Powered By Blogger

Kamis, 20 Oktober 2011

Tanjung Pakis

Obrolan Warung Kopi Tanjung Pakis
Oleh:
Muammar Kahadafi

Setelah hampir 2 jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di desa terpencil ini, Tanjung Pakis. Rasa rasanya hampir 13 tahun lebih aku tak lagi ke desa terpencil ini. Dahulu pertama kali aku kemari, desa ini masih diselimuti belantara pohon pakis , mungkin karena itulah dinamakan desa Tanjung Pakis.

Pertama kali aku datang, pada saat itu aku duduk dibangku Tsanawiyah pesantren, dalam acara napak tilas KH Noer Alie dalam perjalanan perjuangannya, akhirnya aku dengan teman teman keperamukaan mengadakan camping di desa terpencil ini.

Setelah 13 tahun berlalu, tempat ini telah sangat berubah. Dari belantara pohon pakis hingga pohon pohon itu kini telah ditebangi, hanya beberapa pohon pakis yang tersisa.

Aku masih saja termangu di warung kopi ini setelah menempuh perjalan yang sangat melelahkan, sesekali aku mendengar obrolan masyarakat sekitar tentang cerita air mata dan kesedihan seorang remaja yang tragis.
Di desa ini dulu, pernah hidup seorang pemuda bernama Bidin. Seorang yang bernasib malang. Menurut cerita dari mulut ke mulut, jalan hidupnya tidak seindah apa yang dialami teman teman sebayanya, yang dalam keluguan dan kesederhanaannya mereka masih bisa menjalani hidup sebagai mestinya.

Sebetulnya ia pemuda yang baik dan rajin. Sebagai anak nelayan ia biasa melakukan pekerjaan yang sebetulnya hanya patut dilakukan orang dewasa. Malam hari pergi mencari ikan dan siangnya membetulkan jala yang kadang kala robek tersangkut karang. Ia adalah pemuda teladan dalam hal kesungguhan bekerja. Kecuali pada waktu waktu tertentu yang tidak memungkinkannya pergi untuk melaut.

Namun nasibnya berubah drastis setelah ia gagal menikahi seorang gadis. Ia menjadi pemurung dan tidak begairah. Perahu dan jala ia tingkan begitu saja. Rasa kecewa rupanya membuat dirinya putus asa. Kerjanya setiap hari hanya melamun. Siang mengurung diri di rumah, malam bergadang sendirian di tepi pantai.
Beberapa tahun kemudian Bidin meninggal dalam keadaan yang sangat mengerikan. Tubuhnya tercabik cabik dimakan ikan hiu. Dari cerita yang saya dengar, banyak penduduk Tanjung Pakis yang tak  tahan dan menitikkan air mata tatkala mendengar kematian Bidin yang tragis seperti itu. Terlebih mereka tahu penderitaaan batin Bidin sejak awal, mereka merasa sangat bedosa atas kematiannya yang tak wajar. Mereka pula yang kemudian menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Bidin meninggal dalam penderitaan batin akibat kegagalan perkawinannya dengan seorang gadis bernama Alfiah.

Kampung Tanjung Pakis seperti sebuah sajak abadi yang sengaja ditulis untuk diingat dan dikenang. Walaupun letaknya terpencil dan jauh dari keramaian ia banyak menyimpan keindahan pemandangan. Ada pantai yang berpasir lembut. Ada tanah lapang tempat dimana anak anak bisa bermain dengan sangat leluasa. Ada pula hutan bakau yang diselimuti pohon pakis yang rindang. Keindahan bertambah semarak bila ada acara hiburan gratis. Biasanya penduduk dihibur oleh pangung orkes gambus yang merupakan tontonan kegemaran turun temurun. Setahun sekali mereka keriyaan menghidangkan hiburan gratis bagi penduduk Tanjung Pakis yang haus akan hiburan setelah penat melaut sepanjang hari.

                                                                 *      *        *

Suatu malam suasana kampung Tanjung Pakis kembali disemarakkan oleh tontonan gratis setelah beberapa hari sepi. Kali ini orkes gambus Al Fatah mendapat kesempatan menghibur pengunjung pesta perkawinan putri dari kepada desa Tanjung Pakis. Penduduk pun tidak menyia nyiakan hiburan gratis ini.
Di tempat acara, ada yang duduk diatas tikar yang khusus mereka bawa dari rumah, mereka duduk bersama anggota keluarganya, ada yang jongkok mengitari bandar judi putar dan dadu koprok. Walau dandanan mereka biasa biasa saja tapi mereka kelihatan menawan pada saat melihat orkes gambus, tak terlihat bau amis ala nelayan pesisir.

Di acara gambus itulah Bidin dan temannya Najir bekenalan dengan Alfiah. Pada malam itu, Bidin terkesima dengan kemolekkan Alfiah.
“Naz, kau lihat gadis itu, yang agak tinggi dan alisnya agak tebal itu, namanya Hasanah. Satunya lagi Alfiah. Mereka kembang desa disini, Naz.”
“Menurutku mereka biasa biasa ajah, mana lebih cantik dengan yang itu” Nazir sesekali menimpali dengan agak acuh sembari menunjuk kearah gadis yang sedang bernyanyi diatas panggung.
Bidin tidak menjawab. Dengan sedikit jengkel merasa dipermainkan Nazir, Bidinpun meninggal Nazir yang sedang terkesima dengan biduan gambus di atas panggung.
  Bidin pergi kepenjual kacang rebus. Dibelinya sebungkus lalu ia menikmatinya
 Sambil duduk diatas akar pohon Sengon. Masa bodo dengan Nazir dan orkes gambusnya, toh tanpa harus berdiri ia masih bisa mendengar alunan lagu Albithar yang dinyanyikan oleh para biduwanita orkes gambus Al Fatah.
Sedang Bidin menikmati kacang rebus, sekonyong konyong dilihatnya Hasanah dan Alfiah yang melintas dihadapannya dan berlahan mendekat kearahnya. Bidin sempat terkejut dengan kedatangan mereka berdua. Rupanya mereka berdua mencari tempat duduk
“Pegel juga yah’ berdiri”, Alfiah berbasa basi.
“Kalau enggak keberatan aku mau duduk di sini.”
“ Oh, silahkan…silahkan,” jawab Bidin tergopoh gopoh.
“Pegel dan pengen jajan juga,” kata Hasanah menimpali kata kata Alfiah.
“Dimana sih’ penjual keripik singkong?.”
“Di mulut gang. Sini, biar aku yang kesana membelikan.” Bidin menimpali.
“Traktir dong,” rengek Hasanah.
“Iya. Traktir kita, dong,” Alfiah menimpali.
Bidin pun dengan tergopoh gopoh langsung berangkat kemulut gang, dan kembali  dengan dua bungkus kripik singkong.
“Maafin yah’, tadi kita cuma bercanda”, kata Alfiah.
“Berapa duit tuh’ dua?.”
“Tidak usah,” sergah Bidin.
“Duitnya buat beli kopi ajah’ kalau nanti aku mampir kerumah.”
“Memang ada minat Din?,” Hasanah menimpali sambil melirik kearah Alfiah yang tampak tersipu sipu. Alfiah kemudian membalas dengan cubitan hingga Hasanah mengaduh kesakitan.
Merekapun sibuk dengan makanan masing masing. Sesekali Bidin mencuri pandang kearah Alfiah yang sedang mengunyah kripik singkong. Parasnya boleh juga, pikirnya dalam hati. Tidak ada yang kurang dari diri gadis itu. Untuk ukuran desa nelayan. Parasnya lumayan sempurna, kecuali jempol kakinya yang barang kali terlalu sering masuk Lumpur, kelihatan seperti pucung, agak menghitam.
Mereka lama bercakap cakap, sesekali Bidin menawarkan diri untuk dapat mengantarkan Alfiah dan Hasanah. Tanpa basa basi Hasanah dan Alfiah pun meng iyakan niat baik Bidin.
Pukul satu malam, mereka pulang. Hasanah tampak terkejut melihat Nazir datang bersama Bidin yang menghampiri mereka berdua.
“Sekarang ayo kita pulang” ujar Bidin kepada Hasanah dan Alfiah.
Hasanah dan Alfiah berjalan di depan sedangkan bidin dan Nazir mengiringi di belakang. Untuk sementara mereka tidak berjalan berdampingan karena suasana jalan masih ramai oleh orang yang lalu lalang. Mereka merasa tidak enak kalau sampai di curigai orang, bisa bisa rencana yang sudah tersusun kandas sebelum tiba di tempat tujuan. Yang penting sekarang bagaimana harus kelihatan seperti nafsi nafsi  dulu. Nanti kalau sudah melalui tempat yang aman berulah berjalan berpasang pasangan.
Hasanah dan Alfiah mengajak mereka melalui jalan setapak yang sepi, dan sebetulnya itu tidak perlu. Namun sebagai anak muda, Bidin dan Nazir sudah biasa menangkap maksudnya. Pertama, mungkin untuk menghindari petemuan dengan orang banyak. Kedua, supaya kesempatan ngobrol dan berlama lama berjalan berpasangan lebih kondusif.
Seperti sudah diatur setrateginya. Tak lama memasuki jalan setapak Hasanah menyurutkan langkahnya kebelakang dan menghampiri Bidin. Alfiah membiarkannya menunggu beberapa meter dari mereka.
“Masih ada minat gak,” Hasanah sembari melihat Bidin da Alfiah. Bidin pura pura tak peduli. Padahal dalam hati ingin rasanya dia berteriak kegirangan. Setelah permisi kepada Nazir yang tampak kebingungan dengan pancingan Hasanah kepada Bidin, Bidin pun menghampiri Alfiah. Gadis itu pun tersipu sipu sambil sesekali memalingkan wajahnya yang memerah.
“Hasanah menyuruhku menemui mu,” kata Bidin memberanikan diri. Ia tampak ragu dan gugup.
“Memangnya ada apa?,” sahut Alfiah seperti tak punya dosa.
“Aku mau kita mengobrol disana,” Bidin menunjuk kearah tanah lapang yang agak gelap.
Alfiah tidak menolak ajakannya. Ia menurut saja apa kata Bidin. Bahkan ketika Bidin berjalan merapatkan tangannya kebahu Alfiah, Alfiah pun diam saja, bagai kerbau di cocok hidungnya.
“Terus terang aku naksir kamu”, Bidin mencurahkan perasaannya.
“Sejak kita bertemu tadi, saat kau sedang asik mengunyah kripik singkong yang aku belikan tadi, diam diam aku mencuri pandang wajahmu, mulai dari bibirmu yang tipis bagai kulit bawang, dagumu yang indah, membuat aku terpesona, rambutmu yang ikal mayang, ingin rasanya aku membelainya dengan kasih sayang,”.
Alfiah mendengar sanjungan Bidin, terkapar tak berdaya. sesekali  ia berkata “Kamu bisa ajah Din,”. Kemudian Alfiah menyandarkan kepalanya kebahu Bidin. Bidin tak bisa menolak karena memang itu yang ia inginkan, dan Bidin pun tak mau melepaskan kesempatan yang berharga itu.
Pasrah, begitulah kalu perempuan sudah kena’ sihir laki laki. Alfiah seperti sebatang kayu yang akan segera roboh bila tidak di topang. Di bahu Bidin ia serahkan tumpuannya, dan pada saat itu ia sangat bergantung kepada keputusan laki laki itu.
Tapi Bidin tak berani untuk bertindak terlalu jauh. Membelai belai rambut Alfiah itu baginya lebih dari cukup. Dengan demikian ia berharap Alfiah akan merasakan arti pacaran yang sebenarnya. Bukannya perempuan membutuhkan kelembutan? Kelembutan akan membuat perasaannya selalu indah, senang dan bahagia.
Beruntung sekali Bidin menemukan seorang gadis yang di damba dambakannya tanpa susah payah. Rasanya terlalu gampang ia memperoleh cinta Alfiah. Mungkin inilah bentuk keindaha cinta untuk dirinya. Mungkin juga ia harus lebih banyak berfikir dari kemudahan itu.
Bagimana dengan Nazir? Bidin sampai lupa dengan temannya saat itu. Tadi ia ditinggalkan berdua dengan Hasanah. Bidin tak sempat berpesan apa apa. Apakah Nazir mempergunakan kesempatan ini dengan Hasanah seperti halnya dirinya dengan Alfiah. Atau ia Cuma menunggu Bidin dan Alfiah menuntaskan acara? kasihan kalau ia begitu keadaannya. Tapi, rasanya tidak apa apa jika dalam sebuah persahabatan masih ada yang beruntung.

Pukul dua Bidin dan Nazir mengantar Hasanah dan Alfiah pulang kerumah mereka. Mereka berpisah. Bidin dan Alfiah pun berjajnji kan bertemu lagi setelah perpisahan malam ini.

Dihari hari berikutnya pertemuan mereka berlangsung tanpa kendala. Hampir setiap hari mereka bertemu dipersimpangan kampung. Untuk sementara hubungan mereka berlangsung aman, kalaulah nanti muncul kecurigaan tentang hubungan percintaan mereka berdua, Bidin pun siap dengan jurus pamungkasnya, meminang Alfiah.
Waktu terus berlalu, hubungan Bidin dan Alfiah semakin akrab. Tak pelak lagi hati mereka merasa bahagia. Bercinta di usia muda ternyata tidak membuat ragu orang tua mereka.
Di saat itu Bidin teringat akan sahabatnya, Nazir. Sahabatnya itu tidak terlihat mengikuti langkahnya dengan Hasanah. Nazir juga seperti menyimpan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain. Sejak malam itu ia selalu minghindar bertemu dengan Bidin. Pernah beberapa kali Bidin memintanya menemani berkunjung kerumah Alfiah, maksudnya tidak lain tidak bukan Supaya mempertemukan Nazir dengan Hasanah, sekalian mengantar Bidin bertemu Alfiah. Sebagai temannya semenjak kecil Bidin tidak mau senang sendirian. Ia ingin Nazir memiliki sepeti apa yang dimilikinya. Toh Hasanah cukup sepadan dengan Nazir. Gadis itu cantik, anggun dan berpendidikan, suatu yang hanya dimiliki sedikit perempuan di desa terpencil itu.

Tapi Nazir selalu menolak saat Bidin mengajak dengan berbagai alasan. Mungkin ia sudah membaca pikiran Bidin sehingga mudah saja ia mencari cari alasan. Terakhir kali ia mempetegas pendiriannya bahwa ia tidak tertarik dengan Hasanah yang disebutnya memiliki banyak sekali kesamaan watak dengan dirinya.
Hasanah juga jarang kelihatan. Bidin hanya pernah sekali berpapasan dengannya. Di jalan dan setelah itu tidak ketemu lagi. Sepertinya ia sengaja menghindar. Menurut Alfiah yang menjadi teman dekatnya, Hasanah sedang menjalani hukuman di larang keluyuran gara gara pulang nonton melewati batas waktu yang ditentukan. Kasihan Hasanah, baru sekali jalan sudah kena hukuman.

Hari hari terus berjalan. Setahun ternyata bukan waktu yang lama. Tibalah saatnya Bidin akan dinikahkan dengan Alfiah. Saat saat datangnya kebahagiaan itu seperti gumpalan batu yang mengelinding dari puncak gunung. Semakin dekat ketanah semakin mendebarkan. Perasaan cemas dan bahagia bercampur aduk, dan sepanjang malam Bidin sulit memejamkan mata membayangkan terus ia duduk dipelaminan berdua bersama Alfiah.
Suatu siang yang agak mendung dengan diantar keluarga, dan sanak familinya, Bidin berangkat menuju rumah Alfiah. Disana acara pernikahan mereka akan dilangsungkan. Sesuai adat yang berlaku, mereka hanya menikah, tidak ada pesta. Pesta baru akan dilaksanakan beberapa hari kemudian.
Mengenakan jas pinjaman dan kaca mata hitam, rasanya Bidin seperti Gus Dur yang akan kecemplung jika tidak di tuntun. Dua orang dikanan kiri mengapit lengan Bidin bak’ polisi menggelandang maling, sampai sampai untuk menggaruk kepala yang gatal saja susahnya bukan main. Di mata mereka, Bidin adalah raja di raja pada saat itu. Raja tidak boleh berjalan sendirian, harus diapit dan dikawal. Demi menghormati raja juga tidak boleh ada yang berjalan mendahului mereka.

Kedatangan rombongan ‘besan’  di sambut sohibul bait dengan wajah merunduk. Di luar kebiasaan, rombongan juga disuguhi kebisuan para hadirin yang datang. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Mereka seperti merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan acara pernikahan Bidin.
Bidin di persilahkan masuk kesebuah rungan besar. Dimana disana sudah ada penghulu yang siap menikahkan, pengkhulu itu tersenyum kepada Bidin, walau Bidin tahu senyum pengkhulu itu serasa dipaksakan. Ketika Bidin menyorongkan tangannya untuk berjabat tangan semuanya yang hadir diharap tenang oleh sohibul bait.
“Hari ini sedianya kita akan menikahkan dua orang saudara kita, semuanya sudah siap dan tinggal melaksanakan. Tapi rupanya Tuhan berkhendak lain. Itu, calon mempelai wanita menghilang sejak tadi pagi. Sudah dicari cari keseluruh plosok kampung, namun tidah ketemu,” penghulu membuka pembicaraan. Sekejap ruangan itu menjadi hening mendengar kata kata pengkhulu tadi.
Wajah Bidin langsung menjadi pucat mendengar calon istrinya, Alfiah menghilang entah kemana. Malu dan merasa tidak percaya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Selama berhubungan, Alfiah tidak pernah memperlihatkan sikap aneh aneh. Hubungan mereka mulus dan Bidin tidak pernah mendengar ada orang ketiga diantara hubungan mereka. Mereka sama sama suka dan sama sama berikrar untuk melanjutkannya ke jenjang rumah tangga.
Di ruangan itu semua pandangan tertuju kearah Bidin seorang. Ada yang prihatin, kasihan, empati, bahkan ada yang mengejeknya.
”Bagaimana bisa jaga istri kalau jaga calon istri saja tidak becus?” sindir mereka.
Satu persatu anggota rombongan besan keluar dari ruangan. Mereka seperti para penjudi yang kalah di meja perjudian. Tak ada basa basi karena mereka juga merasa malu. Ayah Bidin orang yang paling pertama keluar dari ruangan. Wajahnya tampak merah padam dan pergi tanpa menyadari sandal yang dikenakan hanya sebelah kanan saja.
Setelah berpamitan dengan ayah Alfiah dan para hadirin, Bidin pun menyusul keluar seperti halnya ayahnya. Mereka mencoba menghibur Bidin dan membesarkan hatinya, tapi keinginan untuk meninggalkan ruangan itu sudah bulat.
Bidin tidak langsung pulang melainkan singgah dirumah Hasanah terlebih dahulu. Ia yakin bungkamnya Hasanah selama ini ada kaitannya dengan hilangnya Alfiah.


“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Alfiah?,” Tanya Bidin kepada Hasanah.
“Tolong ceritakan semua dengan jujur dan terbuka. Sekarang bukan saatnya lagi kau tutup tutupi.”
Hasanah tidak menjawab. Wajahnya yang mengandung ketakutan. Akhirnya Hasanah menceritakan tentang hal apa yang terjadi sebenarnya dengan Alfiah.
“Alfiah, Nazir yang membawanya pergi”. Hasanah. Tiba tiba badan Bidin terasa sesak dan nyeri. Tidak disangka Nazir dibelakang semua ini. Begitu teganya ia merampas Alfiah dari tangannya. Kau jahat Nazir. Kau jahat sekali Nazir. Hati kecil Bidin berteriak teriak penuh amarah.
Di atas kehancuran perasaan Bidin, akhirnya Hasanah menceritakan yang sebenarnya.
“Antara Nazir dan Alfiah sebenanya ada hubungan, sebetulnya mereka telah lama berhubungan, bahkan sebelum kenal kamu Bidin. Tak ada yang tahu dengan hubungan mereka berdua. Nazir yang memintaku untuk merahasiakannya, karena kalau terang terangan mereka takut tidak mendapatkan restu orang tua. Usia yang masih belia menjadi pertimbangan, terutama bagi Nazir yang abang abangnya belum satupun yang berumah tangga.”

Menurut Hasanah, hubungan mereka sebenarnya sudah putus. Masalahnya Alfiah tidak ingin mengambil risiko jika hubungan mereka tidak mendapat restu dari orang tua Nazir. Ia tidak ingin menunggu dalam ketidak pastian. Nazir pun tidak mempersalahkan keputusan yang sebelah pihak. Kawin baginya belum merupakan sesuatu yang mendesak. Ia berkeyakinan kalau memang jodoh tidak pergi kemana mana walaupun hubungan mereka renggang.
“Sikap Nazir itu yang membuat Alfiah kecewa,” lanjut Hasanah.
“Ia merasa seolah olah sudah tidak dibutuhkan lagi. Oleh karena itu ketika kau ada minat dengan Alfiah ia langsung menerimanya.”
“Mungkin ia ingin memberi pelajaran kepada Nazir dengan memperalat aju menjadi pacarnya,” kata Bidin menyela.
“Benar,” jawab Hasanah tanpa mengangguk.
“Alfiah berhasil memberi pelajaran kepada Nazir. Sewaktu engkau mengobrol dengan Alfiah sepulang nonton gambus itu, Nazir seperti orang yang kebakaran jenggot. Ia menyalahkan aku terus menerus karena telah mempertemukanmu dengan Alfiah. Ia juga mengancam akan mempermalukanku kalau aku buka mulut tentang kecemburuannya kepadamu.”
“Apa rencananya?” Tanya Bidin ingin tahu.
“Entahlah,” jawab Hasanah tak pasti.
“Aku hanya sekali mendengar dia mengancam kalau akan ada dari kita yang menjadi korban. Kupikir yang akan menjadi korban adalah aku, hingga aku tak berani keluar rumah dan ngomong sembarangan. Tapi ternyata kau yang diincarnya. Aku menyesal, karena diamnya aku tidak ada gunanya. Aku mohon maaf karena telah turut mengorbankanmu.”
“Nasi sudah menjadi bubur sekarang” kata Bidin dengan suara yang mulai serak.
“Tidak ada yang perlu disesali lagi sekarang. Nazir-Alfiah, aku tidak pernah mengukur seberapa dalam cinta pertama mereka. Kejadian ini menunjukkan kepadaku betapa cinta mereka dapat mengalahkan segala galanya”.
Pedih menjalari setiap relung hati Bidin. Untuk pertama kalinya Bidin menangis dengan air mata yang tak putus putus. Sepanjang hari, sepanjang malam. Perkawinan yang gagal senantiasa menjadi beban pikirannya. Kegagalannya membuatnya  menjadi menusia yang tidak berharga, ketika dirinya merasa membuat malu sekandung badan dan keluarganya, rasa malu membuatnya tersisih seperti sampah yang tak punya tempat layak di sisi manusia. Tempatnya hanya kesendirian dan kesunyian.
Di dalam kepedihan hatinya terkadang  ia menyesali perjuampaannya dengan Alfiah. Ia telah membuat orang lain berbuat jahat kepada dirinya. Bagaimanapun sakitnya perbuatan Nazir, ia menyadari hal itu bisa terjadi karena kepolosannya yang terlalu percaya diri. Ia tidak bertanya kepada temannya itu tentang Alfiah. Ia berjalan sendiri sambil menutup mata, telinga, dan pikiran. Cinta telah membuatnya terlalu percaya diri.
Kalaulah ada ulah Nazir yang tak dimaafkannya ialah caranya merampas Alfiah. Nazir telah membuatnya malu seumur hidup. Sejak hari perkawinannya yang gagal ia sudah tidak sanggup mengangkat muka apabila berjalan dikeramaian. Tatapan mata dan senyum orang yang ditemuinya seolah mengejek kepada dirinya. Kegagalan perkawinan harus diterimanya dengan rasa sakit hati yang tak bisa dibagi bagi. Bidin yang dahulu rajin kini berubah menjadi pemurung. Tak ada yang memberi harapan dan dorongan kerena Tanjung Pakis bukan tempat berkumpulnya para ahli psikoterapi yang pandai membaca bahasa penderitaan. Tanjung Pakis adalah sebuah desa nelayan yang penduduknya menganggap sakit karena cinta merupakan kesalahan tangan sendiri. Tak ada tempat bagi orang yang sakit karena putus cinta. Tak ada tempat buat Bidin.
Seiring berjalannya waktu. Tubuh Bidin semakin kurus kerena kurang makan, Bidin juga mulai hilang ingatan. Ia suka bicara ngawur, tertawa, atau menangis sendirian. Kata kata yang sering diucapkannya adalah : Kau jahat Nazir, kau jahat sekali Nazir. Tiada hari tanpa ia megucapkan kata kata itu.
Suatu hari Bidin berhenti mengucapkan kutukan dan umpatannya kepada Nazir. Kedua orang tuanya merasa bahagia ketika mendengar Bidin berkata : “Bu, saya ingin melaut malam. Saya mau menagkap ikan hiu”. Kata hiu membuat orang tuanya percaya bahwa Bidin sudah waras dan sembuh. Bidin memang dikenal pandai menangkap ikan besar, suatu keahlian yang diwariskan oleh ayahnya yang kini sudah uzur. Kebetulan harga sirip ikan hiu itu sangat mahal dipasar lelang. Oleh sebab itu ibunya mengizinkannya melaut.
Di malam Bidin melaut. Ibunya berpimpi anaknya berhasil menangkap seekor ikan hiu yang besarnya seukuran tak muat perahu. Bidin menyerahkan ikan hiu kepada ibunya dan berpesan supaya perutnya dibelah dulu sebelum dijual.
Esok paginya kedua orang tua Bidin pergi kepantai hendak menjemput anaknya. Disana mereka melihat nelayan yang sedang mengerumuni ikan hiu yang sangat besar. Tapi mereka tidak melihat Bidin disana. Juga perahunya. Ketika ditanyakan tak satupun nelayan yang melihat Bidin.
“Semalam saya melihat Bidin mencari ikan di laut lepas,” kata seorang nelayan.
“Mungkin ia mampir di bagan untuk mengangkat jaring.”
“Tidak mungkin sampai sesiang ini,” kata ayahnya cemas.
“Orang laut pasti tahu kapan saatnya ia harus pulang kedarat.”
Kecemasan juga terpanjar diwajah ibunya Bidin. Setelah tahu anak kesayangannya tidak kembali kepantai, perempuan separuh tua itu langsung meneteskan air mata. Seakan ia sudah tahu anaknya tidak akan pernah kembali kedarat dalam keadaan hidup.
“Coba dibelah perut ikan hiu itu” pintanya kepada salah seorang nelayan.
Dengan ragu ragu nelayan itu menuruti. Dibelahnya perut ikan hiu itu. Yang lain tampak tidak peduli dengan maksud orang tua Bidin yang meminta perut ikan hiu itu dibelah. Mereka sibuk dengan rencana pembagian hasil setelah ikan hiu dijual.
Obrolan mereka surut ketika bagian dalam perut ikan itu sudah terbuka. Mereka melihat sesuatu yang mengenaskan disana. Ada jasad manusia yang sudah tidak utuh dan tercabik cabik. Sehelai baju berlumur darah menjadi bukti yang sulit dipungkiri bahwa Bidin mati setelah terlebih dahulu dimangsa ikan hiu.
Selain kalimat inna lillahi wa inna ilaihi roji’un tak ada lagi kata yang terucap. Mereka yang ada ditempat itu diam seribu bahasa. Terlihat mata mereka berkaca kaca. Sebagian mereka yang alergi dengan bau anyir bangkai manusia langsung pergi meninggalkan tempat itu. Sebagian yang lain yang masih punya hati nurani segera membantu, kedua orang tua Bidin mengumpulkan serpiham serpihan jasad anaknya dari perut ikan hiu. Mereka memasukkannya kedalam karung dan membawanya pulang untuk dikuburkan secara layak.
Kematian Bidin yang mengerikan itu membuat penduduk enggan pergi melaut. Bukan lantaran takut dengan ikan hiu, melainkan mereka disibuki dengan obrolan seputar kematian Bidin yang ada hubungannya dengan perkawinannya  yang gagal. Selama ini mereka hanya menganggap penderitaan batin Bidin sebagai buah ketidak berdayaannya dalam menghadapi cobaan. Tetapi sekarang mereka sepakat untuk memasukkan nama Nazir dan Alfiah didalam setiap obrolan. Karena dia lah biang keladinya.

Nazir dan Alfiah yang menempuh kawin lari, keberadaan mereka tak jelas dimana tempatnya. Penduduk Tanjung Pakis telah menetapkan kutukan bagi pasangan itu, penderitaan dan sengsara sepanjang mereka hidup. Mereka juga menghalau setiap perahu yang membawa keduanya pulang ke Tanjung Pakis. Perbuatan mereka baru termaafkan jika mereka mengalami musibah yang setimpal, jika di darat di terkam harimau dan jika dilaut di mangsa ikan hiu.


Hampir dua jam aku termangu diwarung ini. Tak terasa segelas kopi sudah hampir habis, lima buah bakwan dan tiga buah tahu isi sudah mengisi perut yang selama perjalanan kosong. Dua jam aku terhanyut mendengar cerita orang orang di warung kopi. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan jam empat sore. Cerita itu begitu menyentuh perasaanku. Percintaan remaja yang sesekali di bumbui kesedihan sampai kematian yang mengharukan. Cerita yang menitikan air mata, menguras perasaan bagi siapa saja yang mendengar kisah Tanjung Pakis itu. Tak disangka kampung terpelosok penyimpan sejuta kisah romantis namun berakhir teragis.

Sesekali aku menghela nafas, aku terbawa suasana oleh alur cerita yang memilukan serta mengharukan. Tak terasa dan tak bisa tertahan air mataku mengalir dari kelopak mata. Pikiranku menerawang jauh, tega benar remaja bernama Nazir membawa kabur calon pengantin Bidin yang notane’nya adalah sahabat ia sendiri, kejam benar Alfiah meninggalkan Bidin seorang diri dimeja pengkhulu yang siap menikahkan mereka. Tragis benar nasib Bidin hingga ia meregang nyawa diantara gigitan hiu yang buas itu.
Tanjung Pakis, eksotis, romantis, namun dibalik itu ia terselimuti cerita tragis hingga orang yang mendengarnya pasti kan menangis.

Selamat malam Tanjung Pakis, atas nama cinta aku berbela sungkawa akan kesedihan mu. Sumpah demi air mata yang mewarnai ceritamu. Salam senyum untuk Almarhum Bidin, mudah mudahan engkau menemukan Alfiah lain yang lebih sejati dibandingkan Alfiah dunia….Amien.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar