Powered By Blogger

Kamis, 19 April 2012

Cinta dan Penyesalan

Nasehat Untuk Para Wanita


Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang
kebersamaan kami. Meskipun menikahinya,
aku tak pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena paksaan
orangtua, membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak
pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku
tak punya pegangan lain. Beberapa kali
muncul keinginan meninggalkannya tapi
aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
sangat menyayangi suamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah sosok
suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-
benar menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung padanya karena
aku menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku
telah menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia
dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani melawan. Jika ada
sedikit saja masalah, aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka
handuknya yang basah yang diletakkan di
tempat tidur, aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk susu di
atas meja dan meninggalkan bekas lengket,
aku benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia
menggantung bajunya di kapstock bajuku,
aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi
tanpa memencetnya dengan rapi, aku
marah kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku sedang bersenang-
senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak
mau mengurus anak. Awalnya dia
mendukung dan akupun ber-KB dengan pil.
Tapi rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai suatu
hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia
tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari empat
bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak kembar dan
harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan
patuh ia melakukan semua keinginanku
karena aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua anak
kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti
pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling
akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti biasa,
dialah yang menyediakan sarapan pagi dan
mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada peringatan
ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab
dengan anggukan tanpa mempedulikan
kata-katanya yang mengingatkan peristiwa
tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,
karena merasa terjebak dengan
perkawinanku, aku juga membenci kedua
orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak.
Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga
anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali
mencium hingga beberapa kali di depan
pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan
untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa jam kemudian. Di
salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk saling
memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya
aku harus membayar tagihan salon, namun
betapa terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian
terdalam aku tak menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa
yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan
bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta
uang jajan dan aku tak punya uang kecil
maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak
salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan
kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya
selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan meski
masih kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan
ambil dompet dan mengantarnya padamu.
Sayang sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon
kembali. Aku menyebut nama salonku dan
tanpa menunggu jawabannya lagi, aku
kembali menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan
tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku
bisa membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga
ikut mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai.
Menit berlalu menjadi jam, aku semakin
tidak sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
Padahal biasanya hanya dua kali berdering
teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai
merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum
lagi keluar, terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam beberapa
saat sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu.
Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing
itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu
bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan
saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan
hanya menjawab terima kasih. Ketika
telepon ditutup, aku berjongkok dengan
bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga wajahku menjadi
pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di
rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-
tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu
bahasa menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena selama ini dialah
yang melakukan segalanya untukku. Ketika
akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah
tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu
sendiri, serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak
ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu
dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan
mereka sama sekali tak mampu
membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku
duduk di hadapannya, aku termangu
menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah
aku benar-benar menatap wajahnya yang
tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya
dan kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat apa
yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali
aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu
dihiasi senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku
terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan
dari imam mesjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku
berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat
apa yang telah kuperbuat padanya terakhir
kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur makannya. Padahal ia
selalu mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat yang
harus kukonsumsi terutama ketika
mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak
pernah absen mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang menyuapiku
kalau aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan karena aku
tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu
apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa suamiku
adalah penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena
aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
instant karena aku hampir tak pernah
memasak untuknya. Aku hanya memasak
untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak
perduli dia sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan masakanku
hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut
malam setiap hari karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk pindah
lebih dekat ke kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat tinggal teman-
temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan
diri lagi. Aku pingsan ketika melihat
tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun. Aku tak tahu
apapun sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku. Keluarga
besarku membujukku dengan sia-sia karena
mereka tak pernah tahu mengapa aku
begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di
dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-
hari awal kepergiannya, aku duduk
termangu memandangi piring kosong.
Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku
makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat
suamiku membujukku makan kalau aku
sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa dan
ketika malah ibuku yang datang, aku
berjongkok menangis di dalam kamar
mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali
aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah,
membuat teman kerjanya kebingungan
menjawab teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap
esok pagi aku terbangun dengan sosoknya
di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali. Dulu
aku kesal karena ia sering berantakan di
kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa
kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku
tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-
tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih
tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka
ia membuat kopi tanpa alas piring di meja,
sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan
pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru menyadari
bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku
marah karena semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku
rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku
marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena
aku ingin meminta maaf, meminta maaf
pada Allah karena menyia-nyiakan suami
yang dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak baik
pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku
sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak
perhatian dari keluarga untukku dan anak-
anak. Teman-temanku yang selama ini
kubela-belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit
dari keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi. Kembali
rasa bingung merasukiku. Selama ini aku
tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak pernah
peduli, yang kupedulikan hanya jumlah
rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap
bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya
aku terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku
selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan
rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-
anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan
cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang
notaris. Ia membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah
surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya padaku
dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam
surat tersebut tapi yang membuatku tak
mampu berkata apapun adalah isi suratnya
untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu
terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa
memberimu cinta dan kasih sayang lagi.
Allah memberiku waktu yang terlalu singkat
karena mencintaimu dan anak-anak adalah
hal terbaik yang pernah kulakukan
untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku
tak mau kalian kehilangan kasih sayangku
begitu saja. Selama ini aku telah menabung
sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan
tetapi aku berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk membesarkan
dan mendidik anak-anak. Lakukan yang
terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama
ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak
sempat kau lakukan selama ini. Maafkan
kalau aku menyusahkanmu dan semoga
Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik
dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan
Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan
Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan
selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah
akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah
menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi dan
tabungan deposito dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat beberapa
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa besar cintanya
pada kami, sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu
hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu
persatu meninggalkanku selaman-lamanya,
tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh
tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi
seorang pemuda dari tanah seberang. Putri
kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah
kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya
bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan
hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau
akan mendapatkan segalanya. Karena cinta,
kau akan belajar menyenangkan hatinya,
akan belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan menyelesaikannya
atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk
ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap
setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah mencintai
ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta
ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak
sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun
untuk membencinya, tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas darinya karena
kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas
dari cintanya yang begitu tulus.

Sabtu, 14 April 2012

Memaafkan

Memaafkan
Suatu ketika sahabat Bilal bin Rabah RA terlibat pertikaian dengan Abu Dzar RA. Abu Dzar melontarkan perkataan yang sangat menyakitkan hati Bilal. “Wahai anak wanita hitam.” Bilal lalu mengadukan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Dan, Rasulullah pun memanggil Abu Dzar guna mengklarifikasi kejadian tersebut. Lalu, Rasul menasihatinya dan Abu Dzar merasa dia telah berbuat salah dan zalim kepada sahabat seperjuangannya.

Saat itu juga, Abu Dzar mencari keberadaan Bilal. Sesampainya di hadapan Bilal, Abu Dzar meletakkan pipinya di atas padang pasir di bawah teriknya matahari sambil berkata, “Wahai sahabatku, aku rela engkau menginjak pipiku ini demi memperoleh maaf darimu atas perbuatan zalim yang telah aku perbuat.” Namun, ketika itu Bilal merogoh tangan Abu Dzar. “Aku telah memaafkanmu wahai sahabatku.” Sungguh indah akhlak yang diperlihatkan kedua sahabat Rasulullah SAW.

Dalam menjalani hidup sosial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah itu terhadap tetangga, kawan, ataupun rekan kerja. Kesalahan adalah suatu hal yang wajar ketika kita berinteraksi dengan sesama. Namun, ketika kita bisa menyikapi kesalahan tersebut dengan suatu proses saling maaf dan memaafkan, itulah yang luar biasa. “Setiap anak Adam tidak luput dari kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (HR Tirmidzi).

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS al-A’raf: 199). Dalam ayat tersebut Allah SWT mengabarkan kepada umat Muslim bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan di atas muka bumi ini.

Keutamaan Membersihkan Masjid

Keutamaan Membersihkan Masjid

Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang wanita hitam bernama Ummu Mahjan. Dia selalu menyempatkan diri membersihkan masjid Rasulullah SAW. Suatu hari ketika Rasul sedang ke pemakaman, beliau melihat sebuah kuburan baru.

Rasul bertanya, “Kuburan siapa ini, wahai para sahabat?”

Mereka yang hadir di situ menjawab, “Ini kuburan Ummu Mahjan, ya Rasulullah.”

Rasul SAW langsung menangis begitu mendengar berita tersebut, lalu beliau menyalahkan para sahabatnya, “Mengapa kalian tidak memberitahukan kematiannya kepadaku supaya aku bisa menyalatinya?”

Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, pada waktu itu matahari sedang terik sekali.” Rasulullah diam saja mendengar jawaban tersebut.

Lalu, beliau berdiri dan shalat untuk mayit yang sudah ditanam beberapa hari itu dari atas kuburnya. “Bila ada di antara kalian yang meninggal dunia, beri tahukan kepadaku, sebab orang yang kushalati di dunia, shalatku itu akan menjadi syafa‘at di akhirat.”

Sesudah berkata demikian, Rasulullah kemudian memanggil Ummu Mahjan dari atas kuburnya. “Assalamualaikum ya Ummu Mahjan! Pekerjaan apa yang paling bernilai dalam daftar amalmu?”

Rasulullah SAW diam sejenak. Tak lama kemudian beliau berkata, “Dia menjawab bahwa pekerjaannya membersihkan masjid Rasulullah adalah pekerjaan yang paling bernilai di sisi Allah. Allah Taala berkenan mendirikan rumah untuknya di surga dan dia kini sedang duduk-duduk di dalamnya.”

Secara fisik, masjid adalah bangunan biasa yang terdiri atas lantai, tiang, dan atap. Namun, secara spiritual, masjid adalah poros nadi umat yang sangat fundamental. Selain menjadi perekat umat di mana mereka bisa menebarkan kebajikan, masjid juga merupakan media bagi sang Muslim agar sukses dalam menjalin hubungan vertikal dengan Allah; melalui masjid, sang Muslim bisa melakukan mi'raj menuju Ilahi.

Dari masjid, kaum Muslimin bisa belajar-mengajar, keimanan seseorang tergambar, tingkat keberagamaan masyarakat terpancar, ketenangan dan kedamaian berbinar-binar, dan kebangkitan umat mengakar.

Seorang Muslim akan prihatin dan sedih manakala menjumpai seseorang yang dengan seenaknya mengotori masjid dan membiarkan kotoran (sampah) berserakan. Juga tidak etis jika kita membiarkan bau tak sedap bercokol di tempat wudhu, toilet, atau kamar mandi masjid, sehingga aromanya menyebar dan dihirup orang-orang yang shalat, membaca Alquran, iktikaf, atau ibadah lainnya.

Dengan demikian, kebersihan dan keasrian masjid jelas mendukung kekhusyukan kaum Muslimin dalam beribadah. Maka, sangat pantas kalau Allah dan Rasul-Nya memberikan pahala yang besar bagi mereka yang membersihkan masjid— sebagaimana tersimbul dalam riwayat di atas. Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang mengeluarkan kotoran dari masjid maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga,” (HR Ibnu Majah).

Zaman memang sudah berubah dan modern, sehingga masjid-masjid membutuhkan pengurusnya. Namun, membersihkan masjid tentu saja bukan monopoli mereka. Selama mempunyai niat yang mantap, siapa pun punya peluang yang sama untuk mempersiapkan bangunan di surga, yakni dengan membersihkan masjid.

Agama Memudahkan Bukan Menyulitkan


Agama Itu Memudahkan Bukan Menyulitkan

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78). Prinsip kemudahan (taysir) sangat jelas dalam Islam, seperti tampak dalam kisah Amr ini. Setiap kesulitan, pada dasarnya, menuntut kemudahan (al-Masyaqqah tajlib al-taysir). Kalau diperhatikan secara seksama, setiap ibadah dalam Islam disediakan kemudahan-kemudahan. Hakikat Islam dalam terminologi Islam adalah memudah segala pemeluk agamanya bukan malah sebaliknya (menyulitkan). Dalam beberapa Ibadah ritual seperti salat, wudu dan sebagainya Islam memudahkan segala pemeluknya, seperti yang dikisahkan Amr bin Ash pada suatu malam yang teramat dingin dalam sebuah pertempuran yang panjang, mengalami “mimpi basah.” Khawatir membawa akibat buruk kepadanya, ia tidak mandi jenabah, tetapi bertayamum,  lalu shalat Subuh bersama teman-temannya yang lain.  Kasus ini dilaporkan kepada baginda Nabi SAW. Lalu, Nabi SAW bertanya, “Hai Amr, Apakah kamu shalat Subuh sedangkan kamu dalam keadaan junub?”
“Ya, tuan,” jawab Amr.  “Aku khawatir atas diriku,” tegas Amr lagi. Ia kemudian membaca ayat ini: “Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS Al-Nisa’ [4]: 29). Mendengar jawaban Amr, Rasulullah SAW tersenyum dan diam tak berkata lagi. (HR Bukhari). Prinsip kemudahan (taysir) sangat jelas dalam Islam, seperti tampak dalam kisah Amr ini. Setiap kesulitan, pada dasarnya, menuntut kemudahan (al-Masyaqqah tajlib al-taysir). Kalau diperhatikan secara seksama, setiap ibadah dalam Islam disediakan kemudahan-kemudahan. Sekadar contoh, bersuci dalam kondisi normal harus dilakukan dengan air. Tapi, dalam kondisi sulit, seperti menimpa sahabat Amr tadi, bersuci dapat dilakukan dengan tayamum.

Shalat, seperti umum diketahui, harus dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, bagi yang tak mampu berdiri, ia boleh melakukannya dengan duduk, bahkan dengan berbaring saja. Berbagai kemudahan agama itu diberikan oleh Allah SWT untuk tujuan dan maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan.
Karena agama itu mudah maka tidak boleh ada opini yang menggambarkan bahwa agama (beragama) itu seolah-olah menyusahkan.