Powered By Blogger

Kamis, 10 November 2011

Esensi Syukur

Esensi Syukur

Alkisah tersebutlah seorang Raja yang kaya dan perkasa namun pelit. Ia hobi berburu hewan. Ketika datang bulan purnama, dia keluar istana dilengkapi senjata tombaknya dengan mengendarai untuk berburu. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah kijang. Dia merasa tertantang dan adrenalinnya naik ketika mengejar kijang yang larinya begitu cepat dan lincah. Namun, Raja itu masih juga belum berhasil, sehingga membuat tambah penasaran. 

Saking semangatnya dia tidak merasa ketika kijang itu telah keluar jauh dari lingkungan istana, dan bahkan telah masuk ke padang pasir nan luas dan tandus. Berkat semangat dan kerja kerasnya akhirnya raja berhasil menangkap kijang dengan lemparan tombaknya. Setelah berhasil dia berhenti dan turun dari kudanya. Dia kaget bahwa perjalanannya telah jauh dari istana dan kini tersesat di padang pasir dalam keadaan capek, lapar dan haus yang tak terkira. Tak seorang pun penduduk di sana.

Dalam situasi demikian, maka satu-satunya harapan adalah menunggu musafir lewat untuk minta bantuan makan dan minum agar tenaganya pulih kembali lalu pulang ke istana. Demikianlah, setelah menunggu sehari semalam penuh dalam kondisi badan yang amat letih, lapar dan haus lewatlah seorang musafir yang ditunggu-tunggu. “Hai kawan, sayang senang sekali Anda datang. Kalau tidak, pasti saya akan menemui ajal di padang pasir ini akibat kehausan dan mayatku akan jadi pesta anjing-anjing liar,” katanya lirih. "Kalau boleh tahu, mengapa saudara di sini, sudah berapa lama, dan apa yang bisa aku bantu?" Tanya musafir. “Saya ini seorang Raja yang tengah berburu kijang lalu nyasar ke padang pasir. Semua bekalku habis, bahkan kuda yang saya kendarai juga pergi entah kemana ketika saya tertidur,” jawabnya.

Mengetahui bahwa yang tersesat adalah seorang raja, maka musafir tadi berubah pikirannya yang semula mau memberi minum secara gratis lalu terpikir untuk ditukarkan dengan uang. “Saya membawa makan-minum tetapi terbatas, sementara perjalanan saya masih jauh. Bagaimana kalau sebagian bekal saya ditukar dengan uang?" tanya musafir. Raja menjawab, “Kamu itu sungguh keterlaluan. Sudah tahu bahwa saya ini Raja, mestinya menghormati, tetapi  malah mencari keuntungan di tengah penderitaan orang lain?”.

Mendengar jawaban itu bukannya musafir menjadi kasihan, melainkan malah tersinggung. “Ya sudah kalau demikian, selamat tinggal, saya mau meneruskan perjalanan, semoga ada musafir lewat yang sudi menolongmu. Hanya saja harap tahu, belum tentu sebulan sekali ada musafir lewat daerah terpencil ini.” Mendengar jawaban musafir yang bernada kesal itu Raja pun hatinya melunak dan mengiba minta dikasihani dengan suara yang sudah sangat lemah karena kehausan. Di benaknya muncul bayangan yang mengerikan andaikan tidak mendapat pertolongan air, maka dia pasti akan mati konyol di tengah padang pasir.

Maka terjadilah dialog dan tawar-menawar harga antara musafir dan Raja yang berujung pada tawaran yang sungguh di luar dugaan Raja. “Karena engkau seorang Raja yang pasti kaya-raya dan memiliki banyak istana, engkau boleh mengambil separuh bekal makanan dan airku dengan imbalan istana. Kalau setuju, serahkan kunci istanamu, kalau tidak saya akan segera pergi meneruskan perjalanan.”

Raja kesal, namun tidak berdaya. Setelah tercenung cukup lama dengan kesehatannya semakin memburuk, akhirnya Raja setuju. Tak ada pilihan lain kecuali sebuah istananya mesti dilepas ditukar dengan air minum. 

Singkat cerita, setelah minum dan badannya segar kembali Raja pulang ke istana dengan jalan kaki berhari-hari baru sampai. Sesampai di rumah, sambil istirahat menikmati makan minum yang terhidang, dia berpikir, sebuah istanaku yang megah telah hilang hanya ditukar dengan beberapa botol air minum. "Selama ini saya tidak pernah menyadari, betapa nikmat dan mahalnya kenikmatan bisa minum secara leluasa yang harganya senilai istana," pikirnya.

Belum pulih benar kesehatannya, Raja itu terserang sakit yang membuatnya tidak bisa buang air kecil alias kencing. Mungkin akibat kelelahan fisiknya. Maka dipangillah tabib istana, namun hasilnya sia-sia. Tetap saja Raja tidak bisa buang air kecil. Akhirnya dibuatlah sayembara terbuka, siapa yang bisa mengobati sakit Raja akan memperoleh hadiah yang banyak. Maka datanglah silih berganti tabib yang berusaha mengobati, namun tetap juga belum berhasil. Seluruh aktivitas Raja terhenti gara-gara tidak bisa buang air kecil.  

Terakhir, datanglah seorang tabib yang penampilannya tidak meyakinkan, lalu menantang Raja yang kaya namun pelit itu. “Tuan Raja, saya akan berusaha mengobati penyakit tuan agar bisa sehat, perut tidak kembung serta lancar buang air kecil. Namun, ongkosnya mahal. Kalau sembuh, imbalannya sebuah istana, dan kalau gagal silahkan saya dihukum mati,” katanya. Karena tak lagi tahan menanggung sakit akibat tidak bisa kencing, tawaran tabib itu disepakati mesti dengan hati dongkol. Singkat cerita, ternyata Raja sembuh dan bisa buang air dengan lega dan lancar, namun dengan ongkos sebuah istananya berpindah tangan.

Lagi-lagi raja itu merenung, betapa nikmat dan mahalnya bisa minum dan buang air kecil secara leluasa yang nilainya seharga dua istana. “Gara-gara kehausan saya kehilangan satu istana, dan kini gara-gara tidak bisa buang air kecil hilang lagi istanaku yang lain,” keluhnya. "Mengapa selama ini saya tidak pernah bersyukur?," bisik Raja introspeksi. "Saya bisa makan, minum, dan tidur dengan nikmatnya tetapi tidak pernah saya hargai, bahkan saya selalu saja mengejar harta dan sangat bangga pada istanaku. Pada hal hanya dalam waktu sekejap istanaku hilang hanya karena ingin minum dan buang air kecil."

Sejak itu raja berubah sikapnya. Dijalaninya hidup dengan penuh rasa syukur dan senang berderma, sehingga rakyatnya yang semula benci berubah menjadi simpati. Ketika memandang makanan dan minuman yang terhidang, Raja berbisik pada diri sendiri, “Air minum ini nilainya sama dengan istanaku.” Ketika hendak masuk ke kamar kecil, dia membayangkan masuk istana. Kesehatan itu mahkota kehidupan yang lebih berharga ketimbang mahkota raja, tetapi seseorang baru menyadari memiliki mahkota yang demikian berharga ketika sakit. Haruskah sakit lebih dahulu untuk bisa mensyukuri anugerah kesehatan? Rayakanlah kesehatan setiap saat dengan berbuat kebajikan dan berbagi kebahagiaan pada sesama.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar