Powered By Blogger

Minggu, 09 Oktober 2011

Harapan Ummat itu telah Lahir


Harapan Ummat itu Telah Lahir

Senja malam sudah mulai tua, tapi langit masih saja diselimuti mendung yang tak berkesudahan, cuaca tidak menentu, panas tidak hujan juga tidak. Saat serangkain kejadian dan peristiwa mewarnai perjalanan kehidupan anak manusia, Bekasi sebagai kampung penyanggah kota Batavia terlihat kepentingan pemerintahan VOC di batas wilayah antara Jawa Barat dan Kerisidenan Batavia, khusunya Meester Cornelis atau yang lebih di kenal dengan Jati Negara. Setelah peristiwa pemberangusan dan penyapu bersihan para pemberontak di kerisidenan Batavia yang sampai ke wilayah Bekasi, membuat kondisi kampung Ujungmalang yang terletak dipojok wilayah Bekasi menjadi sedikit aman dan tentram, walau kadang kala masih ada gesekan gesekan antara para tuan tanah dan petani penggarap yang bersitegang tentang pembagian hasil panen bersama.
Malam itu Mak’ Halimah terlihat sangat terburu buru setelah ia di beritahu bahwa dikampung sebelah ada ingin  melahirkan, hatinya gelisah tidak seperti kelahiran kelahiran lainnya yang ia bantu, maklum saja ia adalah satu satunya dukun beranak yang dimiliki kampung Ujungmalang dan kampung Asem. Tak biasanya memang, ketika ia dikabari bahwa yang akan melahirkan adalah Maimunah binti Tarbin hatinya langsung berdebar debar kencang, raut wajahnya yang menua sekaan mengatakan bahwa kelahiran ini adalah kelahiran yang istimewa, bukan seperti kelahiran bayi lainnya yang pernah ia tolong, hatinya terus berdebar, sesekali itu pula ia mengucap kalimat ‘Toyyibah’ seperti kalimat Astaghfirullah yang jamak ia ucapkan ketika hatinya di singgahi ketidak tenangan. Setelah mendapat kabar tentang siapa yanga kan ia tolong, ia langsung bergegas bersiap untuk berangkat, maklum saja sajrak antara kampung Asem dan kampung Ujungmalang lumayan jauh apalagi bila ditempuh dengan jalan kaki, pasti akan melewati tanggul, galengan sawah yang memisahkan antara keduakampung tersebut. Gelapnya malam tidak menyurutkan langkah Mak Halimah untuk beranjak ke kampung Ujungmalang, dengan derap langkahnya yang mulai menua dan hanya ditemani  cucu laki lakinya ia menyusuri jalan sawah yang becek  ditimpa hujan semalam dengan diterangi sinar rembulan dan cahaya obor yang ia bawa.
Gelapnya malam ia susuri bersama cucu laki lakinya, mulutnya pun tak henti hentinya mengucapkan Istighfar seraya memohon perlindungan dari sang maha Kuasa.  Beberapa kali ia terlihat terpeleset hingga kaki tua jatuh kedasar sawah yang mulai ditandur, mungkin karena penerangan cahaya yang kurang yang membuat kaki tuanya terpeleset.  Menjadi dukun beranak mungkin sudah menjadi suratan takdir Mak Halimah, ia generasi  kedua dari keluarganya yang mewarisi kemampuan menolong orang yang hendak melahirkan.  Seperti halnya kehidupan yang tidak dapat di ketahuai ujung pangkalnya, begitu juga dengan takdir, takdir baginya seperti ‘Pemerkosaan’, bila tak sanggup melawan maka berupayalah untuk menikmantinya. 
Sesekali ia menyusuh cucu laki lakinya itu untuk menyuluhi tapak jalannya, mungkin karena keseringan ia terpeleset dari ‘galengan’ sawah itu.
“Amad, obornya di arahain kejalan galengan”, Mak Halimah yang sambil memegang pundak cucunya itu.  Cucu Mak Halimah berupaya untuk menuruti apa kata Neneknya itu, sambil berjalan pelan ia berupaya memegang tangan tua sang nenek. 
Cukup lama Mak Halimah dan Amad cucunya bergelut dengan lumpur sawah dalam perjalanan menuju kampung Ujungmalang, setelah ia berjibaku dengan gelapnya malam dan licinnya jalan sawah yang berlumpur sampailah keduanya di rumah Maimunah binti Tarbin. Setelah Mak Halimah mencuci kakinya yang kotor berlumpur sawah, ia dengan segera menghampiri Maimunah yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang besi.  Dengan suara yang tersengal sengal Maimunah mengatur nafasnya, walau ini kelahiran yang ke empat baginya tapi ia masih saja gugup ketika ia mulai mengatur nafas. Dengan sigap Mak Halimah memberikan arahan pada Maimunah.
“Ayo atur  nafas, tarik nafas-lepas, narik lepas”, begitulah intruksi Mak Halimah pada Maimunah. Setelah berjuang dengan sekuat tenaga, akhirnya Maimunah melahirkan anak ke empatnya yang berjenis kelamin laki laki. Setelah Mak Halimah menyelesaikan tugasnya, memandikan dan memotong tali pusat si Bayi, setelah selesai  semua tak lupa Mak Halimah menyarankan agar si bayyi yang baru lahir itu di Azankan dan di Iqomatkan ditelinganya.
Ta henti hentinya Anwar bin Layu tersenyum melihat anak ke empatnya itu, setelah meng Azani dan meng Qomati anaknya, terlihat bulir bulir air mata terlihat jatuh dari pelupuk matanya yang mulai dimakan waktu, menua.  Wajah tua dengan guratan guratan diwajahnya menyiratkan harapan yang besar akan anak ke empatnya itu, “Semoga dengan kelahiran anak ke empat ini membawa berkah bagi keluarga khusunya dan bagi ummat Umumnya”, hati Anwar bin Layu menyiratkan harapan pada anak ke empatnya itu.
Setelah harapan harapan atas anak yang ke empatnya ditanan dalam hatinya, Anwar bin Layu pun selanjutnya memikirkan nama apa yang cocok disematkan pada anaknya itu, nama adalah lambang doa begitulah yang ia percayai dan yakini, dengan nama yang baik mudah mudahan akan berpengaruh baik untuk anaknya di hari depan. Anwar bin Layyu berpikir keras, pikirannya jauh menerawang kemasa silam, dimana kejayaan Islam begitu bersinar di zaman Rasulullah saw, dari beberapa nama yang ia pikirkan akhirnya ia memutuskan memberi nama anaknya dengan nama Noer Alie. Noer adalah cahaya secara terminologi arab, mudah mudahan kelak ketika anaknya besar dan menjadi dewasa anaknya menjadi cahaya bagi ummat dan masyarakat, sedangkan nama Alie dia  ambil dari nama sahabat nabi Alie bin Abi thalib, yang terkenal dengan ‘Babul Ilmun’ pintunya ilmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar