Powered By Blogger

Minggu, 02 Oktober 2011

Jalan Cinta Zubair Murikh

Jalan Cinta Zubair Murikh
Muammar Khadafi

Tulisan Innayatullah Hasyim, dalam facebooknya sempat mengagetkan saya, langsung ataupun  tidak langsung ia mengungkapkan luka lama dan kesedihan yang dahulu sempat hilang dari ingatan aku, hampir empat tahun saya meninggalkan memori tentang almarhum pamanda tercinta walau setiap hari Jumat saya sempatkan untuk ziarah kubur kemakam beliau yang bersebelahan dengan makam ayahanda, walau hanya membacakan surat Yasin. Hampir empat tahun pamanda meninggalkan kan saya, entah berapa jumlah nasehat dan wejangan yang beliau berikan kepada ku hingga membuat sedikit banyak membuat karakterku hampir sama dengan beliau. Beliaulah yang men-sematkan nama Muammar Khadafi dalam perjalanan hidupku, berharap suatu ketika saya menjadi sekarakter tokoh Libiya yang ia idolakan sebelum beliau berangkat ketanah Pakistan itu untuk belajar. Beliau juga yang memberikan bimbingan bila mana ada kesusahan pada mata kuliah saya ketika saya menemui kesulitan dalam matakuliah, khususnya bahasa Inggris karena beliau sempat menjadi mudarisku dipesantren
Pamanda tercinta, Zubair Murikh. Perjalanan hidupmu begitu penuh liku seperti yang pernah engkau tulis dalam cerita cerita pendekmu yang sempat aku baca. Dari ‘Merpati yang Kesepian’ sampai kumpulan surat untuk Erna, bahkan dalam prakata yang ditulis dalam kumpulan cerpen itu sahabtanya (H.Mahbubi Zahroin).

“Saya kenal Beliau (Ahmad Zubair murihk) sejak masih duduk dibangku Madrsah Tsanawiyah. Waktu itu ia menamatkan pendidikan SLTA-nya lalu melanjutkan ke Pesantren Tinggi Attaqwa (PTA). Semua saya tidak begitu dekat dengan dengan laki laki yang sekarang menjabat Direktur Radioa Ataqwa ini. Perbedaan usia yang cukup jauh, serta senioritas yang dimilikinya, menjadikan persahabatan kami terbatas pada urusan urusan yang bersifat formal saja, seperti urusan konsulat, ke Pramukaan, atau kursus bahasa Inggris di malam hari. Selebihnya, tidak ada yang bisa kami lakukan meskipun kami tinggal satu kampung.

 Baru setelah saya duduk dibangku Madrasah Aliyah saya mulai akrab dengannya. Secara kebetulan kami punya hobi yang sama, yaitu sama sama menyukai musik. Pada waktu itu, oleh teman teman ia dikenal sebagai seniman musik pondok. Kapan dan di mana saja saya melihatnya, ia seperti tidak pernah lepas dari gitarnya. Ia juga bisa membuat lagu, beberapa lagu yang pernah dibuatnya masih dinyanyikan sampai sekarang.

Darinya kemudian saya belajar musik. Ia mengajari saya grip-grip dasar yang umumnya pas untuk lagu lagu minor. Setelah agak mahir, ia menyuruh saya bergaul dengan seniman seniman musik pondok yang lain lain seperti Irfan Mas’ud dal Ali Mursyid. Hal itu dimaksud untuk mengembangkan ilmu musik yang saya dapat.

Hanya dalam waktu yang singkat kemampuan musik saya sudah mengalami kemajuan yang pesat. Untuk memainkan lagu lagu baru saya tidak lagi perlu minta diajari lagi, tetapi mencari rip-gripnya sendiri. Pada akhirnya memang saya harus mengatakan bahwa kemampuan musik saya lebih baik darinya. Tapi ia punya kelebihan yang sampai saat ini sulit saya kalahkan- ia piawai dalam hal menyanyikan lagu lagu sedih dan menyayat hati.

Dari pergaulan itu pula saya tahu ia memiliki bakat penyair yang terpendam. Ia pandai membuat puisi, cerpen, nakah drama dan tulisan tulisan ilmiah. Saya pernah membaca tulisan tulisannya tentang perang Afganistan dimajalah Panjimas, saya juga pernah mebaca catatan tercecer, kumpulan tulisan lepas yang ditinggalkannya dikamar cemara. Karena itu pula tidak aneh kalau banyak teman teman yang minta dibuatkan teks pidato untuk musabaqoh atau perpisahan.

Saya juga mengenalnya sebagai orang pergerakan . ketika tragedi berdarah Tanjung Priok meletus tahun 1984, ia termasuk salah seorang saksi hidup. Bersama teman teman Attaqwa ia menyaksikan bagaimana militer menembakan senapannya secara membabi-buta kearah masa yang tak berdosa. Ia pula yang menyebarluaskan kronologi jalanya pembantaian ke lembaga lembaga independent karena ia menyimpan bukti rekamannya. Tidak kurang dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Dewan Da’wah Islamiyah (DDI), membuat pernyataan politik berdasarkan laporannya.

Di Pakistan (1989-1994) ia melanjutkan pengabdiannya sebagai orang pergerakan. Ia pernah bergabung dengan Ittihad al-Islamy, salah satu faksi perlawanan Mujahiddin Afganistan. Sementara di kampus, ia aktif dalam berbagai mukhoyyam yang diadakan oleh Ittihad al Thallab al Islamy, sebuah organisasi pelajar Islam internasional yang underbow ke Ikhwanul Muslmin.

Sekebali ketanah air, pengabdiannya semakin menjadi jadi. Ketika bola reformasi bergulir pada tahun 1998, yang memberi peluang bagi munculnya partai partai, ia bergabung dengan Partai Keadilan, partai kecil yang berada di urutan ke 6 dalam perolehan suara pada pemilu 1999. kelihatan sekali bahwa ia bukan orang yang gila jabatan, walau sudah tahu Partai Keadilan akan memperoleh suara yang sangat tipis, ia tetap berjuang mati matian

Kesungguhan dalam menegakkan perjuangan juga ditunjukkannya dalam aksi aksi unjuk rasa menggoyang kepemimpinan Gus Dur. Hampir di setiap acara unjuk rasa di Jakarta ia hadir disela sela waktu mengajarnya. Kadang ia mewakili rakyat biasa, kadang berbaur dengan kalangan mahasiswa bersama BEM seluruh Indonesia. Tak jarang ia membolos mengajar sebagai guru MTs demi menyalurkan aspirasinya.

Jika melihat pengalamannya yang serba unik, rasanya saya seperti berteman dengan seorang yang bertangan dingin. Ia tidak mengeluh dengan kesibukannya yang beragam. Tapi , dibalik semuai itu ia adalah orang yang tidak pernah sukses dalam hal percintaan. Ia adalah laki laki yang kesepian. Saya tahu karena saya cukup lama bergaul dengannya. Sejak dari tanah air, di Pakistan, terus di tanah air lagi. Hubungan dengan orang orang yang dicintainya tidak pernah bertahan lama, selalu saja putus ditengah jalan. Ia memang dikenal pandai bergaul, tapi ia tidak pandai dalam mengurus cinta. Sebut saja Lilis, Sahati, Sucianti, dan sejumlah nama yang pernah singgah di hatinya, meninggalkanya begitu saja.

Terakhir ia datang menemui saya sekitar awal bulan Juni dengan wajah yang cerah. Kepada saya dan istri ia mengatakan kalau sudah punya pacar, dan mohon restu kalau sewaktu waktu ia mampir bersama pacarnya. Saya sempat tersenyum bangga dibuatnya, berarti selama ini ia sedang mencari pasangan hidup yang pantas mendampinginya. Welcome, dan saya katakan padanya bahwa rumah saya terbuka untuknya.

Hingga waktu yang dijanjikan ia tidak datang datang juga kerumah saya. Barangkali ia sedang sibuk, dan orang seperti dirinya memang sukar menolak jika diberikan kepercayaan. Ia baru datang dua hari yang lalu. Jika sebelumnya ia datang dengan wajah yang cerah, kali ini ia datang dengan wajah murung. Tanpa basa basi ia langsung minta ditemani kondangan ke Buni Bakti. Saya sempat menolak karena harus pergi ke Salemba, tetapi ia memohon agar saya menemaninya sekali itu saja. Demi teman, akhirnya saya mengalah.

Di perjalanan saya masih belum bisa membaca apa yang tengah berkecambuk di benaknya. Ia seperti menahan untuk bicara, dan hanya sesekali saja ia berkomentar, itupun tentang api sumur minyak Pertamina di kampung Tambun yang sedang berkobar.

Misteri perasaannya mulai sedikit terbuka ketika saya melihat bajunya terkena tinta spidol. Rupanya ia lupa menutup  spidol yang dipakai menulis amplop, sehingga jadilah baju kesayangannya itu ternoda dengan tinta spidol. Sebelumnya ia tidak pernah melakukan kesahan seperti itu. Ia termasuk orang yang teliti dan tekun. Tapi sekarang ia melakukannya, dan saya yakin beban pikirannya yang teramat berat membuatnya lupa menutup spidol. Ia memang mengakusedang stress berat, ia sedang punya masalah dengan pacarnya. Berat, Lay, ujarnya. Saya sudah tiga kali berendam seharian tapi pikiran masih mumet ajah.

Kasihan sekali dia. Nasib baik belum juga berpihak kepadanya. Ia selalu menghadapi masalah dengan makhluk yang bernama perempuan. Kelihatan benar dari wajahnya yang murung bahwa masalah yang dihadapinya diluar kesanggupan daya tampung pikirnya.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar