangan tanda selamat jalan perpisahan, dan ia pun membalasnya dengan tersenyum ceria.

Mungkin itulah cinta yang dimaksud Hamzah sahabatku. Cinta yang ia lukiskan sebagai ‘Prasasti yang tak tertulis’. Mula mula wanita itu membenciku, tetapikemudian menaruh harapan dan cintanya kepadaku. Seandainya pada saat itu aku tidak terikat dengan Yayah mungki aku akan menyusulnya ke Semarang.

Sebagai seorang yang memiliki sedikit jiwa seni aku mempercayai kebenaran kata kata Alwi. Sifat dan karakter cinta memang demikian, hanya ada dalam kalbu yang begitu misteri. Ungkapan-ungkapan puitis tak pernah habis walau telah banyak pujangga cinta meminumnya dan mabuk bersama anggur cintanya. Dan setiap orang mempunyai jalan cintanya sendiri sendiri. Cinta merupakan takdir Tuhan yang tidak tertara misteriusnya, seperti halnya kematian dan rizki begitulah cinta. Cinta bagaikan fatamorgana, jauh ia tampak pandangan mata, tetapi bila didekati ia lenyap seketika. Cinta yang buta adalah cinta yang membutakan mata, yang menggadaikan iman dan kehormatan. Aku bahkan masih ingat ketika mendengar anak seorang Kiai hamil diluar nikah akibat salah menafsirkan ayat-ayat cinta, atau seorang tuan haji yang dengan tega menodai anak kandungnya sendiri dengan alasan cinta kepada anaknya, ia menggadaikan kesucian cinta yang berbalut nafsu setan. Orang yang sedang dimabuk cinta  tidak berpikir jernih tentang esensi cinta, cinta memang memabukkan bagi siapa saja yang meminumnya.

Begitu banyak nasehat yang Alwi katakan tentang cinta kepadaku. Aku sebenarnya tahu hal yang dikatakan Alwi agar hatiku tidak sedih setelah aku ditinggalkan Yayah. Katanya hukum Allah itu permanen tentang cinta. Empat abad yang lalu bahkan Allah memberi firmannya  kepada Nabi Mulia Muhammad saw :

“Laki laki yang berzina  diciptakan untuk mengawini (menikahkan) wanita berzina pula, atau perempuan musyrik ; dan perempuan yang berzina tidak dikawini  melainkan dengan lelaki yang berzina atau lelaki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang orang mu’min (An Nur : 3)

Begitulah kata Alwi, suatu hal dikatakan pada ayat itu bahwa wanita atau lelaki penzina ditakdirkan untuk pasangan yang berzina juga. Kata itu membesarkan hatiku, mungkin Yayah  bukan jodohku, mungkin juga Allah sedang mempersiapkan jodoh yang terbaik untukku.


Malam pun semakin larut, tak terasa sudah jam sepuluh malam. Makanan dimeja kami pun sudah hampir habis. Ikan bakar ala Seafood Wisma Asri sudah bersih dari piring kami. Ku lihat wajah pamanku begitu teduh seakan ia sedang memikirkan perasaan yang sangat berat. Mungkin ia sedang memikirkan perceraian dengan istrinya. Selesai bercerita tentang pengalamannya itu, aku lihat tetasan air mata membasahi pipinya, kini aku tahu betapa berat pikirnya saat itu. Sesekali memberi senyum kepadaku, seolah ia berupaya untuk tegar dan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia bahkan sempat bertanya tentang soal tugas kuliahku di kampus Unisma dan tentang teman perempuanku, walau aku tahu pertanyaan itu hanya untuk mengalihkan perasaannya. Sungguh malang nasibnya, belum sempat menikmati indahnya pernikahan keluarga sakinah ia sudah dirundung perceraian dengan Istrinya Masitoh.

Aku juga tidak habis pikir kenapa Masitoh begitu tega menggugat cerai dirinya ketika ia sudah mulai membaik dari sakitnya. Salah apa pamanku itu, kurang baik apa dia hingga jalan hidupnya begitu berliku. Apa ini yang dikatakan ‘Prasasti yang tak tertulis’, yang sempat disinggung pamanku pada saat cerita itu, ia memprasasti kan nama Masitoh dilubuk hatinya walau aku tahu wanita itu telah melukai hatinya.

Hampir lima belas menit aku mencoba menyelami perasaan pamanku itu. Sambil memainkan sendok makan diatas piring yang sudah kosong sehabis makanku tadi, kuperhatikan wajah pamanku itu yang kini mungkin sedang dirundung rindu untuk istrinya Masitoh.


                *    *    *


Saat itu wajahnya terlihat sangat pucat, entah apa yang ia rasakan sekarang wajahnya yang biasanya berbinar kini pucat pasi. Ia masih tergeletak lemah tak berdaya di ruangan itu. Mungkin rasa sakit yang ia rasakan sekarang. wajah itu yang mengatakan bahwa ia sedang kesakitan dan mencoba menahan sakit yang tak terhingga. langkah kakinya lunglai tidak bertenaga, tubuh yang dahulu gemuk dan subur kini kurus tak berisi. Ia masih saja menyendiri antara ruangan yang penat dan pengap. sudah tiga hari ia diruangan itu di temani obat-obat yang ia beli satu minggu yang lalu. Dahaknya berceceran di ruangan kamarnya membuat suasana menjadi terlihat jorok dan berbau tidak karuan. Hati kecilnya lirih, mungkin ia sedang meratapi nasib dirinya yang malang. Ia mulai bosan dengan ruangan yang kini menjadi sumpek dan bau. Sesekali ia terbatuk-batuk yang diselingi oleh dahak dan darah. sesekali itu pula ia melihat laptopnya yang terlihat program wordnya. Disaat sakitnya masih saja ia menyelesaikan tugas tulisan yang akat terbit di harian lokal Bekasi. Semenjak ia pulang dari Pakistan ia memang di minta sebagai Penulis bebas di harian itu. Bakat menulis memang ia pegang sejak ia bermukim di pondok, bahkan selama di pondok ia tak jarang di minta untuk menulis ceramah muhadhoroh. Entah berapa sajak, syair dan puisi yang telah lahir dari tangan kreatifnya, bahkan lagu gubahannya menjadi lagu wajib perpisahan dipondoknya. Ia memang berbakat menjadi pujangga, bahkan ia dijuluki kahlil gibrannya pondok, namun dengan kerendahan hatinya ia mengelak julukan itu, katanya teman-teman di pondoknya terlalu hiperbola menjulukinya seperi itu.Ia masih saja memikirkan mantan istrinya yang kini meninggal dirinya entah kemana. surat cerai yang ia terima masih tergeletak di meja kamarnya ditemani obat dan buku bukunya yang menumpuk dan berserakan tidak beraturan. sesekali itu juga ia termenung diantara kamar yang mulai senyap. Kesedihan hati terus ia rasakan, namu percuma ratapan tangisnya tak akan membuat mantan istrinya kembali kepelukannya. mungkin Masitoh kini telah melupakan dirinya, tak ada kabar dari dirinya , ia hilang bagai tertelan bumi, hingar bingar dunia telah ia tinggali. Sesekali teman lama lelaki itu itu menemuinya untuk sekedar menghibur dirinya dari kesepian dan kesendirian. Zubair Murikh yang malang kini kau mati dalam kesepian kesendirian.

















                                                           DERAI JALAN CINTA FAIZ


Rasa rasanya baru kemarin aku melihat derai air matanya saat ia menceritakan jalan cintanya yang berliku dan curam. Rasanya pula tintaku masih basah ketika menggoreskan jalan cerita cintanya berisi dengan kesedihan, namun benar apa yang dikatakan para penyair bahwa cinta itu misteri yang penuh dengan tabir-tabir kegaiban. Baru kemarin rasanya aku mendengar keluh kesahnya yang di iringi derai air mata ketika ia bercerita tentang tunangannya yang meninggalkan dirinya tanpa sebab sehingga membuat keluarga besarnya malu.
   
 "Kasihan abi umi mang,Iz’ cuma mikirin beliau ajah", begitulah ujarnya kepadaku saat itu. Aku pun masih ingat ketika ia bercerita panjang tentang sahabatku Jaka yang pernah dekat dengan dirinya, saat itu ia hanya mempasrahkan diri dan jodohnya hanya kepada Allah.

"Iz mah pasrah apa yang telah di gariskan tentang jodoh dan pendamping iz untuk kedepannya". Sebagai mamang aku berupaya menjadi pendengar yang baik ketika ia berkeluh kesah atas semua masalah yang sedang di hadapinya. Tak banyak nasehat yang ku berikan kepadanya, namun sesekali aku memberikan dorongan dan motivasi atas semua problemanya.


Kini ia terlihat cantik dan serasi di pelaminan itu, semua jalan cintanya yang dahulu merana dan sedih kini terbayar pada saat ini, hari inilah yang ia impi-impikan sejak lama, pernikahan sederhana namun berkesan, aku jadi ingat ketika ia bercerita tentang pernikahan padaku ketika kami masih PPLK, ia berujar ingin mempunyai keluarga yang sakinnah mawaddah dan warahma, saat akadnya pun kalau bisa sesederhana mungkin namun khidmat, begitulah ujarnya. Kini, keinginan dan harapannya telah terkabul atas doanya yang memang ku tau ikhlas. Para tamu yang datang pun seakan mendoakan semua hajat dan kebahagiannya, tak sedikit pula teman kampus yang hadir. Kini ia telah bahagia, kini ia telah bersanding di pelaminan dengan lelaki pilihnya sendiri, rasa-rasanya aku ikut berbahagia atas pernikahannya hari ini, tak kulihat lagi faiz yang sedih, tak ku lihat lagi faiz yang muram karena urusan cinta, mungkin dalam waktu yang lama aku tak akan pernah lagi mendengar keluh kesahnya mengenai urusan cinta.Wajahnya mekar tanda bahagia, serasa ia menjadi ratu dan raja pada singgasana pelaminan cinta.


Catatan ku ini menyertai kebahagianmu hari ini, keponakanku faiz ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang, taatilah suamimu seperti engkau mentaati Tuhan mu, sebab ia adalah imammu, ridhonya suami atas istri adalah surga untukmu.

*    *    *


Sudah hampir 1 bulan rasanya aku tidak pernah mendengar namanya. Mungkin ia telah bahagia dengan pendampingnya yang sekarang, setelah hari pernikahannya itu aku tidak lagi mendengar kabarnya lagi walau lewat sms ataupun lewat email. Kini ia merengkuh bahagia ketika ia selesai dengan jalan cintanya yang berliku dan berairmata. Lama rasanya aku tidak membuka akun facebook ku, ternyata ia muncul dan mengomentari catatan atas dirinya. Seberkas hararapan bahagia ia tuliskan di dinding komentar facebook ku. Aku berupaya membalas atas coment nya itu, ternyata ia kini bahagia sesuai dengan harapan dan bayanganku. Ketika ia memutuskan untuk menikah, aku yakin itulah yang terbaik atas yg terbaik atas jalan dan takdir cintanya, belakangan aku buka inbox sms ku yang lama aku tidak buka, ternyata ia sms , dan aku yakin dan percaya sms itu di tulis dengan muka yang merona bahagia.Harapan beserta doa aku panjatkan semua kebahagiaan bersama pendampingmu, ketika semua takdir-takdir cinta berselimut atas nama kebahagiaan mu. Semua doa cinta ku panjatkan hingga kelangit, ia menembus al Arsy sampai kesinggasana Nya. Aku alunkan semua munajatku, atas nama bahagia dan harapan harapan mu hingga menjelma menjadi cita cita berkenyataan.



























                                                           KEDELARAAN HATI

Umi Kalsum, semoga engkau tidak terkejut menerima suratku ini, sepertinya terkejutnya ratu Bilqis tatkala menerima surat dari baginda Sulaiman As. Surat ini seperti surat-surat sebelumnya, kutulis dalam lembaran yang sederhana yang ku cabut dari halaman tengah bukuku. Aku tidak bisa merubah kebiasaanku ini, karena setelah dirimu tidak ada orang lain yang kujadikan alamat  bagi surat suratku. Aku tidak bisa belajar bagaimana menulis surat yang baik, menulis surat dalam suasana hati yang berbeda dan kecewa seperti sekarang ini.

Sejak kepergianmu setelah tahun baru itu, aku memelilih jalan salikh.  Aku enggan mencari penggantimu walau sudah beberapa orang ukhti yang mengajukan diri untuk menjadi penggantimu. Bukan aku sok sufi tapi karena aku takut tidak bisa berbagi cinta dengan mereka. Perigi hati ini sudah mengkarat kering, tertuang pada relung relung hatimu. Aku tidak punya cinta lagi.

Mungkin ini salahku yang terlalu dalam mencintaimu. Aku lupa kalau kita masih seumur jagung yang masih muda. Di usia kehidupan yang masih begitu panjang, kita masih berada dalam bayangan diri masing masing. Jika kita berpisah setelah lelah menempuh perjalanan, tak lain karena kita tidak bisa mendahului keputusan Tuhan. Cerita kehidupan ada kalanya luap dan penuh dengan kesedihan.

Tugas kita manusia hanya menjalani hidup ini. Semua itu mungkin telah kita jalani bersama. Disana kau melamun sepanjang hari sambil menatap ombak yang saling susul menyusul. Disini, di malam-malam yang sepi sunyi aku merenung seorang diri. Kita sudah tidak lagi mendapatkan kebahagiaan, karena kebahagiaan itu sudah kita habiskan sebelumnya. Sekarang tinggal kenangan dari kebahagiaan itu, yang mungkin kita kenang sambil tersenyum simpul.
Maka, izinkanlah aku mengenangmu. Aku ingin semuanya tetap utuh dan ada. Seperti yang kutulis dalam salah satu halaman buku harianku:

Biarkalah bayangmu menyelinap dalam kalbuku. Cinta tak selamanya diucapkan lewat kata, karena tidak semua orang suka dengan kata kata.

Umi Kalsum, aku rindu saat-saat itu, saat kau disisiku. Telah lama rasanya kita berpisah, namun bayangan dirimu tak jua mau sirna. Namamu begitu kuat terukir, senyummu begitu abadi dibenak ini. Kau adalah catatan harianku yang setiap ruang dan sudutnya terpunuhi sanjungan tentangmu. Kau adalah rindu yang memuncak, seperti gelombang ombak sunami yang memporak porandakan serambi Mekkah Aceh.

Terbayang saat kita bertemu terakhir kali, saat itu aku jemput disekolah tempat kau mengajar. Terbayang saat kita menghabiskan hari itu di pantai Marunda. Diiring dengan alunan ombak yang silih berganti, kau terus mengalunkan lagu cinta berisi kerinduan. Dengan bergandengan tangan kita pun berlarian seakan kita tidak bisa terpisahkan.

Di salah satu warung yang sebenarnya lebih pantas dikatakan gubuk kita berdua. Kau memilih salah satu sudut yang langsung memandang kearah pantai. Mendung yang menaungi langit memberikan suasana yang berbeda diperjalanan kita itu. Hujan pun turun disertai petir yang sesekali membuatmu takut. Sesekali kau berteriak memanggilku, menghampiriku dan mendekapku. Ketika itu aku hanya tertawa melihat tingkah lakumu yang panik seperti anak kecil.

Sesekali engkau mencubitku karena aku menertawaimu yang manja padaku. Namun kau sepertinya terlanjur marah. Begitupun saat aku pegang erat tanganmu yang kelihatan dingin. Baru setelah ku gelitik pinggangmu kau mau tersenyum. Senyum yang mahal, karena setelah itu kau hujani aku dengan cubitan cubitan dipinggangku yang membuat sedikit merah dan membekas.

Saat itu kau tampak pasrah dan mulai memanaskan suasana. Aku tahu dari caramu memelukku. Pelukanmu begitu erat, dan setiap kali kau membisikan sesuatu yang nyaris bibirmu menempel ditelingaku.

Untung kau mengerti benar siapa aku. Kau tidak merajuk karena Tuhan selalu bersama kita, menyaksikan kita berdua. Akhirnya hari itu kita isi dengan tertawa, bercanda, dan bercerita akan diri masing masing.

Bagiku tiada yang lain kacuali dirimu. Kau adalah keteduhan ditengah teriknya matahari, kau adalah keindahan pagi dan sore hari. Lihatlah pohon Sengon didepan rumah itu, keteduhannya seteduh tatapan matamu. Lihatlah pula kupu-kupu yang terbang yang kian kemari mencari sari bunga. Kupu-kupu itu seperti jelmaan dirimu. Bila di Bairut, Libanon orang meyakini kupu-kupu adalah jelmaan dari putri Yasmi kekasih Ibn Kayyam yang gila atas dirinya, aku meyakini keindahanmu menjelma dalam merah, kuning, dan jingganya bunga.

Kau adalah nyanyian dedaunan cemara yang mendesu apabila dihembus angin. Dan malam malam kesendirianku senantiasa ku dengarkan senandung irama itu yang memilukan. Aku ingin kau menghantarku tertidur, aku ingin kau membuatkan bingkai bagi setiap mimpi mimpiku.

Kau adalah gemercik air yang jatuh diantara embun pagi, begitu syahdu ia mengalirkan rindu, sehingga tak jarang aku termangu-mangu. Rasanya disana aku menjumpai kejernihan wajahmu yang terbalut senyum semanis buah kurma Madinah yang ditanam langsung oleh Baginda Nabi.

Izinkan pula aku mengandai-andai tentang dirimu yang sekarang sudah menjadi milik orang lain. Kalau saja kau masih disisiku mungkin hidupku tak sehancur sekarang, di ibaratkan pohon yang dahulu kutanam, kurawat dan ku jaga dengan baik, ku beri pupuk dan kusiram denga kasih beserta sayang. Kini ia telah besar dan berbuah sangat manis, dan dimiliki orang lain sepenuhnya. Begitulah penderitaanku saat ini setelah kepergianmu.

Terakhir kita berkomunikasi, kau bilang kau sudah milik orang lain. Kau bilang nasi ini sudah menjadi bubur. Kau pun sempat menyalahkan diriku karena kau tidak pernah menyatakan cinta, dan perasaan kepadamu. Kau mungkin tahu bahwa aku orangnya dingin dan bersikap apa adanya, tidak bisa berkata manis seperti para pujangga yang berlebihan memuja cinta dari pada memuja Tuhannya.
Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan sekarang, kini kau sudah jadi milik orang lain. Aku tunggu undangan walumatul arus dirimu. Insyaallah aku akan datang.































                                                      PEREMPUAN BERKERUDUNG PANJANG


Telah lama aku merangkai hati ini yang dahulu luluh lantah berkeping keping.Hampir-hampir saja hati dan perasaan ini mati rasa. Hati yang berigi dan mengkarat, cinta memang membuat hati ini nestafa.Pikir ku terus menerawang jauh diantara langit yang tak bertepi dan samudra yang tak berdasar. Hari ini cinta bagai kemewahan yang hanya layak dimiliki raja dan permaisuri, jiwaku yang juhud ini seoalah tak layak memiliki getar fasih cinta. Wanita dan perempuam arif seolah terjangkit penyakit hati. Sampai kapan aku menata hati ini yang hancur tak berbentuk. Saat aku tuliskan sajak wanita jingga surgawi, saat pena-pena dan tintaku hampir habis untuk mensyairkannya, aku masih saja di mabuk akan wajah datarnya. Kitab ‘Bulughul Maram’ belum selesai ku baca, baru sampai pertengahan, tepatnya baru sampai bab Shaum, puasa. Namun mata ini belum bisa di pejamkan, kitab-kitab berserakan dikamar, semua itu baru ku baca beberapa halaman saja sebagai bahan referensi tulisanku yang harus terbit Ahad depan. Aku sudah di kejar deadline oleh editornya. Jam dinding sudah menunjukkan hampir jam tiga pagi. Ku putuskan untuk mendirikan qiyamullail, salat malam. Aku berharap setelah mendirikan salat malam hatiku lebih tenang tidak gelisah seperti ini. Dalam salat ku benamkan khusuk ku, ku landaikan doa dan zikirku seraya bermunajat atas segala keluh kesahku.Tak terasa hari sudah hampir subuh, fajar shadik hampir mengemuka, Toa mushalapun sudah berbunyi, dengan suara yang parau kong Toha membangunkan jamaahnya untuk salat berjamaah.Tak berapa ku akhiri zikir dengan doa sapu jagad, aku bersiap-siap untuk berangkat ke mushallah.
Hatiku masih saja gelisah, buah pikirku adalah perempuan itu, perempuan yang ku temui di talim kiai Idris, senyumnya mengurai bagai sungai-sungai surgawi, wajahnya yang teduh menandakan ia istiqomah menjalankan perintah agamanya. Alangkah elok dan rupawan paras wajahnya, bagai paras biduwanita gambus kampung sebelah. Hari itu aku baru pertama kali melihatnya di talim kiai Idris. Hatiku berdebar dan bergetar ketika aku memandang wajahnya, parasnya seoalah menguras iman dan keyakinanku di hati ini. Perempuan berkerudung panjang, engkau telah menggetarkan hati ini yang telah lama tak berdetak. Engkau adalah embun di saat hati ini dahaga akan cangkir candu cinta. Wajahmu telah ku pahat didalam hati yang berigi ini, sampai cinta ini menjadi purba. Hati dan debaran jiwa ini terus menyematkan namamu diantara bulir-bulir tasbih cintaku.
Getaran dan debaran ini terus merasuk sukma, ia menjadi seuntai nada berirama cinta. Ia mengalun indah diatas rindu yang bersemayam diantara rongga-rongga hati yang kosong.Ingatan akan dirinya sangat menyemat di hati. Ia bagai solawat tasbih yang terus melangit atas keharibaannya. Belaian kasih beserta sayang terus berirama mengalunkan nada hati yang bahagia. Aku terbakar obor cinta diantara misbah dan cahayanya. Al mahabbah bagai mantra sakti yang dibacakan oleh sang pemujanya. Demikianlah takdir dan jalan cinta yang begitu misteri dan fatamorgana. wajah berkerudung itu terus menari-nari diantara ingatan pikirku. Ku bayangi ia terus tersenyum berurai salam yang selembut angin al Jannah. Detak jantungnya kini adalah debaran hatiku, senyumnya adalah sedekah bagiku. Kerudungnya menjulur diantara cinta dan iman. Terakhir masih teringat saat ia membaca surat ar Rahman, ketika itu kiai Idris memintanya membaca surah tersebut. Suaranya lembut dan empuk bagai kue pepe dan kue talam yang di masak dengan penuh kasih. Ayat -ayat Tuhan yang ia bacakan begitu romantis dan syahdu. oh sang maha cinta, kini engkau tasbihkan cintanya atas namaku. Romantika tawa terus melangit, di awan-awan terus mengawang-ngawang. Ia bercerita tentang esensi cinta yang subhat. Sayang aku belum bertaaruf dengan dirinya secara langsung, jiwanya yang tersembunyi dibalik al tabir pembatas taklim kiai Idris. Lautan asmaranya, rona wajahnya yang humairah, yang kemerah merahan. Sampai kapan cinta ini aku tasbihkan. Bulir rona cinta mentahmid membuat guratan guratan kasih yang terkasih.Ia membadai, ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Cinta, rasa yang tak pernah terlihat tapi terasa dalam hati, meluap diantara dinding-dinding hati yang terus di debur-deburkan ombak. Cinta adalah muara ribuan kasih, tempat penyalib cinta bermunajat.
Pagi buta, saat bulir bulir embun menjadi permadani syujud iman. Desah nafas langit mengemuka diantara deburan dan kilatan pagi buta ini. Sajak-sajak ku mengering di terpa angin musim semi. Bait syair berguguran, berurai kata dan air mata. Sinar bintang masih tersisa dibibir langit, walau cahaya mulai redup dan akan mati. Cerita ini bagai nyanyian kidung yang di nyanyikan di tembok ratapan. Altar cinta terus berurai doa dan kalimat cinta penuh permohonan. Salib itu terus membisu sebagai tanda keimanan kaum Nasrani. Dalam Islam Yesus itu Yudas yang di salib atas nama pengkhianatan, sedang Al Masih putra Mariyam diangkat dan di selamatkan Allah dari kelaliman kaum Romawi.
Cinta memang bisa membutakan hati dam keyakinan. Iman atas cinta, cinta atas agama, seperi cintanya Mariam kepada al Masih yang terkasih. Tabir cinta, tabir kebenaran akan debaran dan getaran hati yang mewahyukan cinta. Sampai kapan hati ini terbelenggu oleh kunci-kunci kasih yang terkasih, hingga senyum keimanan yang ia sematkan mejadi pemuja berhala cinta. Air ku minum terasa anggur yang mabuk, daging ku makan terasa bara, semua begitu sahih dan perih bila kita memendam perasaan cinta. Wanita berkerudung panjang, engkau bagai wahyu dan karomah para wali dan Nabi. Engkau hati ku yang parsial, engkau jantungku yang komperhensip.

Pagi buta bertahtakan sujud dan air mata, perempuan berkerudung panjang, telah ku gadaikan hati dan perasaan ini atas nama mu. Engkau lah tauhidku, engkaulah fikihku, lautan ilmu agamaku.Sembah sujudku atas nama yang terkasih, engkau muara surga, tempat orang sufi dan soleh bersemayam.

Telah ku pasrahkan beberapa bagian hatiku kepada mu. Sampai hati ini menjadi ikhlas, kusemaikan kesabaran keikhlasan atas namamu. Pada pengajian itu engkau begitu megah dan agung, bagai putri Salwa yang turun dari raudhatul jannah nya Allah, namun aku melihat lelaki di sampingmu. Lelaki itu sangat aku kenal baik,ia temanku saat aku nyantri di pondok Kiai Idris, ustad Yahya, murid kesayangan Kiai Idris. Selentingan kabar engkau mejalin kasih dengan ustad Yahya, pada awalnya aku tidak mempercayai kabar itu, tapi setelah pertemuan itu aku mulai yakin bahwa Yahya lah pilihanmu, oh ternyata ia pilihan hatimu, ia memang lebih arif dan bijaksana dibandingkan aku yang hanya seorang anak petani, ia lebih soleh dan alim jika dibandingkan aku yang hanya guru ngaji kampung. Aku bukanlah apa apa, jika dibandingkan Yahya ustad yang menguasai beberapa kitab syarah kuning, sedangkan aku? kitab Nuruzhalam saja belum khatam. Wahai wanita yang berkerudung panjang, telah aku ikhlaskan dan ku relakan hati ini atas cintamu kepada Yahya sahabatku. Mungkin ia pilihan terbaik atas cintamu yang ku tahu suci. Ku agungkan namamu  atas nama cintaku, tapi kini telah kuridhoi dirimu dengan Yahya sahabatku, ia orang baik seperti yang selama ini aku kenal sewaktu di pondok. Aku ikhlas jika kamu jatuh ketangan ustad Yahya, yakinlah bahwa ia benar benar pilihan jiwamu.

Masih aku ingat ketika kita bertemu diwalimahan Siti Nurfajar sahabat almamaterku di Unisma dulu, aku begitu kaget ketika engkau datang dengan sahabat karibku Yahya, terlihat engkau begitu serasi berdampingan dengau ustad Yahya, dan aku hanya duduk terdiam diantara bangku-bangku tamu yang membisu, walau engkau dan aku sesekali mencuri-curi pandang. Di bawah lagu yang sedang dinyanyikan biduwanita yang bernyanyi di atas panggung, lagu ghuli ghuli, lagu favoritku ketika masih nyantren dipondok. Aku bahkan masih ingat ketika itu aku rela bolos dan kabur dari asrama pondok kekampung sebelah demi mendengarkan biduwanita favoritku menyanyikan lagu itu, walau harga yang harus ku bayar sangat mahal karena setelah itu aku harus berhadapan dengan bagian keamanan pondok, dan aku kena hukuman botak. Tanpa banyak kata aku dihadapanmu, tanpa kata tanpa makna, walau aku tahu engkau memberiku senyum basa basi, tapi hatiku sudah terlanjur muram ditimpa kehadiranmu bersama ustad Yahya. Aku pun memutuskan pamit dari pesta walimahan itu, kepergianku di iringi lagu magnun yang dinyanyikan syahdu oleh biduan panggung. Aku pulang bersama kecewa yang bersemayam di dalam relung jiwa.




























KESEDIHAN HATI MERPATI


Sejak pohon cemara itu ditebang, ia pindah kepohon jampu depan rumahku. Disitu hari harinya di habiskan dengan menyendiri, merenung, memandangi kawan kawannya yang masih bisa terbang.

Sebenarnya ia ingin terbang tinggi seperti teman-temannya yang lain. Bermain, terbang tinggi, melayang layang dengan gembira. Tapi apa daya, sayapnya yang patah membuat ia tidak bisa terbang kembali. Ia terjatuh saat ia terbang, dikarenaan saat ia terbang ia menabrak dahan pohon yang kering. Darahnya mengalir, pembuluh daranya pecah akibat benturan keras itu. Syukur Tuhan masih menyayanginya, ia masih dapat bangkit dan mencapai pohon yang tinggi meskipun dengan tertatih-tatih.

Pertama kali aku melihat burung itu disuatu sore pada saat aku menyapu halaman rumahku. Ketika itu aku berpikiran burung itu sedang istirahat, belum berpikiran bahwa burung itu sedang sakit. Baru pada kali ketiga aku tertarik untuk mengamatinya. Pada saat itu ia sudah ada dipohon jambu depan rumahku. Dengan bahasa batin ku coba menerka-nerka mengapa sampai tiga kali aku melihat burung itu. Burung itu juga selalu merunduk seperti orang  yang sedang menghadapi kesusahan hidup. Ketika ku hampiri ia hanya meneteskan air mata, mulailah aku faham penderitaan apa yang sedang ditanggungnya.

Terlihat sekali ia sedang mengalami rasa sakit dan kesedihan. Ketika ia masih sehat dulu ia bisa terbang menembus cakrawala bersama teman-temannya. Ia bisa mengunjungi tempat tempat yang jauh meskipun harus pulang larut malam. Disana ia menyaksikan dunia baru, dunia angkasa yang luas tanpa batas. Kini ia kehilangan kesempatan itu, kesempatan yang membuatnya tidak percaya diri akan masa depanya.

Ia juga kehilangan kekasih yang di cintainya. Kekasihnya kini telah mendua, pergi bersama pasangan barunya yang juga mencinyainya. Meskipun kekasihnya telah berjanji untuk saling setia dikala suka maupun duka, tapi perasaan hati tidak bisa dibohongi. Apa lagi ia sudah tidak meiliki apa apa lagi, ia tidak bisa terbang, ia tidak bisa lagi bebas mengelilingi angkasa menemani kekasih hatinya.

Sekarang ia hanya bisa menunggu, berharap kekasihnya datang dan sudi untuk mengunjunginya, mengobati rasa sakitnya. Ia tidak bisa berbuat banyak walau kekasihnya hinggap begitu dekat. Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengalihkan perhatiannya, didekati ia lari, dijauhi ia menambah berat sakit hati.

Kekasihnya memang tidak bisa disalahkan. Dirinyalah yang pantas untuk disalahkan jika kekasihnya mendua. Ketika dulu kekasinya menggantungkan harapan kepadanya, tiba-tiba ia menjauh. Disaat itulah kekasihnya yang kesepian tidak bisa menolak ketika ada merpati lain menawakan cintanya.

Saat kembali segalanya telah jadi lain. Kekasihnya ternyata tidak sedang main-main, ia sungguh sungguh menerima cinta merpati ketiga. Bahkan sang merpati ketiga itu telah jadi pengawal setianya, kemanapun ia pergi, ia selalu berada dibawah baying-bayangnya, jika tidak hadir sebagi sosok yang nyata, ia hadir dalam batin hatinya.

Timbul kekeceewaan mengapa ini harus terjadi? Timbul penyesalan mengapa dulu ia menyia-nyiakan cinta? Dalam penyeselannya ia berandai andai, andai ia dulu tidak meninggalkannya, andai dulu ia setia, kekasihnya pasti tidak meninggalkan dirinya. Baiklah, itu sudah terlanjur terjadi, sekarang, andai waktu itu ia mengucapkan ‘aku sangat cinta padamu’, mungkin kekasihnya akan setia menunggu sampai ia benar benar punya waktu luangdan tidak sibuk. Itupun sudah terlanjur dan tidak mungkin kesempatan itu bisa kembali lagi. Sekarang, andai saja ia kembali kepada kekasihnya satu menit sebelum merpati ketiga itu datang, tentu kekasihnya masih miliknya, atau, andai saja ia datang meskipun kekasihnya sedang berbincang bincang dengan merpati ketiga pada pertemuan pertama kalinya, ceritanya tidak akan sepahit ini.

Ia sungguh sungguh menyesal kanapa waktu itu ia terlalu memikirkan pekerjaan dan kesibukan, kenapa pada waktu itu ia tidak meluangkan waktu untuk kekasihnya meskipun dalam keadaan tertekan oleh tugas-tugasnya.

Penyesalan yang tidak lagi berguna, dan sekarang tiba-tiba saja ia merasa bersalah dan berdosa. Gara-gara ditinggalkan, kekasihnya jadi sembrono dalam memuaskan kekecewaannya. Banyak pantangan-pantangan yang tidak semestinya di hindari kini dilanggar. Tidak puas dengan hanya itu, kekasihnya melanglang buana, terbang kemana ia suka, sesuatu yang membuatnya semakin jauh dalam mengikuti kata hatinya. Yang ia menakutkan hal itu terjadi pada diri kekasihnya, ia takut kekasihnya lupa diri dan terejat di lembah comoohan dan kenistaan. Ia takut kepada Tuhan, karena kekasihnya begitu lantaran dirinya. Perbuatan yang menyebabkan orang lain menyimpang adalah dosa. Dosa itu akan terus ditimpakan pada dirinya selama kekasih yang dicintai belum juga berubah.

Kini perasaan bersalah itu bertambah. Betapa beratnya ia harus menaggung dosa jika kekasihnya tidak kembali kehidupannya seperti sedia kala. Kehidupan yang dicita-citakan oleh sang bunda ketika ia lahir kedunia, kehidupan yang membuatnya terjaga disaat Adzan berkumandang di telinganya, kehiduppan yang tidak hingar-bingar dan membahayakan imannya, kehidupan yang membuatnya iri dan cemburu dengan kebijakan, bukan keburukan.

Di hari-hari ia menyendiri hampir saja ia bunuh diri karena beratnya beban perasaan. Langit yang terbuka tampak tertutup dan mencekam, dunia yang luas menjadi begitu sempit, dan dihadapannya ia seperti melihat gumpalan-gumpalan awan hitam yang siap menggilas dirinya. Semakin lama gumpalan gumpalan itu semakin membesar dan terus mendekat, dan dalam ketidak berdayaannyauntuk menghindar ia hanya bisa menagis tersedu sedu. Tuhan, inilah ujian terberat Mu, atau ini baru sebagian kecil dari azab yang Kau timpakan kepadaku? Demikian rintihan merpati yang kesepian itu.

Ketika menyebut kata Tuhan, tiba-tiba ia seperti setitik cahaya yang memberikan harapan, cahaya yang membesarkan hatinya untuk bertahan dalam memperjuangkan kebaikan. Dia ingat sekarang, meskipun kekasihnya mendua, tetapi masih mau mendengarkan nasehatnya. Ia akan terus menasehatinya, membimbingnya, dan membuatnya mengerti akan arti kehidupan yang sesungguhnya. Karena itu pula ia berat meninggalkannya. Bahkan, walaupun cinta yang diberikan oleh kekasihnya hanya separuh karena terbelah dua, dan walaupun berada dalam posisi sulit karena kebuntuan komunikasi, cinta yang sekarang diberikan kepada kekasihnya utuh dan sempurna, melebihi cinta yang sebelumnya.

Setangkup doa kemudian ia panjatkan. Tuhan, kutahu hidayah itu hanya milik Mu, kutahu hanya Engkau yang mampu merubah keburukan menjadi kebaikan, ku tahu hanya Engkau yang mampu menghanguskan semua yang hidup ini menjadi abu. Berilah dia hidayah demi keselamatanku, jangan biarkan aku menghuni neraka Mu karena dia melupakan Mu. Tuhan, semoga Engkau menjawab doaku sebelum aku meng hadap Mu.

Dengan perasaan sayang dan iba kemudian kuseka air matanya yang menutup pandangan nya. Merpati itu tidak boleh menagis.

1 komentar:

  1. bro..
    ada ga Resensinya dari salah satu cerpen nya...!!
    please tugas sekolah mas bro..

    BalasHapus