Powered By Blogger

Kamis, 09 Agustus 2012


Akankah tubuh meleleh seperti waktu?”

ia semula mengira bisa menggembalakan kalimat seperti kawanan ternak; kini, aksara seperti banjir bandang yang susah dikendalikan; seluruh kota terlanda, dan ia kebingungan mencari tempat suaka; ia tak sabar menunggu, kapan kapal tua itu segera tiba.

suatu pagi, ia bangun terperanjat — musim semi telah tiba; sekujur bukit berubah warna; waktu menguap menjadi embun, menetes pada pepucuk bakung; ia segera berlari dan berlari, mencari perempuan yang ia pahat kemaren pagi; saat mendaki bukit, ia mengaduh?rasa nyeri menusuk-nusuk; ia merasa, ada luka pada tulang rusuk.

kisah-kisah besar telah hancur berantakan; kini, para penyair hanya menulis tentang rasa kangen, tembikar yang mudah retak, dan embun pagi.
setelah banjir reda, orang-orang bekerja keras kembali, mengeja aksara, menamai kembali benda-benda, menyusun kisah besar yang tak pernah bisa terlaksana.
saat sabtu tiba, dan tuhan sedang rehat sejenak, terbetik kabar tentang pembunuhan di sebuah kota; “terkutuklah engkau kabil, engkau akan sengsara, dilanda sesal yang kekal”.
saat kalimat telah tumbuh lebat, terhampar di seluruh bukit ararat, ia bekerja keras tiap hari, mengenali serat-serat daun, meneliti urat-urat pohon, menelisik tekstur bunga, kadang ia harus menyesap nektar, atau mengerat akar; ia ingin menulis ulasan tentang kitab kejadian.
ia melihat seluruh tamasya di bukit itu seperti tenun kata-kata; setiap pagi, ia tergoda untuk menganyam aksara, hendak mencipta kembali bebukit baru.
seharian ia duduk di pinggir danau, tersesat dalam labirin kalimat.
tuhan menatap kebun itu dengan cermin terang, tembus pandang.
walau kalimat melanda seluruh kota, tak seorang pun menulis gitanyali.
pagi yang kuning hinggap di bukit, girang-gemirang seperti burung gereja; ia lalu menyanyikan pujian bagi daun-daun ilalang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar