Powered By Blogger

Sabtu, 08 Oktober 2011

Bekasi Doeloe

 Bekasi Doeloe


Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan padi yang mulai menguning di tiup angin yang bersemilir diantara dahan dahan ranting yang jatuh. Wangi embun masih ku rasakan ketika aku terjaga dalam paginya sang mentari.  Kampung yang damai, dimana pohon pohon masih menjulang tinggi, daun daun kering berserakan diterpa angin timur yang sejuk menyentuh kulit. Kadangkala aku merindukan kedamaian ini, aku bagai dibawa pada memori masa depan dan membuat aku ingin menjadikan kampung ini kampung surga.  Kampung surga, mungkin itu cita cita ku saat ini. Walau banyak yang ku dengar tentang sejarah kampungku, aku masih ingat ketika ayah ku bercerita tentang sejarah masa silam dimana ketika itu kampungku menjadi persinggahan tentara Mataram yang melakukan penyerangan ke Batavia, saat itu ayahku bercerita tentang bagaimana gagahnya tentara Mataram saat sampai di dermaga Marunda di bawah pimpinan Tumenggung Baereksa dari Kendal, ayahku berujar “Dulu Desa kita menjadi tempat penyusunan taktik, dan strategi dalam penyerangan Batavia”.  Tapi sayang penyerangan pasukan Mataram ke Batavia tidak menghasilkan apa apa alias gagal, meski sempat membuat pasukan VOC keteteran tapi  taktik yang di usung oleh pasukan VOC untuk membakar lumbung padi persediaan pasukan Mataram berhasil dengan efektif, hingga membuat pasukan Mataram mundur dan bercerai berai. Dalam kekalahannya, pasukan Mataram tidak berani untuk kembali ke Mataram, karena raja Mataram, Sultan Agung telah mengancam para prajuritnya untuk tidak kembali bila kalah dimedan perang, “Hukuman mereka yang kembali dari medan perang yang kalah ialah hukuman mati”, begitulah ujar sang Sultan Agung.
Selang satu abad berlalu setelah penyerangan pasukan Mataram, kampungku pun di guncang dengan kejadian pemberontakan yang dilakukan orang orang keturunan etnis China. Pemberontakan itu sebernarnya berawal dari kota Batavia dan kemudian membawa dampak kekampungku juga, peristiwa pemberontakan itu kata ayahku dilatar belakangi oleh kesenjangan keuangan yang dialami VOC di Batavia, hingga VOC membuat aturan baru yang menyatakan bahwa pedagang dan saudagar China harus memiliki surat lisensi dan harus membayar lisensi itu sebesar 2 Ringgit. Bagi siapa saja yang tidak mempunyai lisensi tersebut harta dan dagangannya akan disita oleh VOC, sudah barang tentu dengan kebijakan itu membuat para pedagang China kebakaran jenggot hingga membuat kemarahan dan berakhir dengan pemberontakan di tahun 1740. Suasana Batavia semakin kacau setelah kebijakan itu di laksanakan, rakyat marah khususnya para pedagang dan saudagar China hingga membuat suasana Batavia semakin kacau. Kekerasan menjadi jadi, penangkapan besar besaran etnis China di Tanjung Priok, bermunculannya gerombolan gerombolan China yang menjadi perampok dadakan, hingga peristiwa penyerangan pintu gerbang Batavia seperti Meester Cornelis, Tanggerang, dan Bekasi . peristiwa itu meninggalkan banyak korban entah itu dari pihak China maupun dari pihak VOC.
Setelah serentetan peristiwa peristiwa berdarah yang berimbas sampai wilayah Bekasi, kampungku pun kembali damai, para petani kembali membajak sawah, para pedangang dapat berjualan dengan aman, para anak anakpun bisa bermain dengan gembira, namun disisi lain ketika pemberontakan sudah tidak ada malah muncul tuan tanah tuan tanah baru yang memonopoli hasil dari para petani yang menyusahkan para petani seperti ayahku, hmapir sebagian besar tanah yang ada di Bekasi di kuasai oleh para tuan tuan tanah, ditambah saat itu VOC membuat kebijakan politik etnis, yang terdiri dari golongan Eropa, China, Priyai dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar