Powered By Blogger

Minggu, 02 Oktober 2011

Kampung Santri

Kampung Santri
Oleh
Mummar Khadafi

Mendengar suara beduk berkepanjangan seperti malam ini mengingatkan aku ketika masih ‘sregep’ mengaji di surau Kiai Noer di  kampungku. Bagaimana aku bisa melupakan itu, terlebih dimalam yang senyap yang menggetarkan jiwa, bahkan aku masih bisa merasakan kenikmatan yang terkandung didalam kesenyapan itu. Rasa yang melonjak dan debaran hati yang menyayat membawa aku untuk selalu ingat pada kekhidmatan kampung halamanku.

Kebiasaan suara itu biasa aku dengar sejak kecil, dimana ia selalu menggema dihati kecilku, meresap kedalam jiwa jiwaku, mendarah daging dan takkan pernah hilang sampai hatiku mati. Aku merasakan suatu ketenangan, kedamaian, kebahagiaan ketika mendengar suara itu. Suara bedug itu memanggil manggil memori lamaku, dimana bedug ditabuh berirama , di dendangkan sepanjang hari apalagi hari puasa. Bedug juga biasa didendangkan dan ditabuh berirama dilakukan dimalam hari sebagai pertanda untuk membangunkan sahur, atau pula di lakukan setelah melakukan sembahyang taraweh, dengan iramanya tersediri, saat itu pula kami para santri dengan ‘sregepnya’ duduk tafakur dihadapan Kiai Noer untuk melakukan tadarusan.

Kami bertadarus bergantian, silih berganti diantara para santri yang ‘soan’ dihadapan Kiai Noer yang duduk sangat khidmat dengan surban putih dikepalanya seraya menatap kami satu persatu ketika kami memurathalkan ayat demi ayat al Quran. Dan manakala beduk berbunyi pukul satu malam adalah sebagai tanda untuk kami berhenti sebentar untuk melaksanakan dan memunazatkan doa dan melanjutkan tadarus lagi sampai tiba waktu saur dibulan ramadhan.

Begitulah kebiasaan kami saat saat malam bulan ramadhan tiba pada kampung kami yang terpencil ini. Surau dan pondok kami yang kecil nan tua ini terletak jauh dari keramain, di depan halaman masjidnya berdiri tegak lima pohon terembesi (pohon sengon) melambangkan rukun islam yang lima. Tak jauh dari halaman pondok diseberang jalan rimbun pohon cemara yang sangat rindang dan sangat enak untuk berteduh disana. Sedang yang benama Ujungmalang yang masuk dalam kecamatan Babelan ini memang sangat lebat dengan rerimbunan pohon bambu yang daunnya ‘ngempyak’ lalu lalang dipinggir jalan. Surau yang kami ini pun sangat amat sedehana, terbuat dari kayu ‘Trembesi’ yang mungkin berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun yang kuat dimakan jaman. Surau yang cukup besar, dan cukup menampung jamaah sekampung Ujungmalang yang akan melaksanakan salat jumat berjamaah.dibelakang pondok tinggallah para santri yang mukim dipetak petak pondok, kami biasanya menyebut ‘kamar cemara’ ini dikarenakan diantara pemondokan kami dirimbuni pohon cemara yang sangat lebat. Dibelakang  surau terdapat kolom yang sangat besar bila di ukur mungkin akan menampung air ‘tujuh kulah’, airnya keruh yang digunakan para santri ‘saban’ hari untuk mencuci dan berwudu kadang kala juga mandi disana. Belajar mengaji adalah tujuan kami mondok, dimana kami mempelajari kitab  kuning ‘gundul’ yang tidak berbaris, belajar Fiqih, Nahu, dan Shorof. Pondok sebagai ‘lumbung’ ilmu  dimana kita menuntut ilmu kahirat. Di pondok kami belajar bertahun tahun, untuk sekedar mengaji dan mengamalkan surat surat dan tafsir yang ada pada isi kandungan al Quran. Mungkin karena lamanya kami dipondok, salah satu diantara kami atau bahkan semua para santri mengalami sakit kulit, seperti ‘gidu’, panu ataupun lainnya yang diakibatkan mandi dalam air pondok yang jarang dikuras.

Pada kesempatan setelah salat subuh, tiap kali itu pula kami berzikir menucapkan ‘kalimatul al hasanah’, sampai waktu Dhuha menjemput waktu kita untuk kembali beraktifitas. Tidak sedkit santri yang ‘ngaji’ disurau kami selepas Dhuha, bahkan dari luar kampung, seperti Penggarutan, Kampung Asem, Babelan, Kebalen hingga Pondok Ungu yang notabenenya saat itu jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tak jarang para santri ‘kalong’ itu pun melewati ‘galengan’ sawah bahkan hingga melewati ‘tanggul’ kali yang becek dan berlumpur. Sampai sekarang aku masih ingat ketika para santri ‘kalong’ itu baru sampai di surau, mereka ‘belepotan’ dengan Lumpur dikakinya dan harus ‘diguyangi’ air dibelakang kolam pondok surau hingga kaki mereka bersih kembali.

Dikampung yang sangat damai inilah aku bersyukur dapat dilahirkan dalam rahim ibuku, dimana aku umbuh dalam suasana kampung yang sangat ‘santri’, dimana ketika saat azan Magrib tiba anak anaknya, remajanya, bahkan orang tuanya berduyun duyun melangkahkan kakinya kesurau untuk salat dan ‘nagji’ berjamaah. Bahkan aku aku masih ingat dimana ketika aku kecil selepas ajaman subuh aku membawa lampu minyak untuk menemani aku meuju surau didekat rumahku. Terbayang sarung melekat dab baju kokoh yang aku kenakan bersama ‘songko’ kopiahku membuat kekidmatan masa kecilku begitu indah. Aku dengan perginya dengan semangat, melakukan sembahyang fardu dengan teman teman sebayaku, bersalawat atas Nabi, menabuh bedug, dan meneriakkan azan dimenara surau ditingkat lantai yang kedua. Betapa bangganya hatiku ketka itu aku bisa melantunkan azan dengan suaraku yang agak sendu –Allahu Akbar- itulah kalimat takbir yang aku alunkan didalama menara surau.

Sekali malam jumat, kamipun mengadakan tahlil disurau yang di isi  oleh Kiai Noer dengan pembacaan tahlil, tahmid, serta membanya surat yasin yang diniatkan untuk almarhu dan almarhumah orang tua kami yang terlebih dahulu dipanggil oleh Allah. Saat itu adalah saatyang menyenangkan dimana semua warga kampung menghidangkan makanan serta nasi uduk kebulinya untuk disedekahkan, karena itulah malam jumat sebagai malam favoritku dimana aku bisa makan enak dibawah sinar lampu minyak yang sesekali meredup diterpa angin.
 Enam tahun lamanya aku dipondok Kiai Noer, suka duka aku jalani bersama teman angkatanku. Rasa rasanya aku baru kemarin mondok disini, rasanya baru kemarin aku mendengarkan ceramah dan bacaan al Quran yang dibacakan oleh Kiai Noer dengan sangat merdunya, iramanya tetap fasih dan merdu seperti menggedor gedor dindinghati hati hingga mata ini mengalirkan air mata.

Tak jauh dari surau pesantren terdapat rumah sederhana, disanalah Kiai Noer tinggal bersama keluarganya. Nyai Khodijah istri Kiai Noer, dan kedua putri Kiai Noer Salwa, Maria Ulfah, serta yang paling kecil Fatimah. Kanjeng nyai Noer pun sesekali mengajarkan santriwati yang terpisah dari surau pesantren. Aku juga masih ingat keika aku disuruh Kiai Noer untuk mengisi kolom rumanya dengan sumur kerek. Saat itulah aku mulai dekat dan akrab dengan keluarga Kiai Noer, bahkan sesekali aku pernah dibawakan sepiring pisang goreng ketika aku sedang ‘menimba’ sumur kiai Noer oleh anaknya Maria Ulfah.  Selama dipondok aku kenal Kiai Noer sebagai manusia yang sempurna dimataku, perangainya halus, santun dan penuh dengan kelembutan. Beliau pulalah yang menanamkan hakikat ajaran tentang keislaman.

Dimalam satu ‘Suro’ tepatnya pergantian kalender Islam biasanya diadakan pembacaan ayat al Quran dan pembacaan Maulid atas Nabi. Malam itu pula aku tak luput dari perintah bagian pembacaan maulid itu. Kata mereka, bahwa akulah satu satunya anak muda yang bisa membaca Quran dalam alunan gaya yang bagus dan mengharukan. Pujian yang sedkit membanggakan aku dan keua orang tuaku. Suatu kebiasaan dikampung aku Ujungmalang dimana ketika anak nak mudan yang bagus perangai dan suaranya membacakan al Quran pasti warga sekitarnya kan berebut mengambil ‘mantu’nya. Sesekali kakekku pernah berbisik kepadaku : “Nak, kau kenal si Husna anak haji Tayib, kemaren bapaknya menanyakan kamu, apakah kamu sudah punya dambaan hati apa belum?, akupun terdiam atas pertanyaan kakek ku itu.

Pada saat itu, saat aku dipercaya melantunkan ayat suci al Quran saat undanga marhabanan dirmah Kiai Noer, akupun duduk bersebelahan dengan Kiai Noer. Setelah doa kemudian hidangan besar dan buah buhan dihidangkan oleh para ‘mubastir. Pada kesempatan itulah para rombongan ‘hadrah gambus’ dipersilahkan untuk memainkan lagu irama padang pasir. Sesudah beberapa lagu disuguhkan oleh masing masing biduan, tibalah giliranku, para jamaah meneriakkan namaku untuk segera mengambil alir posisi biduan. Akupun berpikir sebentar lalu menyuguhkan lagu popular Arab : Alfi lalila wa lailah.

Saat aku sedang khusu melantunkan lagu, dalam pendengaranku kurasa ada sesuatu yang menyentuh nyentuh hatiku. Aku dengan tidak sengaja melihat sosok dibalik tirai itu, ada beberapa pasang mata yang mengintip dari kejauhan kearahku. Dan diantara mata itu ada mata yang jelita dan penuh kesejukkan. Mata yang mengerlingkan seperti kunang kunang, sejuk sepeti embun dipagi hari, pikiranku sepintas dibuainya melayang, mata itu sekan merayu ku untuk melihatnya semakin dalam dan membuat hatiku menjadi gelisah, suara ku sedikit parau dan gemetar. Keringatku mulai mengalir dikening dan leherku. Untungna kejadian itu hanya sebentar saja ketika aku akan mengakhiri lagu yang sedang aku lantunkan itu. Tak beberapa saat kemudia terdengar suara dari balik tirai itu, suara perempuan, yang takut takut mengandung malu : “sekali lagi”
Aku perhatikan suara itu darimana datangnya, tiba tiba terlihat olehku sebuah wajah tersembunyi dibalik tirai itu............BERSAMBUNG!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar