Powered By Blogger

Senin, 30 Januari 2012

Salahuddin Ayyubi

Salahuddin Ayyubi

Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din (Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) (1138 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan tentara salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).
Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara sebelum Salat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasid. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya, menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.
Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan di Mesir. Disana dia memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia terbukti sebagai penemu dari dinasti Ayyubid dan mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah barat di maghreb, dan ketika paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari bekas pendukung Fatimid, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk menaklukan Yaman. Dia juga disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim Sunni.
Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan di antara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.
Di kemudian hari Saladin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-Adid.

Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي‎, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Sejarah Maulid
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten. Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.
Terdapat beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.

Sabtu, 21 Januari 2012

Salafiyah Bagian 3

Penyebaran Jejak Salafiyah

Sebagai sebuah ajaran dan sekaligus gerakan, Salafiyah menyebar ke berbagai negara di dunia Muslim. Di setiap wilayah, gerakan Salafiyah yang diusung para ulama dan intelektual memiliki fokus perjuangan yang berbeda-beda.

Di Aljazair, Ibnu Badis fokus pada reformasi di bidang pendidikan. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk melawan kebijakan penjajah Prancis yang cenderung merugikan umat Islam di wilayah itu. Ibnu Badis juga menggunakan Salafiyah sebagai sarana untuk menyelamatkan identitas nasional, serta memerangi tarekat sufi.

‘’Bersama ulama reformis lainnya, Ibnu Badis mendirikan Perhimpunan Ulama Aljazair,’’ tutur John L Esposito. Peran gerakan Salafiyah di negara itu sangat menonjol dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Gerakan neo-Salafiyah juga muncul di Maroko pada abad ke-19. Adalah Abu Syu’aib Al-Dukkali dan Muhammad Ibnu Al-Arabi Al-Alawi yang memimpin gerakan reformasi itu. Gerakan itu juga banyak berjasa dalam perjuangan meraih kemerdekaan Maroko lewat partai politik yang didirikan para pemimpin Salafiyah.

Di Tunisia, pada awal abad ke-19 M, gerakan Salafiyah juga berkembang di bawah beberapa ulama , seperti Basyir Shafar, Muhmamad Al-Tahir ibn Asyur, Muhammad Fadhil Ibnu Asyur, serta Abdul Aziz Al-Tsa’alibi. Di negara itu, Partai Destour adalah penganjur Salafiyah dan reformasi Islam.

Di India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) juga menggelorakan gerakan modernisme Islam. Gerakan itu berdampak besar bagi reformasi di kalangan Muslim India. Di negeri Hindustan juga muncul intelektual yang mendukung gerakan Salafiyah lainnya bernama Muhammad Iqbal (1875-1938.   Ia berupaya memadukan pendidikan Islam dan Barat untuk mengatasi keterpurukan yang dihadapi umat Islam.

Gerakan Salafiyah di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan  Muhammad ibnu ‘Abd al-Wahhab di Jazirah Arab. Menurut Ensiklopedi Islam, ide-ide Salafiyah pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19 M, yang kemudian melahirkan gerakan kaum Padri yang berlangsung dari 1803 hingga 1832. Salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol.

Ide dan gagasan Salafiyah juga turut mempengaruhi lahirnya sejumlah organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Persis, serta Al-Irsyad. Ormas Islam itu terbilang konsen menyuarakan pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunah. Memberantasan takhayul, bidah dan khurafat merupakan isu utama yang juga diusung ormas tersebut, pada awal berdirinya.

Salafiyah bagian 2

 Akar Sejarah Salafiyah

Salafiyah dihidupkan oleh Ibnu Taimiyah, karena pada saat itu, umat Islam mengalami era kemunduran atau zaman Taklid.

Ajaran Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kaum Muslim pun dihadapkan pada situasi dan tantangan intelektual baru yang beragam. Tentu saja, tantangan itu harus segera direspons dengan solusi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

‘’Selain menggunakan Alquran, umat Islam juga menggunakan pemikiran rasional untuk menjelaskan konsep dan doktrin Islam,’’ ungkap John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford. Kaum Muslim menggunakan teknik itu untuk menjelaskan berbagai persoalan, seperti eksistensi Allah, sifat ilhahi, sifat Alquran, hingga menjawab pertanyaan apakah Allah akan terlihat di surga.

Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan pada 35 H/656 M, konflik di kalangan umat Islam mulai menajam. Kontrovesi terkait berbagai topik, seperti iman, status orang berdosa,  sifat tindakan manusia, kebebasan dan tekad, serta keimaman telah melahirkan beragam aliran teologi, seperti Qadiriyah, Jabariyah, Shifatiyah, Khawarij, dan Muktazilah.

Munculnya beragam mazhab teologi itu pun memantik perseteruan di antara para pengikutnya. ‘’Kondisi itu mengundang keprihatinan Ahmad Ibnu Hanbal, pendiri mazhab keempat Sunni,’’ papar Esposito. Sehingga, Ibnu Hanbal didapuk sebagai juru bicara salafiyah klasik.

Ia menginginkan agar umat Muslim segera kembali kepada ajaran Islam yang murni dan sederhana berdasarkan Alquran, Sunah, dan hadis para salaf.  Istilah Salafi, menurut sebagain kalangan, pertama kali muncul dalam kitab Al-Ansaab karya Abu Saad Abd al-Kareem al-Sama'ni, yang meninggal pada 562 H/1166 M.

***

Kata salafiyah, menurut Esposito, diturunkan dari akar kata salaf yang berarti ‘’mendahului’’.  Alquran menggunakan kata salaf  untuk merujuk masa lalu, dalam surah Al-Maidah [5] ayat 95 dan Al-Nafal [8] ayat 38.  ‘’Dalam leksikon Arab, salaf  adalah leluhur yang saleh,’’ ungkap guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.

Sebagai seorang juru bicara Salafi klasik, Ibnu Hanbal telah meletakkan sejumlah doktrin Salafiyah. Pertama, keutamaan teks wahyu di atas akal. Menurutnya, tak ada kontradiksi antara wahyu atau kitab suci dan akal. Kedua, menolak  disiplin kalam (teologi). Salafiyah memandang persoalan yang diangkat mazhab-mazhab teologi sebagai sesuatu yang bidah.

Ketiga, Ibnu Hanbal menekankan pentingnya ketaatan ketat kepada Alquran, Sunah, dan konsensus (ijmak) para leluhur yang saleh. ‘’Ibnu Hanbal memagang Alquran dan ajaran Nabi SAW sebagai sumber otoritatif dalam memahami masalah agama,’’ tutur guru besar untuk bidang Agama dan Hubungan Internasional pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu. ***
Seiring bergilirnya waktu, pendekatan Salafiyah mulai berevolusi dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi umat Islam. Gerakan Salafiyah lalu dihidupkan lagi oleh Ibnu Taimiyah, ulama dan pemikir Muslim yang hidup di antara abad ke-13 dan ke-14 M.

Salafiyah dihidupkan oleh Ibnu Taimiyah, karena pada saat itu, umat Islam mengalami era kemunduran. Terlebih, setelah kota  Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah dihancurkan bangsa Mongol dalam sebuah invasi pada 1258 M. Dunia Islam yang selama tujuh abad sebelumnya bersinar mulai mengalami kegelapan.

Dunia Islam mengalami kemunduranalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kezaliman merajarela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bias berijtihad secara murni lagi. Saat itu, umat Islam berada dalam zaman Taklid.

Masa Taklid disebut para sejarawan dan pemikir Islam sebagai masa kemunduran. Pada pertengahan abad ke-13 M itu, masyarakat Muslim banyak yang menjadi penyembah kuburan, nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat. Mereka berharap berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali).

Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Masyarakat Islam pada waktu itu terjebak pada perbuatan syirik dan bidah dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhayul. Kondisi itulah yang membuat Ibnu Taimiyah tergerak untuk menghidupkan gerakan Salafiyah

Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam. Ketiga generasi kaum Muslimin itu biasa disebut sebagai kaum Salaf.

Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah yang dihidupkan Ibnu Taimiyah antara lain: pintu ijitihad selalu terbuka sepanjang masa; taklid atau ikut-ikutan tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; diperluka kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa; perdebatan teologis (kalamiah), seperti Muktazilah, Jahamiyah dan lainnya dihindarkan; ayat Alquran dan hadis yang mutasyabihat (tak jelas menunjuk pada satu arti) tak  ditafsirkan dan tidak ditakwilkan.

Gerakan Salafiyah juga dikenal sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan). Ada pula yang menyebutnya, gerakan Islah (perbaikan) dan gerakan Reformasi. Tak heran, jika Ibnu Taimiyah ditabalkan sebagai Bapak Tajdid, Bapak Islah, Bapak Reformasi, serta bapak Pembaharuan dalam Islam. 

***

Sejak saat itu, gerakan Salafiyah mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di era pramodern, yakni abad ke-18 M, gerakan Salafiyah kembali dihidupkan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) lewat Wahhabiyah. Gerakan itu lahir sebagai sebuah upaya untuk mereformasi umat yang sedang mengalami kehancuran, baik secara moral dan sosial.

Salafiyah

Tokoh-Tokoh Gerakan Salafiyah.

Imam Ahmad bin Hanbal
Ia adalah seorang ulama dan intelektual Muslim terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Umat Islam di Indonesia biasa menyebutnya Imam Hambali. Sosok ahli fikih pendiri Mazhab Hambali itu begitu populer dan legendaris. Namun, ulama yang hafal satu juta hadis dan selalu tampil bersahaja itu tak pernah ingin apalagi merasa dirinya terkenal.
Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai ulama yang berotak brilian. Kecerdasannya diakui para ulama besar di zamannya. Penulis sederet kitab penting bagi umat Islam itu juga dikenal sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, saleh, dan berakhlak mulia. Kemuliaan yang ada dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal telah membuat guru-gurunya kagum dan bangga.
Imam Syafi'i menjuluki muridnya itu sebagai imam dalam delapan bidang.  Imam dalam hadis, Imam dalam fikih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam kefakiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara', dan Imam dalam sunah. Ia terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ia tutup usia di baghdad pada 12 Rabi'ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77.



    Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah adalah ulama dan pemikir Islam yang disegani karena ketokohan dan keluasan ilmunya. Ia telah menulis ribuan buku. Ia dijuluki beragam gelar, seperti  Syaikhul Islam, Imam, Qudwah, 'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya.
Ia bernama lengkap Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Terlahir di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263 M).
 Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para ulama-ulama terkenal di zamannya.  Dia kemudian menjadi Bapak Pembaharuan Islam lewat gerakan Salafiyah yang dikembangkannya.

  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
 Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa'ad Zur'i ad-Damsyiq. Ulama besar ini lebih dikenal dengan sebutan Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Ia adalah seorang ulama, ahli tafsir, penghafal Alquran, ahli nahwu, usul fikih, ilmu kalam, dan juga seorang mujtahid (ahli fikih) kenamaan.

Tak cuma itu, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dikenal pula sebagai seorang cendekiawan Muslim dan ahli fikih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 Masehi. Ulama yang bergelar Abu Abdullah Syamsuddin ini dilahirkan di Damaskus, Suriah pada 691 H/1292 M, dan wafat pada 751 H/1352 M.  Ia merupakan murid Ibnu Taimiyah yang sangat fanatik.

    Jamaluddin Al-Afgani
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. ia lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Dunia Islam mengenalnya sebagai seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya.

Di tengah kemunduran kaum Muslimin, al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20. Ia dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pada tahun 1879, al-Afgani membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Watani (Partai Kebangsaan).

     Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada  1849 M dan wafat pada  1905 M. Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Alquran. Pada usia 12 tahun, ia telah hafal kitab suci Alquran.

Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Jamaluddin Al Afghani, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan banyak belajar darinya. Al-Afghani banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh.

     Rasyid Ridha
Ia bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada  27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.

Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).

Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.

     Sir Sayid Ahmad Khan
Sir Sayid Ahmad Khan dikenal sebagai seorang tokoh pembaru di kalangan umat Islam India pada abad ke-19. Dia dilahirkan di India pada  1817. Nenek moyangnya berasal dari Semenanjung Arab yang kemudian hijrah ke Herat, Persia (Iran), karena tekanan politik pada zaman dinasti Bani Umayyah.

Jumat, 20 Januari 2012

Atas Nama Cinta

Atas Nama Cinta
Deber-debar cinta telah engakau alunkan atas nama kasih sayang penuh cinta, sampai kapan aku terpesona atas namamu yang agung dan penuh cinta. Engkau berambat, berjalan dengan derap langkah yang pasti dalam hatiku yang hampir berhenti berdebar. Apa ini yang dinamakan cinta, seperti cinta baginda Nabi besar Muhammad pada istri ter kasihnya Khadijah hingga membuat Aisyah istrinya cemburu tidak kepalang. Cinta memang agung seperti dasar esensinya, cinta menggerakkan yang terhenti, menghidupkan mati, menyegarkan yang layu, semua bermuara atas nama dirinya yang begitu esa dan kuasa. Dalam riwayat cinta banyak sejarah terukur atas nama cinta dari sejarah manusia pertama yang bernama Adam yang begitu cintanya kepada Hawa hingga membuat ia terusir dalam surganya Allah, daftar hitam cintah ini yang menorehkan betapa pahit jatuh kecewa karena cinta.  Cinta menghidupkan yang mati hingga tumbuh dan berkembang kembali, cinta adalah harapan yang tinggi. Cinta yang hanya terdiri lima huruf namun keagungannya melebihi semesta jagad raya, beruntunglah yang di anugrahi cinta di hatinya, atas nama cinta pula sahabat Handzalah bin Abu Amir, yang melepaskan pelukan istrinya di malam pengantin baru, seraya menyambut seruan jihad pada perang Uhud dan menemui syahidnya. Ia dimandikan para malaikat hingga membuat sahabat nabi yang lain bertanya-tanya. “Mengapa dimandikan malaikat?” “Cari tahulah pada keluarganya” kata Rasulallah SAW yang mulia. Ya, ia tak sempat mandi jinabah saat menyambut panggilan Tuhannya. Itulah sekelumit contoh cinta Ilahiyah. Cinta yang meminta pengorbanan harta dan jiwa, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS As-Shaff 10-11).  Banyak sebab cinta, banyak muara cinta, banyak tujuan cinta, memang begitulah hahakikat cinta, cinta pada manusia, kepada istri, anak, harta, tahta, namun jangan melupakan sang maha cinta, yang menciptakan dari setetes air, lalu mengubahnya menjadi segumpal darah, lalu mengubahnya menjadi segumpal daging, lalu meniupkan ruh atas nama_Nya yang esa dan kausa, menuliskan garis takdirnya, mati, jodoh dan rizki Dialah hakikat sebenarnya. Banyak syair tercipta atas nama cinta hingga para pujangga tak habis mengurai kata berbalut makna atas nama cinta, memang begitulah hakikat cinta. Atas nama cinta pula Ibnu Abbas yang terkenal dengan “Quran berjalan” kehilangan penglihatannya karena seringnya menangis dimalam tahajudnya karena begitu cintanya kepada sang Khalik, Allah SWT. Atas nama cinta pula Nuh Alaihi Salam, memanggil anaknya yang tenggelam akibat kekufuran dan ketidak percayaannya dengan ke Nabian ayahnya. Memang begitulah hakikat cinta, Cinta laksana air dalam kehidupan, nafas dalam jiwa, semangat dalam raga, lembut dalam sutera. Ia bagaikan panas pada api, dingin pada salju, luas pada angkasa dan, seperti kata Sapardi, “kayu kepada api yang menjadikannya abu” begitulah Innayatul Hasyim mendefinisikan hahikat cinta. Ketika sepasang anak manusia tertarik satu dengan lainnya, Islam menganjurkan untuk segera mendokumentasikannya dalam mahligai rumah tangga. Rasulallah SAW berpesan, “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian sudah mampu (menikah), hendaklah menikah.” Ikat cintamu. Abadikan pelana hatimu. Simpan permata jiwamu. Proklamasikan belahan kasihmu di altar sajadah ijab-kabul yang disaksikan para malaikat, sambil bersimpuh di hadapan orang tua dan kerabat. Namun cintailah cintamu seperlunya karena suatu saat yang kau cintai akan sirna, meninggalkan atau bahkan mati, betapapun kamu cinta atas cintamu kalau takdir berkata lain engkau tak kuasa untuk menolaknya,  telaga cinta manusia akan kering, betapapun mewahnya engkau mendokumentasikan cintamu kalau takdir cinta belum berpihak atas namamu pasti kesedihan dan air mata yang engkau dapat. Maka patrilah cintamu dalam hatimu di samudra yang paling dalam agar ia tak lekang dimakan waktu, tak berkarat dan tetap bening seperti beningnya embun di pagi hari yang memancarkan pesonanya yang elok lagi rupawan. Mazhab mazhab cinta memang banyak, ada yang berkiblat pada air mata dan kesedihan, ada yang berorientasi pada nafsu, ada yang beraliran kesenangan semata, sudah barang tentu hati yang jernihlah yang dapat menentukan mazhab cinta ini. Biarkan ia mengalir sejujur jujurnya, seperti jujurnya sungai surga yang terpatri dalam Salsabillanya Allah di Raudhatul Jannah. Atas nama cinta begitulah hakikat cinta, membuat kata menjadi prosa, prosa menjadi syair dan begitulah seterusnya. Biarkan ia bermuara sampai kesamudra kesetiaan hingga ajal menjemput jiwa. Amien.

Kamis, 19 Januari 2012

Syi'ah

Kontrofersi Sekitar Syiah

Baru-baru ini kita dikejutkan tentang konfik agama yang terjadi di Sampang, Madura. Kejadian itu sangat di sayangkan, beberapa tokoh nasional serta tokok Islan sekanan berebut bicara tentang kejadian itu. Kejadian pengusian Jamaah Syiah sebenarnya kita dapat hindari dengan pemahaman beragama secara konferhenship, tidak mengambil dalil-aril yang sengaja di ambil secara parsial yang bertujuan menyulut konflik horisontal di masyarakat. Pendidikan keagamaan sudah seharusnya dan selayaknya memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang agama (khusunya) agama Islam secara menyeluruh. Islam sebagai agama yang besar tentunya mempunyai maslah dan tantangan tersendiri untuk mengolah berbagai macam kultur dan budaya serta mazhab-mazhab dalam Islam. keragaman inilah harus difahamai oleh berbagai pihak agar terhindar dari gesekan-gesekan konflik yang merugikan ummat. Pemahaman yang dangkan dan dangkan akan membuat kita gampang terpropokasi  hingga membuat kerugian-kerugian disana sini. Berikut ini secerca tulisan dan ulasan mengenai keberadaan Syiah dan sejarah singkatnya, agar kita terhindar dari sikap gampang  menjustifikasi  kaum (mazhab) Syiah sesat.
Bila kita membuka web dan membuka mesin pencarian (Sejenis Google) lalu kita ketik ejaan “Syiah” maka kita akan disajikan tulisan tentang pemahaman tantang sejarah singkat kaum Syiah.  Pada dasarnya aliran Syiah sama seperti aliran-aliran(mazhab) dalam agama Islam lainnya. Syiah dapat diartikan sebagai salah satu aliran (mazhab) dalam Islam seperti halnya mazhab mazhab yang lain. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun” ( lihat : Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti.
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara (lihat: Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau (lihat : Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1.    Tauhid bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2.    Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3.    An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
4.    Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5.    Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dalam perkembangannya Syiah terpecah menjadi 22 sekte, dari 22 sekte itu kini hanya tersisa beberapa sekte saja.  Dalam terminologi Syiah mempunya kepercayaan kepada beberapa Imam (Imam 12). Hasan bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, Muhammad bin Hasan.
Dalam perkembangannya kaum Syiah dan Sunni (dikenal dengan ahlu sunnah waljamaah) memiliki pertentangan secara idiologi agama (meneurut saya lebih condong ke pertentangan politik), perbedaan itulah yang melahirkan gesekan gesekan disektor bawah yang tidak mempunya pemahaman agama yang lebih. Akibat dari itu semua, terjadilah konflik seperti di Sampang, Madura yang(dalam hal ini) kaum Syiah. Kita harus faham benar bahka hubungan Syiah-Sunni dalam sejaran Islam sangat berurai sedih dan air mata, dari terbunuhnya Ali bin Abi Thlaib, pemenggal Husin oleh pemerintahan Muawiyyah, sentimen inilah yang membuat konflik Syiah-Sunni tidak dapat di pungkiri.  Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syiah sebagai kauh rafidhah, yang menurut terminologi arab berarti menunggalkan. Dalam terminologi syariat Sunni rafidhah bermakna mereka yang menolak kepemimpinan Abu bakar dan Umar bin Kattab. Ibnu Tamiyah menyebutkan dalan “Majmu Fatawa”, rafidhah pasti Syiah tapi Syiah belum tentu rafidhah. Dalam pendapat lain Abdullah bin Ahmad bin Hambal berpendapat tentang rafidhah, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar(lihat : Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567 karya Ibnu Tamiyyah).