Powered By Blogger

Jumat, 15 Juni 2012

Dimensi Salat


Dimensi Salat

Hampir 15 abad yang lalu Allah memberi pesan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dalam Isra’ Mi’raj nya memerintahkan Nabi untuk mendirikan Salat. Mendirikan bukan mengerjakan, ini ditekankan dengan kalimat ‘aqimushallah’, mendirkan salat. Dimensi mengerjakan dan mendirikan jelas berbeda jauh, bila hanya mengerjakan spirit dalam pesan tersirat dalam salat tersebut jelas menjadi pudar dan tidak jelas, salat hanya sebagai rutinitas dan ibadah badaniyah saja, sedangkan kan bila kita tarik dalam dimensi mendirikan salat, salat sebagai aspek spirit beragama karena salat sebagai perisai dari perbuatan keji dan munkar, lihat QS al Ankabut ayat 45.
Kita juga harus mengkaji aspek terminologi dari salat itu sendiri, dalam banyak ayat al Quran Allah mewanti wanti manusia akan pentingnya mendirikan salat, bukan salat secara ritual saja tetapi salat di lihat secara batiniyah juga. Karena bila kita melihat aspek salat secara ritual saja kita lambat laun menemukan analogi miris, banyak orang salat sampai masjid sesak dan berjubal tetapi korupsi, dan kejahatan lainnya masih subur terlihat di negeri ini. Ini yang di katakan ‘ salat terus maksiat jalan’ alias STMJ.
Dalam hal di atas siapakah yang perlu disalahkan dalam perkara ini, manusiakah atau Tuhankah?.  Tuhan tidak pernah salah, manusia lah yang salah, dalam konteks ini manusia salah mentapsirkan esensi dari salat, salat hanya ibadah ritual saja, salat hanya bertakbir, bertahmid, bersalawat, dan lain lainnya. Tetapi manusia melupakan esensi yang terkandung dari salat itu, Allah sudah mengatakan bahwa salat akan mencegah perbuatan keji dan munkar.
Dalam perintah salat yang langsung diberikan Allah kepada Nabi Muhammad tanpa perantara Malikat Jibril, bila dilihat secara seksama betapa pentingnya hingga Allah yang langsung perintah itu dalam Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, yang tertulis abadi dalam al Quran Surat al Isra’ ayat pertama. Dalam dimensi salatlah manusia dapar berkomunikasi kepada khaliknya, dalam salat itu pula manusia sebagai Mahluk berinteraksi yang intim kepada Allah Dzat yang Maha Suci.
Secara etimologi salat dapat diartikan memohon (Berdoa), keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian hidup dunia dan akhirat.  Manusia yang mendirikan (bukan mengerjakan) akan memiliki kepribadian Mushalli, yaitu kepribadian yang didapat setelah melaksanakan salat dengan baik, konsisten, tertib dan khusu’ hingga orang yang mendirikan salat mendapatkan hikmah dibalik mendirikan salat itu sendiri.  Dalam Hadits Qudsi Nabi Muhammad mengatakan “Allah berfirman ; Aku berbagi salat antara diri-Ku dan haba-Ku dalam dua bagian. Bagian hamba-Ku adalah apa saja yang diminta. Jika seorang hamba mengucapkan (al hamdulillahi rabbil alamin) Allah menjawab ; hamba-Ku telah memuji-Ku. Apabila ia mengucapkan (arrahmanirrahim) Allah menjawab ; hamba-Ku telah memuja pada-Ku. Apabila ia mengucapkan (maliki yawmiddin) Allah menjawab ; hamba-Ku menyanjung-Ku dan berserah diri pada-Ku. Jika ia mengucapkan (Iyya kana’budu iyya kanasta’in) Allah menjawab ; pada bagian ini terdapat bagian-Ku dan hamba-Ku, sedangkan bagian hamba-Ku adalah apa saja yang diminta. Apabila ia mengucapkan (Ihdina shirathal mustaqim shirathalladzina an’amta alayhim ghairilmaghdhubi alayhim waladhallin) Allah menjawab ; inilah bagian hamba-Ku dan bagian hamba-Ku adalah apa saja yang di minta (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar