Powered By Blogger

Kamis, 09 Agustus 2012

Musyawarah Para Burung



Saat matahari tegak lurus dengan cakrawala, tubuhnya luruh jadi debu, dihembus angin ke seluruh penjuru; saat esok pagi tiba, ia telah menjadi burung bagi perempuan yang kesepian di kastil tua.

saat melihat peta, nafsunya kembali membara, ingin mengarung laut, mencecap gairah yang belum tuntas terlaksana.

ia menyanyi, hingga sunyi, hingga sepi, hingga lampus menjadi lotus.

musim semi menjelang, dan ia terkembang memenuh ruang?ia tak cemas pada debu, ia tak susut pada waktu, ia melumut pada batu.

penyair hanya dapat mendendang tentang daun, bunga, dan cemara yang tak pernah luruh; ia tak bisa engkau minta menyusun kembali dunia.

ia asyik bermain-main dengan kalimat, seperti kanak-kanak yang lupa waktu; ia tabah memoles kata seperti para pengrajin tembikar; ia menderita karena membawa beban makna yang begitu sukar.

ia menjadi hijau pada daun, ia menjadi putih pada awan, ia menjadi hitam pada gelap, ia menjadi sunyi pada waktu, ia menjadi kicau pada burung, ia menjadi makna pada kalimat, ia menjadi geram pada kesumat, ia menjadi nafas pada gairah yang laknat.

begitu memulai kalimat pertama dalam kitab suci, ia tak bisa lagi berhenti; o, rasul dan nabi, kalian telah mengawali penderitaan ini.

ia mendukung kalimat ke puncak bukit, lalu rontok kembali — tetapi ia tak pernah mau berhenti; betapa mencemaskan nasib para penafsir kitab suci.

menara telah memanggilmu, istirahatlah sejenak, kawanku; rebahkan punggungmu pada angin; kendarailah waktu, dan terbanglah ke pucuk pohon cedar itu.

pelukis bermain dengan warna; penyair bercengkerma dengan kata; sementara anak-anak tak pernah berhenti takjub pada benda-benda.

setelah genap setahun berkelana, ia rindu pada debu.

atas perintah sulaiman, suatu malam ia menyelinap ke kota seba, hendak mencuri sumsum kata.

seorang bijak tua lewat dusun itu, dan ia bertanya, “siapakah ia yang selalu engkau sebut dalam syairmu?”

ia adalah burung yang selalu bangun pada semburat matahari pagi, berkicau pada pucuk kenari, terbang jauh ke utara, melintasi salju siberia, dan tak pernah kembali — ia adalah tamu terhormat pada perjamuan si attar. (Fariduddin Attar, Musyawarah Para Burung.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar