Powered By Blogger

Minggu, 27 Mei 2012

Antara Ibadah dan Bid'ah Amalan di Bulan Rajab (Lengkap)


Antara Ibadah dan Bid'ah Amalan di Bulan Rajab

Sekarang, kita telah berada dalam bulan Rajab yang dalam suatu hadits dikatakan, “Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)

“Dinamakan Rajab, karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)

Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang paling kuat, dan adapun artinya dia memuliakan dan mengagungkannya karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).

Al Qadhi Abu Ya’la berkata, “Dinamakan bulan haram karena mengandung dua makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-larangan pada bulan ini lebih berat dosanya dibanding pada bulan selainnya, demikian pula ketaatan. Dari Zadul Masir, 3/432.

Menurut pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij, sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345, Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir.”

Itulah pendapat yang dirajihkan oleh Al Alusi di Rauhul Bayan 2/108, Al Qurtubi di Al Jami’ Al Ahkam Al Qur’an 2/351, Ar Razi di dalam tafsirnya 5/142, Ibnul ‘Arabi di Al Ahkam 1/108, Al Jashas di Al Ahkam. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram tetap dan tidak dinasakh.

Tidak ada satu dalil pun yang shahih, yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Rajab. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab, “Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata, “Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya.”

Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya: Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan.”

Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150, “Dan bab shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam mi’raj …, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok.”

Beliau juga berkata, “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.

Meskipun demikian, Rajab memiliki keutamaan; Karena Rajab termasuk bulan haram dan terhormat.

Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan; Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah 9: 36)

[640]. Lihat no. [119]. Maksudnya antara lain ialah : bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.

[641]. Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.


Dzikir khusus di bulan Rajab

Di sisi banyaknya nukilan dari para imam tersebut, tragisnya masih saja ada dari umat islam yang mengistimewakan bulan ini. Mereka melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at yang suci, seperti mengistimewakannya dengan berpuasa, apakah di awalnya atau keseluruhannya.

Dan umumnya, umat islam di tanah air mengistimewakan bulan ini dengan membaca dzikir-dzikir khusus seperti “Istighfar bulan Rajab” yang dibaca setiap pagi dan petang sebanyak 70 kali, sambil mengangkat tangan membaca: “Allahummaghfirlii warhamnii watub ‘alayya” “Ya Allah, ampunilah aku, dan kasihilah aku serta terimalah taubatku.”

Biasanya, dzikir ini dibaca setelah imam salam dari shalat wajib dan diikuti oleh pada jamaah dengan serempak. Dan masih banyak lagi amalan-amalan serupa di bulan Rajab yang tidak ada asal usulnya di dalam syari’at ini.

Semua itu merupakan ajaran baru yang tidak dikenal oleh generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Padahal, merekalah generasi terbaik umat ini, seperti yang terdapat dalam hadits, “Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ’anhu)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Q.S. Asy-Syuura 42: 21)


Shalat Raghaib di bulan Rajab

Begitu juga dengan Shalat Raghaib yang telah banyak diamalkan oleh umat muslim di setiap bulan Rajab. Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12 raka’at, dengan 6 kali salam, dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada Jum’at pertama bulan Rajab. Yang dibaca yakni surat Al-Qadr 3 kali dan Al-Ikhlas 12 kali, setelah membaca Al-Fatihah. Setelah selesai, membaca shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdo’a dengan do’a yang dia kehendaki. Maka, rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits, bahwa ia maudhu’ (palsu).

Lihat kebid’ahannya di Al Inshaf Lima Fi Shalat Ar Raghaib Minal Ikhtilaf, karya Abu Syamah Al Maqdisi. Dia memasukkannya dengan lengkap dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Al Bida’ Wal Hawadits dan Musajalah ‘Ilmiyyah Baina Al Imamaini Al ‘Iz bin Abdul Salam Wa Ibnu Ash Shalah dan Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqim, hlm. 283; Al Madkhal, 1/193; Tabyin ‘Al Ajab Fi Fadhli Rajab, hlm. 47 – Al Misyriyah; Fatawa An Nawawi, hlm. 26; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 212; As Sunan Al Mubtadi’at, hlm. 140; Al Maudhu’at, 2/124; Al Laliu Al Masnu’ah, 2/57; Tanzih Asy Syari’ah, 2/92; Al Majmu’, 4/56; Safar As Sa’adah, hlm. 150 dan Al Amru Bi Al Ittiba’, lembar 15/1.

Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian melupakan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; Maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isya’ sebanyak dua belas raka’at, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya."

Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata, “Hadits ini palsu.”

Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata : “Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bid’ah yang sangat ektrim, yaitu Ali bin Abdullah Jahdham”.

Abu Syamah berkata, "Di antara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh palsu adalah, besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits, terdapat indikasi bahwa hadits ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya’ dengan atamah. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah."

Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan: Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits, “Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat, dan hari Jum’at untuk berpuasa.” [Dikeluarkan Al Bukhari dalam Ash Shahih, 4/232 no. 1985; Muslim dalam Ash Shahih, 2/801 no. 1144; Ahmad dalam Al Musnad, 2/495; At Tirmidzi dalam Al Jami’, 12312 no. 740, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, sebagaimana di dalam Tuhfah Al Asyraf, 10/351; Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/549 no. 1723; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 4/302; At Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al Atsari, 2/78]

Oleh karena itu, shalat Raghaib termasuk bid’ah yang munkar, termasuk bid’ah yang sesat, karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya, para imam telah menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan, kesesatan, kebid’ahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.

Pendapat An Nawawi tersebut juga menyatakan sesat dan bodoh kepada orang yang shalat Raghaib pada malam Jum’at. Baik itu sendirian maupun berjama’ah, dengan alasan ada anjuran yang membolehkannya. Padahal, semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan pendustaan atas nama Rasulullah.

Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhu’ (palsu) dan tidak disyari’atkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhu’ dalam semua keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bid’ah yang sesat, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq di antara mereka.

Ada sebagian orang yang berpendapat, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa dan qiyamul lail pada malamnya. Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah makruh tanzih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengkhususkan hari Jum’at untuk puasa dan qiyamul lail dan meremehkan malam yang lainnya.

Dalam Jami’ Al Ushul, setelah menyebutkan shalat Raghaib beserta tata caranya dan berdo’a setelahnya, dinyatakan: “Hadits ini termasuk yang aku temukan di kitab Razin, dan aku belum pernah menemukannya dalam salah satu kutubus sittah, dan hadits ini dicela di dalamnya.” [Jami’ Al Ushul 6/154 dan dia menisbatkannya ke Razin Al ‘Iraqi dalam Takhrij Ahadits Al Ihya, 1/203, dan dia berkata: maudhu’]

Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dha’if. [Perkataan Ibnu ‘Atsir ini tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mu’tabar menyatakan bid’ah & palsunya shalat raghaib]

Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat bolehnya shalat tersebut. Demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali) dalam Al Ihya dan yang lainnya dari para syaikh dan ulama.

Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah. Apalagi, semua ulama sepakat tentang bid’ahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara tuntas dan jelas oleh ‘Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalil pun yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan, Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.

Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau memberi bantahan tuntas satu per satu. Kemudian membuat kesimpulan secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bid’ah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 4/56.

Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan kabur. Sebab, beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik membolehkannya.

Dan Al ‘Iz telah membuat bantahan yang cukup bagus, bahwa sesungguhnya beliau pernah shalat malam Jum’at mengimami umat manusia, sedangkan manusia tidak tahu kalau itu dilarang. Maka, dia takut jika melarangnya akan dikatakan, “Apakah kamu tidak melakukan shalat itu?” Sehingga, beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap baik oleh syari’at yang suci.

Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah, bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya. Sebagaimana dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits shalat pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab ini ditolak.

Demikian dikatakan Ath Thurthusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 116-117 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 33 darinya pula. Apalagi dalam shalat tersebut terdapat sesuatu yang menambahi Alquran dan Assunnah; Bahkan, sebaliknya banyak dalil-dalil, baik dari Alquran dan Assunnah menyelisihi tata cara shalat tersebut.
Mengenai keutamaan umroh di bulan Rajab

Ada sebagian dari kita yang berpikir, bahwa melaksanakan umroh pada bulan Rajab lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya. Padahal, tidak ada keutamaan secara khusus umroh pada bulan Rajab dengan bersandar kepada dalil shahih. Rasulullah sendiri tidak pernah mengerjakannya, tidak pernah menyetujui salah seorang sahabat yang melakukannya. Dan, apabila Beliau menganjurkan umroh pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak tsabit.

Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, dia berkata, “Aku dan Ibnu Umar pernah bersandar di pintu kamar ‘Aisyah, dan sungguh kami mendengar suara siwaknya.” Dia (Urwah) berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar, 'Wahai, Abu Abdurrahman. Apakah Nabi pernah umroh pada bulan Rajab?' Dia menjawab, 'Ya.' Maka, aku bertanya kepada ‘Aisyah, 'Wahai, Bunda. Apakah engkau tidak mendengar yang telah dikatakan oleh Abu Abdurrahman?' Aisyah menjawab, 'Apa yang dikatakannya?' Aku berkata, 'Dia mengatakan bahwa Nabi umroh empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab.' Maka, Aisyah berkata, 'Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Demi agamaku, tidaklah Beliau umroh pada bulan Rajab, dan tidaklah Beliau umroh pada salah satu umrohnya, kecuali dia bersamanya.' [Beliau tidak umroh pada bulan Rajab saja]." Dia (Urwah) berkata, ”Ibnu Umar mendengar, tetapi dia tidak berkata ‘ya’ ataupun ‘tidak’, bahkan diam.” [Dikeluarkan Al-Bukhari (Ash-Shahih) 3/599-600 no. 1775 & 1776, Muslim (Ash-Shahih) 2/916 no. 1255 dan selain keduanya]

Ini menunjukkan keraguan Ibnu Umar, sehingga sama saja baginya, baik dia mencabut kembali perkataannya ataupun tidak. Sesungguhnya dia menyendiri, maka perkataannya syadz lagi munkar, tidak disepakati oleh seorang pun sahabat yang mulia, dan tidak pula oleh para imam yang alim.

Berkata Ibnu Al-Jauzi di dalam (Musykilnya), “Diamnya Ibnu Umar tidak lepas dari dua keadaan; Mungkin dia syak (ragu) maka diam atau dia menyebutkan setelah lupa maka dengan diamnya itu dia kembali kepada perkataannya. Dan ‘Aisyah telah mengoreksi dengan koreksi yang baik."

Dan Anas berkata, “Rasulullah umroh empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’idah.” Dan hadits ini menunjukkan kuatnya hafalan ‘Aisyah dan pemahamannya yang bagus. Az-Zarkasi menukilnya di (Al-Ijabah) hal. 94 cet. Al-Maktab Al-Islami – Beirut.

Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga, di antaranya Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H). Beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu (merupakan) kedustaan yang diada-adakan.”

Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150, “Dan bab shalat Raghaib, shalat Nishfu Sya’ban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Mi’raj, … bab-bab ini di dalamnya secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sah.”

Beliau juga berkata, “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada sesuatu pun yang tsabit. Bahkan sebaliknya, ada riwayat yang memakruhkannya.”


Berpuasa di bulan Rajab

Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wa nahyu ‘Anil Ibtida’, lembaran 14 / 1: Asy Syafi’i berkata, "Aku membenci seorang laki-laki yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan. Demikian pula puasa sehari di antara hari-hari yang lainnya."

Abu Al Khatab menyebutkan di dalam kitab Ada’u Ma Wajaba Fi bayani Wadh’i Al Wadhi’in Fi Rajab, dari orang kepercayaan, Ibnu Ahmad As Saji Al Hafizh, beliau berkata, "Imam Abdullah Al Anshari, syaikh negeri Khurasan tidak pernah puasa Rajab, bahkan melarangnya. Beliau berkata, ’Tidak ada sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang keutamaan Rajab dan puasa padanya.’” Beliau berkata, ”Sesungguhnya para sahabat membenci puasa Rajab. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma. Umar pernah mengumpamakan orang yang sering puasa Rajab seperti dirrah (susu yang melimpah-limpah, lihat Mukhtarush Shihah) Aku berkata, 'Permisalan Umar ini terdapat di dalam Al Mu’jam Al Ausath, karya Thabrani dan di dalamnya ada orang yang bernama Al Hasan bin Jabalah.'" Al Haitsami berkata di dalam Al Majma’ 13/191, ”Aku belum pernah menemukan orang yang menyebutkannya, dan rijal hadits yang lainnya tsiqah.”

Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bida’ hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga, “Abu Utsman Sa’id bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya,” dan beliau berkata, “Ini adalah sanad yang para perawinya disepakati keadilannya.”

Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.

Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Ta’ala: Jika dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya, mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyari’atkan Rasulullah. Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari yang disyari’atkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah, sebagaimana kata Umar.

Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang berpuasa Rajab. Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Alquran membencinya juga. Dan dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf 4/292, dari Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al Ajab, hlm. 65, 66 – Al Misriyyah.

Asy Suyuthi berkata juga: Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya. Beliau berkata, ”Berpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyah.”

Ada pula riwayat dari salaf, bahwa dahulu mereka mengingkari perbuatan orang-orang yang mengistimewakan bulan ini dengan berpuasa. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Kharsyah bin Al Hurr, ia berkata, "Saya menyaksikan Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu memukuli tangan orang-orang di bulan Rajab, sampai mereka meletakkan tangan-tangan mereka di piring-piring makannya (melarang mereka berpuasa), dan Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Makanlah kalian, bulan ini adalah bulan yang dahulu dimuliakan orang-orang jahiliyah.”" [Ada’u ma Wajab (hal. 57 dan 63)]

Juga ketika Abu Bakr Radhiyallahu ’anhu menemui keluarganya dan melihat mereka membeli cangkir-cangkir minum, dan bersiap-siap untuk puasa, ia berkata, “Apa ini!”

Mereka menjawab, “Rajab.”

Abu Bakr Radhiyallahu ’anhu berkata, “Apa kalian ingin menyerupakannya dengan Ramadhan? Lalu ia memecahkan cangkir-cangkir tersebut.” [Majmu’ Fatawa (25/290-291)]

At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bid’ah, hlm. 129 dan Abu Syamah di dalam Al Ba’its, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-131 berkata, ”Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi. Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa ‘Asy Syura. Maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.

Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah menjelaskan atau Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya. Sebagaimana Beliau pernah melakukan puasa ‘Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu, dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab dengan melakukannya secara terus-menerus merupakan suatu perkara yang dibenci.

Antara Ibadah dan Bid'ah di Bulan Rajab

Antara Ibadah dan Bid'ah di Bulan Rajab
Sekarang, kita telah berada dalam bulan Rajab yang dalam suatu hadits dikatakan, “Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)

“Dinamakan Rajab, karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)

Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang paling kuat, dan adapun artinya dia memuliakan dan mengagungkannya karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).

Al Qadhi Abu Ya’la berkata, “Dinamakan bulan haram karena mengandung dua makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-larangan pada bulan ini lebih berat dosanya dibanding pada bulan selainnya, demikian pula ketaatan. Dari Zadul Masir, 3/432.

Menurut pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij, sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345, Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir.”

Itulah pendapat yang dirajihkan oleh Al Alusi di Rauhul Bayan 2/108, Al Qurtubi di Al Jami’ Al Ahkam Al Qur’an 2/351, Ar Razi di dalam tafsirnya 5/142, Ibnul ‘Arabi di Al Ahkam 1/108, Al Jashas di Al Ahkam. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram tetap dan tidak dinasakh.

Tidak ada satu dalil pun yang shahih, yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Rajab. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab, “Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata, “Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya.”

Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya: Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan.”

Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150, “Dan bab shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam mi’raj …, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok.”

Beliau juga berkata, “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.

Meskipun demikian, Rajab memiliki keutamaan; Karena Rajab termasuk bulan haram dan terhormat.

Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan; Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah 9: 36)

[640]. Lihat no. [119]. Maksudnya antara lain ialah : bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.

[641]. Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.

Dzikir khusus di bulan Rajab
Di sisi banyaknya nukilan dari para imam tersebut, tragisnya masih saja ada dari umat islam yang mengistimewakan bulan ini. Mereka melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at yang suci, seperti mengistimewakannya dengan berpuasa, apakah di awalnya atau keseluruhannya.

Dan umumnya, umat islam di tanah air mengistimewakan bulan ini dengan membaca dzikir-dzikir khusus seperti “Istighfar bulan Rajab” yang dibaca setiap pagi dan petang sebanyak 70 kali, sambil mengangkat tangan membaca: “Allahummaghfirlii warhamnii watub ‘alayya” “Ya Allah, ampunilah aku, dan kasihilah aku serta terimalah taubatku.”

Biasanya, dzikir ini dibaca setelah imam salam dari shalat wajib dan diikuti oleh pada jamaah dengan serempak. Dan masih banyak lagi amalan-amalan serupa di bulan Rajab yang tidak ada asal usulnya di dalam syari’at ini.

Semua itu merupakan ajaran baru yang tidak dikenal oleh generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Padahal, merekalah generasi terbaik umat ini, seperti yang terdapat dalam hadits, “Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ’anhu)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Q.S. Asy-Syuura 42: 21)


Shalat Raghaib di bulan Rajab

Begitu juga dengan Shalat Raghaib yang telah banyak diamalkan oleh umat muslim di setiap bulan Rajab. Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12 raka’at, dengan 6 kali salam, dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada Jum’at pertama bulan Rajab. Yang dibaca yakni surat Al-Qadr 3 kali dan Al-Ikhlas 12 kali, setelah membaca Al-Fatihah. Setelah selesai, membaca shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdo’a dengan do’a yang dia kehendaki. Maka, rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits, bahwa ia maudhu’ (palsu).

Lihat kebid’ahannya di Al Inshaf Lima Fi Shalat Ar Raghaib Minal Ikhtilaf, karya Abu Syamah Al Maqdisi. Dia memasukkannya dengan lengkap dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Al Bida’ Wal Hawadits dan Musajalah ‘Ilmiyyah Baina Al Imamaini Al ‘Iz bin Abdul Salam Wa Ibnu Ash Shalah dan Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqim, hlm. 283; Al Madkhal, 1/193; Tabyin ‘Al Ajab Fi Fadhli Rajab, hlm. 47 – Al Misyriyah; Fatawa An Nawawi, hlm. 26; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 212; As Sunan Al Mubtadi’at, hlm. 140; Al Maudhu’at, 2/124; Al Laliu Al Masnu’ah, 2/57; Tanzih Asy Syari’ah, 2/92; Al Majmu’, 4/56; Safar As Sa’adah, hlm. 150 dan Al Amru Bi Al Ittiba’, lembar 15/1.

Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian melupakan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; Maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isya’ sebanyak dua belas raka’at, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya."

Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata, “Hadits ini palsu.”

Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata : “Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bid’ah yang sangat ektrim, yaitu Ali bin Abdullah Jahdham”.

Abu Syamah berkata, "Di antara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh palsu adalah, besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits, terdapat indikasi bahwa hadits ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya’ dengan atamah. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah."

Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan: Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits, “Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat, dan hari Jum’at untuk berpuasa.” [Dikeluarkan Al Bukhari dalam Ash Shahih, 4/232 no. 1985; Muslim dalam Ash Shahih, 2/801 no. 1144; Ahmad dalam Al Musnad, 2/495; At Tirmidzi dalam Al Jami’, 12312 no. 740, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, sebagaimana di dalam Tuhfah Al Asyraf, 10/351; Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/549 no. 1723; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 4/302; At Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al Atsari, 2/78]

Oleh karena itu, shalat Raghaib termasuk bid’ah yang munkar, termasuk bid’ah yang sesat, karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya, para imam telah menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan, kesesatan, kebid’ahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.

Pendapat An Nawawi tersebut juga menyatakan sesat dan bodoh kepada orang yang shalat Raghaib pada malam Jum’at. Baik itu sendirian maupun berjama’ah, dengan alasan ada anjuran yang membolehkannya. Padahal, semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan pendustaan atas nama Rasulullah.

Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhu’ (palsu) dan tidak disyari’atkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhu’ dalam semua keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bid’ah yang sesat, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq di antara mereka.

Ada sebagian orang yang berpendapat, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa dan qiyamul lail pada malamnya. Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah makruh tanzih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengkhususkan hari Jum’at untuk puasa dan qiyamul lail dan meremehkan malam yang lainnya.

Dalam Jami’ Al Ushul, setelah menyebutkan shalat Raghaib beserta tata caranya dan berdo’a setelahnya, dinyatakan: “Hadits ini termasuk yang aku temukan di kitab Razin, dan aku belum pernah menemukannya dalam salah satu kutubus sittah, dan hadits ini dicela di dalamnya.” [Jami’ Al Ushul 6/154 dan dia menisbatkannya ke Razin Al ‘Iraqi dalam Takhrij Ahadits Al Ihya, 1/203, dan dia berkata: maudhu’]

Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dha’if. [Perkataan Ibnu ‘Atsir ini tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mu’tabar menyatakan bid’ah & palsunya shalat raghaib]

Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat bolehnya shalat tersebut. Demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali) dalam Al Ihya dan yang lainnya dari para syaikh dan ulama.

Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah. Apalagi, semua ulama sepakat tentang bid’ahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara tuntas dan jelas oleh ‘Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalil pun yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan, Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.

Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau memberi bantahan tuntas satu per satu. Kemudian membuat kesimpulan secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bid’ah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 4/56.

Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan kabur. Sebab, beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik membolehkannya.

Dan Al ‘Iz telah membuat bantahan yang cukup bagus, bahwa sesungguhnya beliau pernah shalat malam Jum’at mengimami umat manusia, sedangkan manusia tidak tahu kalau itu dilarang. Maka, dia takut jika melarangnya akan dikatakan, “Apakah kamu tidak melakukan shalat itu?” Sehingga, beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap baik oleh syari’at yang suci.

Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah, bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya. Sebagaimana dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits shalat pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab ini ditolak.

Demikian dikatakan Ath Thurthusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 116-117 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 33 darinya pula. Apalagi dalam shalat tersebut terdapat sesuatu yang menambahi Alquran dan Assunnah; Bahkan, sebaliknya banyak dalil-dalil, baik dari Alquran dan Assunnah menyelisihi tata cara shalat tersebut.

Kamis, 24 Mei 2012

Rindu Rasulullah SAW

Rindu Akan Rasulullah SAW

Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun ke-11 H, Bilal merasakan hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dan kenangan hidup yang mendalam bersama Nabi. Tak tahan itu terus mengganggu hari-harinya, ia pun berhijrah ke Syam (Suriah, sekarang). Namun, kenangan dan kerinduannya akan Rasul selalu ada dalam benaknya.

Suatu malam, ia bermimpi. Orang yang dikasihinya hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Rasul bertanya kepadanya. “Kebekuan apakah ini hai Bilal? Bukankah sudah waktunya engkau mengunjungiku?” Maksudnya sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal.

Spontan Bilal terjaga dari tidurnya. Ketakutan dan kesedihan tidak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya.

Al-Hasan dan Al-Husain, cucu Rasulullah, mengetahui hal itu. Mereka mendatangi Bilal. Segera Bilal memeluk dan mencium rindu keduanya. Sejurus kemudian, mereka berkata, “Duhai Bilal, kami ingin sekali mendengarkan lantunan azanmu laiknya engkau azan untuk kakek kami di Masjid ini dulu.” Bilal kemudian mengumandangkan azan, sesuai dengan keinginan kedua cucu Rasul itu.

Maka ketika ia mengumandangkan, “Allahu Akbar”, Kota Madinah gempar. Saat melanjutkan, “Asyhadu alla Ilaha Illallah” kegemparan itu makin menjadi-jadi. Kala meneruskan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, para warga Madinah keluar dari rumahnya seraya bertanya-tanya. “Bukankah Rasulullah telah diutus?” Maksudnya mereka heran dan kaget seolah-olah Rasulullah hidup lagi. Tidak ada hari sepeninggal Rasulullah di Madinah terlihat banyak orang yang menangis baik perempuan maupun laki-laki kecuali hari itu.

Kisah sahabat Bilal ini diriwayatkan—di antaranya—oleh Imam as-Samanhudi dalam Wafa’ul Wafa’ (4/1405) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq/Sejarah Damaskus (7/137). Kisah ini setidaknya memberi lima pelajaran. Pertama, mimpi bertemu Rasulullah adalah hak. “Dan siapa saja yang melihat Rasulullah dalam tidurnya maka dia benar-benar telah melihatnya SAW, karena setan tidak bisa menyerupainya.” (HR Bukhari-Muslim).

Ahli hadis abad ke-21 dari Lebanon, Abdullah Al-Harari (w. 2008) menafsiri bahwa seseorang yang pernah bermimpi bertemu Rasulullah maka insya Allah ia akan meninggal husnul khatimah.

Kedua, ziarah ke pusara Rasulullah merupakan amalan yang baik. Ketiga, menangis dan mencium pusara Rasulullah sebagai ekspresi cinta dan kerinduan adalah hal yang wajar. Rasulullah bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan kelak dengan orang yang ia cintai.” (HR Al-Bukhari).

Keempat, azan hendaknya dikumandangkan dengan suara yang nyaring. Sebagaimana Bilal yang bersuara lantang dan ketika azan naik ke atap Masjid an-Nabawi. Kelima, ziarah kubur dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat …” (HR Al-Hakim).

Semoga kita termasuk orang-orang yang rindu kepada Rasulullah, sebagaimana Bilal rindu kepadanya. Testimoni Umar bin Al-Khattab, “Abu Bakar adalah sayyiduna (pemimpin kita) dan yang telah memerdekakan sayyidana, (Bilal).” Wallahu A’lam.