Dimensi Salat
Hampir 15 abad yang lalu Allah memberi pesan langsung kepada
Nabi Muhammad SAW dalam Isra’ Mi’raj nya memerintahkan Nabi untuk mendirikan
Salat. Mendirikan bukan mengerjakan, ini ditekankan dengan kalimat
‘aqimushallah’, mendirkan salat. Dimensi mengerjakan dan mendirikan jelas
berbeda jauh, bila hanya mengerjakan spirit dalam pesan tersirat dalam salat
tersebut jelas menjadi pudar dan tidak jelas, salat hanya sebagai rutinitas dan
ibadah badaniyah saja, sedangkan kan bila kita tarik dalam dimensi mendirikan
salat, salat sebagai aspek spirit beragama karena salat sebagai perisai dari
perbuatan keji dan munkar, lihat QS al Ankabut ayat 45.
Kita juga harus mengkaji aspek terminologi dari salat itu
sendiri, dalam banyak ayat al Quran Allah mewanti wanti manusia akan pentingnya
mendirikan salat, bukan salat secara ritual saja tetapi salat di lihat secara
batiniyah juga. Karena bila kita melihat aspek salat secara ritual saja kita
lambat laun menemukan analogi miris, banyak orang salat sampai masjid sesak dan
berjubal tetapi korupsi, dan kejahatan lainnya masih subur terlihat di negeri
ini. Ini yang di katakan ‘ salat terus maksiat jalan’ alias STMJ.
Dalam hal di atas siapakah yang perlu disalahkan dalam
perkara ini, manusiakah atau Tuhankah?.
Tuhan tidak pernah salah, manusia lah yang salah, dalam konteks ini
manusia salah mentapsirkan esensi dari salat, salat hanya ibadah ritual saja,
salat hanya bertakbir, bertahmid, bersalawat, dan lain lainnya. Tetapi manusia
melupakan esensi yang terkandung dari salat itu, Allah sudah mengatakan bahwa
salat akan mencegah perbuatan keji dan munkar.
Dalam perintah salat yang langsung diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad tanpa perantara Malikat Jibril, bila dilihat secara seksama
betapa pentingnya hingga Allah yang langsung perintah itu dalam Isra’ Mi’raj
yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, yang tertulis abadi dalam al Quran Surat al
Isra’ ayat pertama. Dalam dimensi salatlah manusia dapar berkomunikasi kepada
khaliknya, dalam salat itu pula manusia sebagai Mahluk berinteraksi yang intim
kepada Allah Dzat yang Maha Suci.
Secara etimologi salat dapat diartikan memohon (Berdoa),
keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian hidup dunia dan akhirat. Manusia yang mendirikan (bukan mengerjakan)
akan memiliki kepribadian Mushalli, yaitu kepribadian yang didapat setelah
melaksanakan salat dengan baik, konsisten, tertib dan khusu’ hingga orang yang
mendirikan salat mendapatkan hikmah dibalik mendirikan salat itu sendiri. Dalam Hadits Qudsi Nabi Muhammad mengatakan “Allah berfirman ; Aku berbagi salat antara
diri-Ku dan haba-Ku dalam dua bagian. Bagian hamba-Ku adalah apa saja yang
diminta. Jika seorang hamba mengucapkan (al hamdulillahi rabbil alamin) Allah
menjawab ; hamba-Ku telah memuji-Ku. Apabila ia mengucapkan (arrahmanirrahim)
Allah menjawab ; hamba-Ku telah memuja pada-Ku. Apabila ia mengucapkan (maliki
yawmiddin) Allah menjawab ; hamba-Ku menyanjung-Ku dan berserah diri pada-Ku.
Jika ia mengucapkan (Iyya kana’budu iyya kanasta’in) Allah menjawab ; pada
bagian ini terdapat bagian-Ku dan hamba-Ku, sedangkan bagian hamba-Ku adalah
apa saja yang diminta. Apabila ia mengucapkan (Ihdina shirathal mustaqim
shirathalladzina an’amta alayhim ghairilmaghdhubi alayhim waladhallin) Allah
menjawab ; inilah bagian hamba-Ku dan bagian hamba-Ku adalah apa saja yang di
minta (HR. Muslim dari Abu Hurairah)