Powered By Blogger

Selasa, 21 Februari 2012

Rasul Sebagai Cahaya Penerang Kehidupan

Rasulullah sebagai Cahaya Penerang dalam Kehidupan

Dilangit ada matahari  Bersinar menerangi bumi Dilangit ada matahari  Bersinar menerangi bumi Cahayanya yang tajam Menembus kegelapan Menerangi Seluruh alam

Dibumi ada para Nabi Utusan Robbul Izzati Dibumi ada para Nabi Utusan Robbul Izzati Membawa kebenaran Menjaga kedholiman Petunjuk jalan keselamatan

Nabi Muhammad Nabi akhiruzzaman Rahmat bagi umat di seluruh alam Nabi Muhammad mataharinya dunia Yang bersinar abadi sepanjang Zaman

Nabi Muhammad bagai purnama Ditengah malam gelap gulita Nabi Muhammad bagai pelita Cahayanya diatas cahaya Wahai Kaum Muslimin Muslimat Sampaikan Shalawat Salam
 (Nasida Ria, “Nabi Muhammad Mataharinya Dunia”)

I
ABAD KEGELAPAN (JAHILIAH)

Sebelum Rasulullah Muhammad saw. diutus mengemban misi kerasulan di Jazirah Arab, khususnya Makkah tengah dilanda kegelapan, yang dalam tarikh Islam disebut Masa Jahiliah. Rasulullah diutus Allah bagaikan mentari yang menerangi gelapnya alam. Beliau mengemban titah Allah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. 
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]:257).
Yang dimaksud cahaya (nuur) dalam ayat di atas adalah cahaya Islam. Adapun kegelapan (dhulumat) adalah kekafiran atau kejahilan. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam, memberi definisi  mengenai "Arab Jahiliyah", yaitu orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran. Mereka terus melawan kebenaran, sekalipun diketahui bahwa itu benar. Menurut Ahmad Amin, Jahiliyah bukanlah jahl yang berarti "tiada ilmu" (‘adam al-ilm), namun jahl dalam pengertian safah,ghadab, anfah (sedai,berang,tolol) dalam hal menerima kebenaran ajaran agama yang lurus dan benar.
Secara tradisional Jahiliah merujuk pada periode masa dan kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Jahiliah mempunyai konotasi sebagai suatu masa kemusyrikan sebelum manusia menerima keesaan Tuhan atau mengetahui hukum suci Tuhan. Dalam pemakaian modern, jahiliah digunakan untuk menyebut keadaan Dunia Muslim kontemporer yang tidak islami. Maududi, seorang ulama India menyebut bahwa jahiliah modern adalah barbarisme baru yang menggabungkan tata nilai, gaya hidup, teori politik, dan sistem pemerintahan yang secara mendasar tidak sesuai dan tidak selaras dengan Islam. Abu al-Hasan Ali Nadwi, pengikut Maududi, menyatakan bahwa jahiliah masa kini adalah keadaan negara-negara yang menjalankan institusi-instusi yang asing dan tidak islami. Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an) menegaskan bahwa jahiliah adalah keadaan yang lebih ditandai oleh dominasi manusia atas manusia daripada ketundukpatuhan kepada Tuhan. Jahiliah juga ditunjukkan oleh suatu pemerintahan yang didasarkan atas nilai-nilai dan pranata-pranata buatan manusia, seperti demokrasi, monarki, atau kediktatoran. Termasuk jahiliah adalah materialism, komunisme, atau sistem filsafat lainnya yang tidak memberi tempat bagi Tuhan. Dalam kitabnya Ma’alim fi al-Thariq, Sayyid Qutub mengatakan bahwa Jahiliah merupakan “racun budaya” yang berasal dari Barat yang berkembang biak di dalam masyarakat Islam dalam segala lapangan kehidupan. Dihadapkan pada jahiliah masa kini itu hanya ada dua pilihan: taat secara total kepada hukum Tuhan atau tunduk kepada hukum manusia. Pilihan itu mutlak: Islam atau jahiliah. (John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2002, Jilid 2, hlm. 31-32).
Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufradat fi Gharib al-Qur’an membagi makna jahiliah menjadi tiga bagian: (1) ketiadaan pengetahuan (2) kehidupan manusia yang tidak sesuai aturan (3) I’tikad yang bertentangan dengan kebenaran (Kitab al-Mufradat pada entri jahl).
Dalam The Encyclopaedia of The Qur’an karya Oliver Leamen dan The Encyclopadia of Islam karya Gotier disebutkan bahwa jahiliah (jahilia) berarti ketiadaan pengetahuan akan kebenaran Tuhan (ignorance of the divine truth). Rosental mengartikan jahil adalah pribadi yang bodoh “ignorant person” Ignaz Goldziher dan T. Izutsu mengatakan bahwa jahiliah merupakan kondisi moral yang bukan berarti kebodohan (ignorance) tetapi barbarisme (barbarism). Jahiliah juga merupakan lawan kata Islam. Jahiliah berarti kepercayaan kepada keberhalaan (paganism), sedangkan Islam berarti kepercayaan kepada keesaan Tuhan (tauhid). Jahiliah berarti juga ketundukan manusia kepada manusia sedangkan Islam ketundukan manusia kepada Tuhan. Jahiliah merupakan bahaya laten yang dapat menimpa siapa saja dan kapan saja dalam segala lapangan kehidupan termasuk dalam budaya sehingga menurut Ahmad Amin saat ini terjadi pertarungan antara tatanan budaya jahiliah dan budaya Islam (struggle between the older jahiliyya culture and Islamic culture (Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam, 78-83). Muslim pembaharu seperti Muhammad bin Abd al-Wahab mengatakan bahwa jazirah Arab berada dalam kehidupan jahiliah (as living in a jahiliyya) karena mengadopsi praktek dan kepercayaan yang kurang didukung oleh kitab suci (because of their adoption of practices and beliefs lacking scriptural support). Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar lebih menitikberatkan pada makna jahiliah yang berarti beku, tidak adil dan sekular. Jahiliah juga berarti kerusakan manusia dalam agama dan moral (corrupt in their religion and morals).
T. Izutsu menjelaskan bahwa Jahiliah dari asal kata JHL sebagai lawan dari ‘ilmu. Ilmu merupakan karakteristik moral manusia beradab. Orang berilmu dicirikan dengan: kuat dalam menahan marah, penuh kesabaran, perampunan, dan bebas dari nafsu yang membabi buta. Sedangkan Jahiliah diartikan mengacu kepada watak bangsa Arab yang menyembah berhala, nekat dan kepala batu.
Dalam Sirah Nabawiah karya Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam ada cerita menarik yang dituturkan oleh penyembah berhala tua bernama Shas Ibn Qays. Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah hijrah ke Madinah. Musuh Tuhan ini adalah orang yang paling keras kepala dalam mementang agam baru dan menunjukkan permusuhan yang sengit terhadap pengikut Muhammad. Suatu hari ia dilewati oleh kelompok Anshar dari suku Aus dan Khazraj, dua suku yang pernah terlibat permusuhan besar pada masa jahiliah dan setelah mengenal Islam terikat tali persahabatn yang sangat erat. Ketika ia melihat mereka bercakap-cakap dalam suasana ramah tamah dan bahagia, tiba-tiba ia merasa iri hati dan gusar. Diam-diam ia menghasut seorang pemuda Yahudi untuk menimbulkan permusuhan di antara dua suku yang bersaudara itu dengan membangkitkan kembali kepada sejumlah pertumpahan darah dan keganasan yang terjadi pada masa penyembahan berhala. Maka terjadilah pertengkaran sengit di antara kelompok Muslim anshar itu. Lalu mereka menuju tanah lapang dan siap-siap dengan senjatanya masing-masing. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah dan buru-buru ke tempat kejadian dan berkata kepada mereka, “Oh kaum Muslimin, bagaimana kalian sampai melupakan Allah?Apakah kalian tergoda akan panggilan jahiliah (bi da’wa al-jahiliyah), ketika aku berada di sini di antara kalian, ketika Allah membimbing kalian kepada Islam, menghormati kalian, dan memutuskan ikatan kalian dengan jahiliah (qatha’a ankum amr al-jahiliyah), melepaskan kalian dari kekufuran, dan membuat kalian saling bersahabat satu sama lain? Mendengar kata-kata Nabi, mereka sadar bahwa semua ini disebabkan oleh hasutan setan, dan satu sama lain saling berpelukan sambil menangis (Ibn Ishaq-Ibn Hisyam, Sirah Nabawiah).
Riwayat lain menyebutkan, “Segera setelah Mekah diduduki oleh kaum Muslim, Rasulullah mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Khalid meyakinkan penduduk Mekah dengan maksud damainya dan meminta mereka meletakan senjata. Tetapi setelah mereka meletakan senjata, Khalid mengikat tangan mereka di balik punggung dan mulai memengggal kepala mereka satu persatu. Berita itu sampai kepada Nabi lalu Nabi mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga terlihat ketiaknya dan berseru tiga kali, Wahai Rabb, aku tidak bersalah di hadapan-Mu terhadap apa yang dilakukan Khalid. Kemudian Rasulullah mengirim Ali untuk mendatangi penduduk Mekah, memeriksa kejadiannya dengan seksama dan menginjak-nginjak kebiasaan jahiliah (Ij’al amr al-jahiliyah tahta qadamayka). Ali cepat-cepat pergi dengan membawa sejumlah besar uang dan membayar ganti rugi untuk setiap darah dan harta milik yang telah dimusnahkan. (Ibn Ishaq, Sirah Nabawiah). Ketika mengetahui tindakan Khalid seseorang berkomentar: Kamu telah melakukan tindakan jahiliah (‘Amilta bi amr al-jahiliyah) di tengah-tengah masyarakat Islam”.
Rasulullah menghapus kegelapan jahiliah dengan cahaya Islam. Di antara cahaya Islam adalah menanamkan watak hilm sebagai lawan dari watak jahiliah. Dalam kamus Taj al-Arus karya al-Zabidi, hilm sebagai tindakan pengekangan jiwa seseorang dan menahan sifat seseorang dari emosi kekerasan dan kemarahan. Dalam Muhit al-Muhit al-Bastani mengatakan hilm adalah keadaan jiwa tetap tenang sehingga tidak dapat bergerak dengan mudah; dan tidak gentar menghadapi bencana apapun yang timbul, keadaan tenang yang mantap meskipun terserang kemarahan dan lamban dalam membalas orang yang salah. Jahiliah juga berarti kesombongan akan kesukuan, semangat balas dendam yang membara, nafsu membabi buta dan biadab, tidak tahu membedakan antara yang baik dan buruk, yang tidak pernah meminta maaf atas kejahatan yang telah diperbuat, tuli dan bisu terhadap kebenaran dan kebaikan, dan buta terhadap bimbingan dari Allah (T. Izutsu, Etika Beragama dalam Qur’an, 1993).
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan kata-kata jahiliah dan kata lain yang seakar dengannya.
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”. (Q.S. Al-Furqan [25]:63).
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, Maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk Kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (jahil)". (Q.S. Al-A’raf [7]:138).
"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil". (Q.S. An Naml [27]:55).
Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui/jahil. (Q.S. Al-An’am [6]:111)
öKatakanlah: "Maka Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, Hai orang-orang yang tidak berpengetahuan/jahil?" (Q.S. Az-Zumar [39]:64)
( tMusa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (Q.S. Al-Baqarah [2]:67)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Q.S. Al-Maidah [5]:49-50).
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Fath [47]:26)


II
MISI RASULULLAH UNTUK MENERANGI ALAM KEGELAPAN

Allah tidak membiarkan hidup manusia berada dalam alam kegelapan tanpa cahaya petunjuk-Nya. Maka lahirlah Muhammad bin Abdillah yang kemudian menjadi utusan Allah dengan Al-Qur’an sebagai bukti-bukti kebenarannya, sebagai cahaya penerang dan pembeda antara yang benar dan yang batil. Allah SWT menurunkan Al Qur'an untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling mulia, dan jalan yang paling lurus.
"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." (Al Israa: 9)
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." ( Al Maaidah: 15-16)
Al Qur'an mempunyai maksud dan tujuan yang muliah, di antaranya: meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi kalangan yang lemah dan tidak berpunya. Ia juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada-Nya dalam seluruh urusannya. Al Qur'an juga bertujuan untuk membersihakan jiwa manusia, yang jika jiwa itu telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya. (Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an). 
Nabi Muhammad S.A.W muncul disaat yang kritis dalam kehidupan umat manusia. Ia bagaikan sebuah lentera di langit malam, bagaikan bintang yang cemerlang pada malam yang gelap gulita. Sinarnya yang terang membuat malam menjadi terang benderang. Namun, beliau bukan bintang yang biasa. Tapi maha bintang yang sangat luar biasa, yang cahayanya mampu menembus lubuk hati manusia. Bahkan matahari di siang haripun malu menampakkan sinarnya karena bintang ini adalah maha bintang yang terlahirkan ke muka bumi, ialah cahaya dalam kegelapan, ia adalah cahaya di dalam dada, ia dikenal dengan Nama Muhammad. Cahaya Muhammad (Nur Muhammad) sebagai penerang umat manusia tak pernah padam walaupun 14 abad telah berlalu. Cahaya Rasulullah digambarkan dengan begitu indah dalam surat  Surah An-Nur ayat 35 – 38:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Imam al-Ghazali menafsirkan ayat di atas dalam kitabnya Misykât al-Anwâr. Menurutnya, bahwa yang dimaksud dengan “cahaya” dalam ayat “Allah akan membimbing dengan cahayanya, siapa yang dikehendaki,” bukan hanya berupa agama, sebagaimana yang sering dipikirkan, tetapi juga juga meliputi semua daya-daya jiwa yang dimiliki manusia, seperti indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah membimbing manusia melalui indera, akal, imajinasi, dan hati atau intuisi. Karena itu kalau kita ingin mendapat bimbingan dari Allah, kita harus menggunakan daya-daya tersebut sebaik-baiknya (Mulyadhi Kartanegara, “Tafsir Ayat Cahaya dalam Misykat al-Anwar, Al-Ghazali”).
Dalam  ayat-ayat Al-Qur’an, Allah mengaitkan pancaran Nur Muhammad dengan dasar-dasar mistis Islam: “Kitab yang jelas (kitabun mubin)”, “jalan keselamatan (subul as-salam)”, “petunjuk (yahdi bihi)”, dan “jalan yang lurus (shirathin mustaqim)”. Dengan kata lain, untuk memahami “kitab realitas”, manusia memerlukan perantaraan cahaya kenabian, yang dalam hal ini adalah Nur Muhammad. Adalah mustahil melihat apalagi membaca dan memahami ayat dan petunjuk alam semesta dalam kegelapan. Karenanya, sebagai cahaya Ilahi, Muhammad diutus untuk “menjelaskan (liyubayyina)” seluruh tanda dan petunjuk alam ciptaan (QS Ibrahim: 4).
Kehadiran Muhammad sebagai pelita yang terang dan menerangi (sirajan muniran, QS Al-Ahzab: 46). Nur Muhammad adalah raison d’atre penciptaan alam semesta, lantaran tanpa nur itu alam menjadi gelap dan manusia menjadi buta dan sia-sialah penciptaan tersebut. Dalam konteks inilah, kita dapat memahami makna hadis qudsi yang berbunyi: “Lawlaka ya Muhammad, lama khalaqtu al-aflak (Tanpamu, hai Muhammad, tak akan Kucipta angkasa raya).”
Rasulullah adalah guru (mursyid) yang menerangi jiwa dengan pengetahuan sejati berupa cahaya sebagaimana dalam hadis: “Pengetahuan itu adalah cahaya (al-‘ilm nurun)” dan pada akhirnya manusia mendapatkan cahaya Allah di mana Allah adalah Cahaya di atas cahaya (nur ‘ala nur). Menurut Nabi, “Yang pertama-tama diciptakan Tuhan adalah cahayaku”. Nur Muhammad identik dengan Akal Universal. Rasulullah telah mencapai Akal Universal (‘Aql Kulli) yang karena kesempurnaan rohaninya langsung mendapat pengetahuan dari Tuhan. Beliau adalah pengejawantahan awal Perbendaharaan Tersembunyi (kanzun makhfiyun). (William Chittick, Rumi: Sufi Path of Love)
Para sufi banyak mengungkapkan makna cahaya kenabian melalui bait-bait syair. Syair (ghazal) Nasir Kousro, penyair Persia: “Muhammad syam-i mahfil bud . . . Muhammad adalah lilin di sana — tempat yang pernah kudatangi di malam hari” Nabi Muhammad adalah lilin bagi majelis itu, syam’-i mahfil, cahaya yang menerangi kegelapan dunia ini di mana para pendengar itu berkumpul, lilin yang bersinar yang di sekelilingnya hati manusia berkerumun bagaikan laron yang tersihir.
Sesungguhnyalah, Al Quran sendiri (surah 33:46), menamai Nabi sirajun munir, “sebuah lampu yang bersinar”. Seorang penyair Arab Hassan ibn Tsabit, yang pernah menggambarkan Muhammad sebagai seseorang yang membawa cahaya dan kebenaran di dalam kegelapan (seperti dalam surah 5:15); “Datanglah kepadamu dari Tuhan seberkas cahaya dan sebuah kitab yang terang!” Hassan Tsabit dalam Diwan menyatakan “bahwa wajah Nabi bersinar bagaikan bulan pumama”. Ibn ‘Arabi mengatakan sahabat Nabi yakni Ibn ‘Abbas, menggambarkan cahaya Nabi yang menyinari bumi pada saat kelahiran (maulid)-nya.
Dalam Surat An Nur ayat 35 di atas terdapat kata  mishbah (lampu), itulah yang dianggap Muqatil sebagai suatu lambang yang tepat bagi Muhammad. Melalui dia Cahaya Ilahi dapat menyinari dunia, dan melalui dia umat manusia dituntun menuju sumber cahaya ini. Kata-kata “tidak dari Timur maupun Barat” diambil sebagai merujuk ke sifat tugas Muhammad yang menyeluruh, yang tidak terbatas pada satu bangsa atau ras tertentu dan yang melampaui batasan batasan waktu dan ruang.
Sampai masa kita ini, salah satu julukan yang paling umum bagi Nabi adalah Nur al-Huda, Cahaya Penuntun yang Benar. Tidakkah Muhammad sendiri menyebutkan tentang cahaya yang menembus dirinya di dalam salah satu doanya. Salah satu doa kesayangan Nabi saw, “Wahai Allah, tempatkan cahaya di dalam hatiku, dan cahaya di dalam jiwaku, cahaya pada lidahku, cahaya di mataku dan cahaya di telingaku, tempatkan cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di belakangku dan cahaya di hadapanku, cahaya di atasku dan cahaya di bawahku. Tempatkan cahaya di syarafsyarafku, dan cahaya di dalam dagingku, cahaya dalam darahku, cahaya dalam rambutku dan cahaya dalam kulitku! Berikan kepadaku cahaya, perbanyaklah cahayaku, ciptakan cahaya bagiku”.
Maulana Rumi bersenandung: “Setiap orang yang terkena cahaya kebaikanmu (atau, matahari: mihr) Akan menjadi merah mukanya (dihormati) diseluruh dunia bagaikan fajar.” Para sufi dan penyair masa sesudahnya tidak ragu ragu untuk menerapkan kepada Nabi hadits qudsi yang berbunyi:Kuntu kanzan makhfyyan “Aku adalah kekayaan yang tersembunyi, dan Aku ingin dikenal; itulah  sebabnya Aku menciptakan dunia” Allah, karena ingin sekali dalam kesendirian pra-keabadianNya untuk dikenal dan dicintai, meciptakan Muhammad sebagai cermin pertama cahaya dan keindahan-Nya, suatu cermin diimana Dia dapat melihat diriNya sendiri dengan penuh kecintaan. Oleh karena itu, hadis yang berbunyi “Siapa yang pernah melihatku, telah melihat Al Haqq” (telah melihat realitas, Kebenaran, yaitu Allah)“ sering ditafsirkan sebagai mengandung arti bahwa Muhammad itu benar-benar merupakan cermin sempurna Keindahan llahi, tempat perwujudan semua nama dan atribut Ilahi, yang melalui keindahannya orang akan memahami Keindahan dan Kesempurnaan Ilahi.“
Sebagai insan kamil, Manusia Sempurna, Muhammad menjadi penghubung antara Allah dan dunia ciptaan; dia, bisa dikatakan sebagai barzakh, penengah di antara alam dunia dan akhirat. Dan karena dia adalah yang pertama-tama diciptakan, maka dia merupakan nabi terakhir yang muncul dalam wujud sebagai manusia. Beliau adalah penyempurna para nabi yang datang sebelumnya sebagaimana firman Allah:
“Hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Kurelakan Islam menjadi agamamu.” (Q.S. Al-Maidah [5]:3).
Sebab Muhammad, Penutup para Nabi, adalah penyempurna risalah para nabi, dan pada dirinya, sebagai penutup, seluruh kesempurnaan para pendahulunya disatukan (Diringkas dari karya Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah).

III
TIGA ESENSI MISI KENABIAN: TAUHID, IMAN PADA HARI AKHIR
DAN AMAL KEBAJIKAN/AKHLAK

¨Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Ayat ini menegaskan misi Rasulullah untuk menerangi manusia dalam tiga aspek, yaitu menanamkan keyakinan akan keesaan Allah dan hari kemudian dan menerapkannya dalam kehidupan melalui amal saleh (ihsan).
Dalam Al-Qur’an ajaran keesaan Allah itu sangat tegas, sehingga perbuatan mempersekutukan Allah merupakan perbuatan yang tidak dimaafkan, kecuali secepatnya bertobat (kembali pada keesaan Tuhan), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Karena perbuatan itu merupakan kesesatan yang teramat sangat” (4:48); “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan), dan mengampuni dosa selainnya” (4:116).
Di antara ayat-ayat yang menegaskan keesaan Allah adalah sebagai berikut, “Allah, tak ada Tuhan selain Dia, yang Hidup, Yang berdiri sendiri, yang sekalian makhluk bergantung pada-Nya. Dia tak terkena kantuk, dan tak pula tidur. Apa saja yang ada di bumi dan apa saja yang ada di langit adalah kepunyaan-Nya.”(2:255). Dalam surat al-ihklas (112): 1-4 dan surat al-Kafirun (109) Allah menegaskan keesan-Nya. Ibn Taimiyah menegaskan:
“Dua surah berikut, yakni surat al-Ikhlas dan surat al-Kafirun, menjelaskan tentang hakikat tauhid. Surat al-Ihklas ini—sesuai dengan sabda Rasulullah saw, sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an lantaran surat ini berbicara tetang tauhid. Sebab, Al-Qur’an, ditinjau dari segi maknanya, terbagi kepada tiga bagian: sepertiga berisi tentang tauhid, sepertiganya lagi tentang kisah-kisah, dan sepertiga lainnya berisi tentang perintah-perintah dan larangan-larangan. Pembagian ini adalah karena Al-Qur’an adalah “Kalamulllah” (kalam atau Perkataan Allah), sedangkan perkataan itu ada yang berupa instruksi (baik perintah, larangan, maupun anjuran) dan ada yang berupa penyampaian berita saja (baik berita atau kisah tentang Allah maupun berita tentang makhluk). Sabda Rasulullah saw tersebut berbunyi, “Qulhuwallahu ahad (yakni surah al-Ikhlas) sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” Surat al-Ikhlas berisi tentang tauhid qauli (tauhid perkataan) yang ditunjukkan oleh Nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam surah itu. Karena itulah Allah Ta’ala mengatakan, “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah Tuhan Yang Maha mutlak. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada yang serupa dengan Dia (112:1-4). Adapun surat al-Kafirun berisi tentang tauhid qashdi (tauhid maksud atau tauhid niat) seperti Ia sebutkan di dalamnya, “Katakanlah, “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah.” (109:1-2). Dengan ayat ini, menjadi jelaslah perbedaan orang-orang yang menyembah Allah dan orang-orang yang menyembah selain-Nya, sekalipun masing-masing dari kedua kelompok ini sama-sama mengakui bahwa Allah-lah Yang Menciptakan alam ini dan Yang Berkuasa terhadapnya. Dan menjadi jelas pula perbedaan antara orang-orang yang murni beribadah kepada Allah—di mana mereka tidak beribadah melainkan kepada Allah semata—dan orang-orang yang beribadah karena selain Allah (berbuat syirik) atau salah menafsirkan tentang takdir Tuhan sehingga mereka menyamakan saja antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir seperti diperbuat oleh orang-orang musyrik Arab. Karena itulah, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya surat al-Kafirun ini merupakan pembebasan terhadap paganisme (kemusyrikan).” (17:102) (Ibn Taimiyah, Al-Iqthidha al-Shirath al-Mustaqim Mukhalifatu Ashab al-Jahim, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, 465).

Sebaliknya dari tauhid adalah syirik. Syirik atau mempersekutukan Allah adalah lawan dari “Tauhid” atau mengesakan Allah. Syirik itu bukan berarti mengingkari keberadaan Tuhan (atheis), tetapi justru mengakui keberadaan-Nya bersama keberadaan tuhan-tuhan selain-Nya. Pada awalnya kata syirik atau musyrik diperuntukkan bagi kaum pagan (penyembah berhala) Arab. Mereka bukan saja percaya akan keberadaan Allah tetapi juga percaya akan keberadaan tuhan-tuhan lain selain Allah.
Ibnu Taimiyah membagi syirik menjadi dua, yaitu “syirik rububiyah” dan “syirik uluhiyah”. Ibn Taimiyah mengatakan:
“Singkatnya, perbuatan syirik itu terbagi kepada dua macam, yaitu perbuatan syirik terhadap ke-rabb-an Allah (syirik rububiyah) dan perbuatan syirik terhadap ke-ilah-an Allah (syirik uluhiyah). Syirik rububiyah adalah menjadikan selain Allah sebagai penguasa, pengatur, dan pengendali alam bersama Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Serulah mereka yang kau anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) sebesar zarahpun dalam (menciptakan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantunya” (34:22). Dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa apa-apa yang mereka jadikan sebagai tuhan mereka itu tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap alam ini, tidak ikut menjadi patner Allah dalam menjad tuhan, bahkan tidak ikut andil sedikitpun dalam membantu menjalankan kekuasaan Allah, sehingga mereka tidak layak untuk dijadikan sebagai tuhan selain Allah. Sedangkan syirik uluhiyah adalah menjadikan selain Allah sebagai tempat menghambakan diri (beribadah) dan memohon. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan” (1:5) (Ibn Taimiyah, Al-Iqthidla al-Shirat al-Mustaqim).

Karena itu, masyarakat Arab mengakui Allah sebagai Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam semesta,  namun mereka juga menyembah kepada tuhan-tuhan selain Allah. Menurut Ibn Taimiyah, orang-orang musyrik mengakui tauhid rububiyah, tetapi mereka tidak menjalankan tauhid uluhiyah.  Selanjutnya Ibn Taimiyah menjelaskan:
“Sebenarnya orang-orang musyrik tidak ada yang mengatakan bahwa alam ini mempunyai dua pencipta, dan tidak pula mengakui ada tuhan yang lain menyamai Allah. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan demikian, melainkan mereka semua mengakui bahwa Pencipta langit dan bumi ini hanyalah satu Tuhan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesunguhnya jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”Tentu mereka akan menjawab, “Allah” (31:25).; “Katakanlah, “kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika engkau mengetahui? Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah”. Katakanlah, “Maka apakah engkau tidak ingat?” Katakanlah, “Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki arasy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah”. Katakanlah, “Kalau (demikian) maka dari jalan manakah kamu ditipu? (23:84-89).”(Ibn Taimiyah, Al-Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim).

Selain keyakinan akan keesaan Allah, Islam juga mengajarkan keyakinan kepada hari kemudian. Keyakinan akan hari kemudian ini diingkari oleh masayarakat jahiliah. Mereka menganggap bahwa mustahil manusia yang sudah mati dihidupkan lagi. Al-Qur’an membantah anggapan mereka dan memberikan gambaran akan hari kemudian. Hari kemudian atau hari kiamat  (yaum al-qiyamah) artinya hari kebangkitan. Disebut juga dengan hari akhir (yaum al-akhir) atau hari pembalasan (yaum al-din), hari keputusan (yaum al-fashli), yaum al-hisab (hari perhitungan), dan sebagainya. Tanda-tanda hari kiamat dan proses terjadinya hari kiamat digambarkan dalam Al-Qur’an, bahkan ada surat dalam Al-Qur’an yang secara khusus menjelaskan tentang kiamat disebut surah al-Qiyamah. Surah lain yang menggambarkan kejadian tersebut adalah Al-Qari’ah (Bencana yang menggetarkan), Al-Ghasiyah (Bencana yang tak tertahan), al-Shakhkhah (Bencana yang menulikan), Al-Thammah (Bencana yang melanda), Al-Haqqah (Kebenaran besar) dan Al-Waqi’ah (Peristiwa besar), Al-Zalzalah (Gempa), Al-Infithar (Terbelah), Al-Takwir (Melipat), dan Al-Naba (Kabar besar)
Dalam surah Qaf dijelaskan tentang hari kebangkitan di hari akhirat, sebagaimana firman-Nya, “Qaaf. Demi Al-Qur'an yang sangat mulia. (QS. 50:1) (Mereka tidak menerimanya) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir: "Ini adalah suatu yang amat ajaib" (QS. 50:2) Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)?, itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin. (QS. 50:3) …..Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan. (QS. 50:11).
 Firman Allah, “Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (QS. 50:19) Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. (QS. 50:20) Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat, penggiring dan seorang malaikat penyaksi. (QS. 50:21) Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam. (QS. 50:22) Dan yang menyertai dia berkata: "Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku". (QS. 50:23) Allah berfirman: "Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, (QS. 50:24) yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, (QS. 50:25) yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat". (QS. 50:26) Yang menyertai dia  berkata (pula): "Ya Rabb kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh". (QS. 50:27) Allah berfirman: "Janganlah Kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu". (QS. 50:28) Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (QS. 50:29) …..Dan dengarkanlah (seruan) pada hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat. (QS. 50:41) (Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur). (QS. 50:42) Sesungguhnya Kami menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Kamil-ah tempat kembali (semua makhluk). (QS. 50:43) (Yaitu) pada hari bumi terbelah-belah menampakkan mereka (lalu mereka keluar) dengan cepat. Yang demikian itu adalah pengumpulan yang mudah bagi Kami. (QS. 50:44)
Allah Ta’ala berfirman, “Ketika bumi digoncangkan dengan goncangan (yang hebat). Dan bumi mengeluarkan isinya. Dan manusia mengatakan, “Mengapa begini?” Di hari itu bumi menerangkan beritanya. Karena Tuhan telah mewahyukan kepadanya. Di hari itu manusia berangkat dalam berbagai golongan, supaya kepada mereka diperlihatkan perbuatannya. Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik sekecil apapun, akan dibalasnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun akan dibalasnya (99:1-8).  Dalam surat 51 Allah Ta’ala berfirman, “Demi (angin) yang menerbangkan debu yang sekuat-kuatnya, (QS. 51:1); dan awan yang mengandung hujan, (QS. 51:2) ; dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, (QS. 51:3); dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, (QS. 51:4); sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, (QS. 51:5); dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi, (QS. 51:6); Demi langit yang mempunyai jalan-jalan, (QS. 51:7); sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat, (QS. 51:8); dipalingkan daripadanya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (QS. 51:9); Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (QS. 51:10); (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai, (QS. 51:11) ; mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu" (QS. 51:12); (Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (QS. 51:13); (Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. Inilah azab yang dahulu kamu minta supaya disegerakan" (QS. 51:14); Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, (QS. 51:15); sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; (QS. 51:16); Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; (QS. 51:17); Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. 51:18); Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian . (QS. 51:19);
Tanda-tanda kiamat dan proses terjadinya dijelaskan oleh Allah, “Apabila langit terbelah,  dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap, dan apabila kuburan-kuburan dibongkar, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. (QS. 82:1-7).
“Apabila matahari digulung; dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan), dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan apabila neraka jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya”. (QS. 81:1-20)
Kiamat yang merupakan berita besar digambarkan oleh Allah, “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui… Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok, dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu, dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorgana. Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sungguh-sungguhnya, Dan segala sesuatu sudah Kami catat dalam suatu kitab Karena itu rasakanlah. Dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. ….Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah". (QS. 78:1-40).
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS. 90:10); Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS. 90:11); Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS. 90:12); (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, (QS. 90:13); atau memberi makan pada hari kelaparan, (QS. 90:14); (kepada) anak yatim yang memberi kerabat, (QS. 90:15); atau orang miskin yang sangat fakir. (QS. 90:16); Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (QS. 90:17); Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. (QS. 90:18); Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. (QS. 90:19); Mereka berada dalam neraka yang tertutup rapat (QS. 90:20).
Esensi Islam yang ketiga adalah amal saleh atau berbuat baik (ihsan). Kata “ihsan” itu berasal dari kata kerja “hasuna”, artinya berbuat baik. Beberapa ayat yang mengandung kata “ihsan” adalah sebagai berikut, “Dan carilah kehidupan akhiratmu dan jangan lupakan mencari kehidupan duniamu, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik padamu” (28:77); “Dan orang-orang yang berbuat baik di antara mereka dan taat kepada Alah pahala yang besar bagi mereka” (3:172); “Dan balasan bagi orang-orang yang berbuat baik adalah kebaikan” (53:31); “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik padamu” (28:77); “Dan berbuat baiklah sesunguhnya Allah suka terhadap orang-orang yang berbuat baik” (2:195); “Dan Kami nasehatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya” (29:8); “Sesungguhnya Allah perintahkan kamu agar berlaku adil, berbuat kebaikan, dan memberikan sesuatu kepada keluarga dekat” (16:90); “Balasan bagi orang yang berbuat baik itu tidak lain kecuali kebaikan” (55:60); “Jangan sembah kecuali Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (2:83); “Sungguh Allah bersama orang-orang yang takut kepada Allah dan mereka yang berbuat kebaikan” (16:128); “Sungguh karunia Allah itu sangat dekat bagi orang-orang yang berbuat baik (muhsin)” (7:56).
Dalam surat 3: 129-134 dijelaskan ciri-ciri orang yang berbuat baik (muhsin). Firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda, dan takutlah kepada Allah agar kamu sukses. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disiapkan bagi orang yang ingkar pada Kebenaran. Dan taatlah kepada Allah dan utusan-Nya agar kamu mendapatkan kasih sayang Allah. Dan cepat-cepatlah menuju pengampunan dari Tuhan kamu dan sorga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Yaitu orang-orang yang mengeluarkan hartanya (bagi orang-orang lemah) pada waktu banyak rezeki dan pada waktu sempit, dan orang yang mengendalikan amarahnya, dan orang-orang yang memberi maaf kepada manusia. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (muhsinin). Dan orang-orang yang apabila berbuat tak senonoh atau menganiaya diri mereka, mereka ingat kepada Allah dan mohon ampun atas dosanya. Dan siapakah yang mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tak berkeras kepala kepada apa yang mereka lakukan, sedangkan mereka tahu”.
Menurut ayat-ayat 3: 129-134 di atas ada “Sepuluh Perintah Suci” yang harus dikerjakan bila kita hendak mencapai derajat muhsin (orang-orang baik), yaitu: (1) Jangan makan riba berlipat ganda; (2) Takut kepada Tuhan; (3) Menjaga diri dari mencintai harta yang berlebihan; (4) Secepatnya minta ampun kepada Tuhan bila berbuat salah; (5) Menolong orang yang lemah dengan harta yang dimiliki (6) Menahan marah; (7) Memaafkan kesalahan sesama; (8) Tidak berbuat keji seperti berzina; (9) Tidak menganiaya diri sendiri maupun sesama; (10) Senantiasa ingat kepada Allah.
Termasuk dalam Ihsan adalah aspek akhlak atau perilaku yang baik. Islam memiliki prototype ideal dalam aspek akhlak, yakni Rasulullah saw. Ahlaq mulia Rasulullah SAW mengundang decak kagum setiap mata yang memandangnya dan setiap telinga yang mendengar perangai kebaikannya. Kesemuanya itu tak lain merupakan cerminan dari kesempurnaan sifat yang telah Allah pantulkan dari sifat-sifat-Nya yang sempurna baik secara jasmaniah maupun ruhaniah. Gambaran akhlak Rasulullah sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al-Ahzab [33]:21).
Diambil dari beberapa catatan Syeckh Dr. Yoyo Hambali, MA.

BEBERAPA RUJUKAN
Al-Qur’an al-Karim
Al-Mu’jam Mufahras li Al-Fadh al-Qur’an al-Karim karya M. Fuad Abd al-Baqi
History of Arab karya Philip K. Hitti
Hayat Muhammad karya M. Husein Haikal
Ringkasan Bidayah wa Nihayah karya Ibn Katsir
Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik karya Martin Lings
The Spirit of Islam karya Syed Amir Ali
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern karya John L. Esposito
Sirah Nabawiah karya Ibn ishaq
Fajr al-Islam karya Ahmad Amin
Sirah Nabawiah karya Ibn Hisyam
The Life of Muhammad karya Sir William Muir
Etika Beragama dalam Qur’an karya T. Izutsu
Mufradat fi Gharib al-Qur’an karya Raghib al-Isfahani
Encyclopedia of the Qur’an karya Oliver Leamen
Encyclopedia of Islam karya Gotier
Al-iqthidha al-Shirat al-Mustaqim karya Ibn Taimiyah
Dan Muhammad Utusan Allah karya Annemarie Schimmel
Misyakat al-Anwar (Tafsir Ayat Cahaya) karya Al-Ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar