Powered By Blogger

Sabtu, 29 Oktober 2011

Guratan Perjalanan Hidup Penjual Bantal


Guratan Perjalanan Hidup Penjual Bantal
Muammar khadafi

Dalam terik hari, panas yan menyengat seakan membakar sekujur kulit ketika sang mentari menyentuh rinai kulit. Panas tahun ini seakan tidak dapat dikompromikan, sumur tanah hampir tidak mngeluarkan air, walaupun mengeluarkan air, airnya tidak sebening dan sejernih panas tahun lalu. Panas yang berkepanjangan membuat tubuh menjadi mudah terserang sakit, aku bahkan beberapa kali terserang penyakit yang mengharuskan aku berobat kedokter dengan beberapa resep yang berbeda. Dalam kesempatan dan kesibukkan aku yang agak padat, aku menyempatkan untuk datang kembali ke tempat dulu aku menimba ilmu, yah’ aku harus kembali ke kampus tercinta untuk sekedar memberi bimbingan dan arahan mahasiswa yang kesulitan mengerjakan tugas akhirnya.  Satu hari aku terpaksa izin dari jam mengajarku di sekolah, aku sempat menolak permintaan mahasiswa itu tapi apa daya aku sudah terlanjur meng amini permintaannya, terpaksa aku meminta guru kelas untuk menggantikan aku untuk dapat masuk dan mengisi jam yang aku tinggalkan. Mungkin aku tipe orang yang tak dapat menolak bila aku dimintai tolong oleh orang lain, mungkin karena itulah aku sering di mintai tolong oleh sahabatku.
Pagi buta aku sudah menyiapkan bahan bahan yang dibutuhkan mahasiswa itu, tugas mahasiswa itu mungkin agak terlalu berat, ia membahas tentang variabel pendidikan yang menurutku agak sedikit rumit. Aku terpaksa sedikit memutar otak, aku buka catatan catatan ku yang selama ini aku tinggalkan semenjak aku lulus kuliah, ku buka lagi buku buku kuliahku, beberapa isi akhirnya aku temukan tentang filsafat pendidikan.
Setelah semua siap, semua bahan aku simpan kedalam tas agar tidak terlupakan olehku, tak lupa aku membawaa tulisan tulisanku yang belum selesai, aku harap tulisanku ini terselesaikan sebelum sore menjelang karena aku sudah di kejar deadline oleh redaksi salah satu koran Bekasi.
Hingga pada saat pertemuan, aku arahkan kepada mahasiswa itu bahwa tugasnya ada beberapa yang harus direvisi ulang, penambahan paragrap dan isi pun diperlukan untuk menyempurnakan tugasnya. Mudah mudahan dua kali bimbingan lagi ia dapat menyeminarkan proposalnya ke meja penyidang.
Diliputi rasa lelah akhirnya selesai juga tugasku, setelah memberi beberapa arahan dan revisi, akhirnya aku harus kembali pulang kerumah, mungkin aku sudah di tunggu dan diharapkan dirumahku, maklum saja aku tinggal bersama nenekku yang sudah tua dan sakit sakitan.
Dengan lekas ku pacu sepeda motor Supraku menuju pulang, aku harap sebelum jam 5 lima sore aku sudah sampai dirumah. Memang dasar nasibku kurang beruntung saat sampai di tengah perjalanan ban sepeda motorku gembos karena bocor. Manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang menentukan akhirnya. Aku berharapa sampai rumah jam lima, tapi malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat kuraih. Terpaksa aku menuntun sepeda motorku untuk sampai ketukang tambal ban terdekat, setelah beberapa meter aku menuntun sepeda motorku akhirnya aku sampai di tempat tambal ban.
Aku  mencoba menghela nafas yang sedari tadi tersengal sengal setelah menuntun motor yang gembos, mungkin karena aku kurang olahraga aku menjadi mudah lelah. Aku atur nafas agar tidak terlalu tersengal sengal, pikirku kalut, tugas menumpuk dari sekolah, tulisan yang masih tercecer yang harus segera diterbitkan dan hari ini sialnya aku, banku gembos terkena paku.  Sambil mengusapkan wajah hingga menjalar ke kepala aku mencoba untuk tetap saabar. Belakangan ada seorang lelaki setengah baya yang lewat dengan gerobak dagangannya, ia berupaya permisi di hadapanku seraya meminta izin duduk dibangku panjang bengkel tambal ban itu, dengan segera aku mempersilahkan ia duduk. Sebenarnya aku sedari tadi memperhatikan ia berjalan agak lunglai, mungkin ia kecapean, tapi pikirku menerangwang jauh, aku jadi ingat dengan pamanku Zubair, ia berjalan seperti jalannya pamanku dulu yang terserang sakit keras, hati ku terus menerka nerka tentang dirinya. Sekembali aku mengingat tentang pamanku Zubair, aku mencoba memperhatikan kelelahan lelaki setengah baya itu, ia menyeka mukanya yang penuh dengan keringat hingga handuk tangannya tampak basah karena keringat. Aku juga hampir mendengar detak jantungnya yang berdebar dengan sangat kencang dan jelas. Mungkin terkaanku benar ia sedang kelelahan, dan butuh istirahat.

“Bapak kelihatannya cape sekali yah?” tanya aku dengan penuh ke ingin tahuan. Ia diam sesaat manarik nafasnya yang masih tersengal sengal. Dengan pandangan yang sedikit kosong ia menatapku, matanya hening sejuk bagai angin dimusim semi, namun dibalik itu aku yakin ia menyimpan buah pikir yang berat dalam hatinya.
“Iya dek’, sudah lelah rasanya saya menyusuri jalan demi jalan, gang demi gang, namun belum ada yang membeli dagangan saya ini” Lelaki setengah baya ini mencoba menjawab ke ingin tahuan aku kepada dirinya. Dagangan masih terlihat penuh dan mungkin belum laku satu barangpun yang berkurang dari roda dagangannya. Bantal dan guling masih mengisi roda dagangannya, mungkin ia sudah sangat lelah membawa kesana kemari bantal bantal dagangannya hingga pada saat sore ini dagangannya belum laku walau hanya satu bantal pun. Aku melihat ia miris beserta sedih, ternyata masih ada yang lebih susah dariku, aku baru ditimpa ban gembos saja umpatanku kepada Tuhan sudah sangat begitu banyak, apa lagi aku diposisi ia mungkin aku sudah ingkar nikmat.

“ Dulu ketika saya muda, saya melang lang buana sampai ke ujung Sumatra, pulau Jawa hampir semua pernah saya susuri, jalan demi jalan, gang demi gang, sampai saya pernah terjatuh dalam gang sempit di selokan sampai saya di tolong orang sekampung. Saat itu mungkin saya sangat kelelahan, hingga saya tak sadar telah melewati got yang melintas dalam gang yang sempit. Semasa masih muda saya termasuk orang yang sangat gagah dan cekatan, saya mulai berdagang sedari lulus SMP, maklum saja orang tua saya tidak mampu menyekolahkan saya ketingkat yang lebih tinggi semisal SMA. Setelah saya putus sekolah, saya merantau ke kota impian yang namanya Jakarta, saya katakan kota impian karena ketika saya masih SMP banyak anak muda desa saya bercerita tentang indahnya hidup di kota Jakarta yang sangat mewah. Di Jakarta kita bisa mendapatkan apa saja yang kita butuhkan, bukan seperti keadaan di kampung yang hidup dengan kekurangan dan keprihatinan. Berkat cerita itu, dan semangat untuk hidup yang lebih baik lagi saya hijrah ke Jakarta, berbekal uang hasil tabungan saya ketika SMP saya akhirnya saya sampai di kota Jakarta. Sesampainya di Jakarta, hati saya mulai meragu, apa yang hendak saya lakukan di kota sebesar ini, apakah mungkin saya yang hanya berbekal ijazah SMP bisa menaklukkan kota sekejam Jakarta. Keraguan saya bertambah, ketika saya periksa tas bekal saya di bobol pencopet, persedian uang saya menipis, untung saja saya masih sempat memisahkan uang hasil celengan saya itu. Muter muter saya mencari tempat tinggal, niatnya untuk mencari kontrakan yang murah, beberapa kali juga harus pindah kontrakan karena saya tidak sanggup bayar kontrakan, pekerjaan apapun saya kerjakan asal bisa menyambung hidup untuk makan dan bayar kontrakan, dari pedagang asongan, pengamen kreta listrik ekonomi jurusan Jakarta-Bekasi, hingga menjadi loper koran di Stasiun Kota. Ternyata Jakarta tak seindah yang saya pikirkan dan bayangkan. “ Sesekali lelaki itu menyeka keringatnya yang mulai mengering ter lap handuk tangannya.
“Hampir 2 tahun saya terlunta lunta di kota Jakarta, saya pun sempat di gelandang satpol PP ketika saya tidak mempunyai tempat tinggal alias tunawisma. Dalam hati ingin kembali kekampung halaman untuk merajut hidup sebagai petani, tapi saya sudah terlanjur berbohong kepada orang sekampung bahwa kehidupan saya di Jakarta sangat enak dan makmur, saat itu saya mudik ke kampung saya bergaya hidup ala metropolitan, saya malu bila terlihat miskin dimata orang kampung, yang mereka tahu saya hidup enak di Jakarta.  Kepura puraan kaya sayapun akhirnya ketahuan juga, waktu itu ketika saya menjadi pemulung sampah saya bertemu orang satu kampung, betapa malunya saya pada dia, sampai sampai saya tak berani lagi kembali kekampung akibat malu ini, mungkin sudah beberapa lebaran saya tidak mudik gara gara menanggung malu ini”. Ia terlihat sangat lelah, sesekali lelaki setengah baya itu ter enyuh, tatapan matanya kosong, entah dibuang kemana buah pikirnya.
“Dua tahun saya menjadi gelandangan, terlunta lunta dalam kejamnya kota Jakarta. Sesekali terbesit niat jahat dalam pikiran saya. Saya berpikir mencari jalan pintas untuk merampok atau mencuri, namun niat itu saya buang jauh jauh, biarlah saya miskin di dunia tapi tidak miskin di akhirat.” Kata kata itu terdengar sangat bijak di telingaku saat mendengar lelaki setengah baya itu bercerita.
“Setelah saya bertualang kesana kemari, akhirnya saya menemukan tambatan hati, wanita yang sekarang menjadi istri saya ibu dari anak saya. Ia mungkin wanita terbijak yang pernah saya temui, ketika semua memandang kebahagiaan dengan banyaknya materi tapi ia berbeda, ia menerima saya apa adanya, ia menerima saya beserta dengan kekurangan kekurangan saya. Ia pelipur hati dikala hati ini sedih dan lara, tempat saya mengadu ketika saya di selimuti keputus asaan. Telah banyak saya mengenal wanita tapi jujur kali ini saya katakan ia sangat berbeda, ia bijak di saat saya membutuhkan sentuhan bijaknya. Bersamanya saya memandang masa depan lebih optimis tidak pesimis seperti dulu, ia penyemangat ketika semangat saya turun dan mengendur. Namun kebahagiaan saya tidak berlangsung lama, setelah istri saya melahirkan anak saya yang pertama, saya mendadak terserang penyakit stroke, penyakit inilah yang membuat saya hampir putus asa dengan keadaan ini, untung saja saya masih mempunyai  istri yang sabar dan terus menyemangati saya untuk sembuh. Beberapa bulan ia merawat saya dengan penuh dengan kesabaran. Aktivitas berdagang saya berhenti total  semenjak terserang stroke, ketika saya terkena stroke hampir semua aktivitas saya lakukan ditempat tidur, makan, minum bahkan buang air besar saya lakukan ditempat tidur, namun istri saya dengan sabarnya merawat saya tanpa mengeluh sedikitpun. Kebutuhan kami sehari  hari semenjak saya tidak dapat dagang lagi ia penuhi dengan menjadi buruh cuci harian, sesekali ia juga membuat kue yang langsung ia dagangkan keliling gang gang sempit ibu kota.” Aku tahu Lelaki setengah baya itu berupaya tegar, namun air matanya tak tertahan lagi dan jatuh mengurai kesedihan hidupnya.
“Saya sangat beruntung mempunyai istri sesabar dia, beberapa kali terlintas dalam hati dan pikiran saya untuk mengakhiri hidup saya, bunuh diri. Saya berpikiran kalau saya sudah mati, saya saya berharap ia menemukan lelaki yang lebih dari saya, tidak menyengsarakan hidupnya seperti saya ini” Kembali air mata lelaki itu mengaliri kelopak matanya yang terlihat menua.
“Ini kali pertama saya dagang lagi setelah saya terkena stroke, saya paksakan untuk dagang karena istri dan anak saya yang masih kecil sedang sakit, tadi malam panas badan istri saya sangat tinggi, saya sangat khawatir, di katong tak satu rupiahpun saya kantongi uang, bahkan untuk membeli obat warung saja saya tidak mampu, melihat keadaan istri saya hati saya menjerit sedih tak terhingga, di tambah anak saya yang masih sangat kecil yang membutuhkan kasih sayang ibunya. Selepas subuh tadi saya nekad untuk berangkat keliling membawa dagangan, walau jalan saya masih tertatih tatih akibat penyakit stroke saya, saya berupaya untuk kuat dan tegar, walau sesekali saya merasakan nyeri yang tak terhingga di punggung dan kaki saya, saya tahan sekuat tenaga” Aku hampir menitikkan air mata mendengar kata kata lelaki setengah baya itu, begitu berliku dan sedihnya jalan hidupnya.
“Demi anak dan istri saya harus kuat melawan cobaan hidup ini, usaha saya hari ini mungkin tidak sebanding dengan pengorbanan istri saya yang selama ini dengan sabar merawat saya sewaktu saya sakit keras stroke. Mungkin ini yang bisa saya lakukan untuk istri dan anak saya, walau sampai sesore ini saya belum mendapatkan uang karena dagangan saya belum laku satu bantal pun tapi minimal saya sudah berusaha, mudah mudahan Allah mencatat  usaha saya ini.” Sambil memijit mijit kakinya yang mungkin pegal lelaki setengah baya itu terus bercerita tentang jalan hidupnya yang pahit.
Ku perhatikan lelaki itu hampir berputus asa, hal itu terlihat dari guratan guratan diwajahnya, di tambah tatapan matanya yang berbinar kosong. Mungkin ini perjalan yang berat dalam hidupnya , terserang sakit, istri dan anak sakit yang mengharuskan ia berjibaku dengan nasib dan sakit stroke nya. Lelaki yang sangat tegar, pandangan awal ku benar akan keniscayaannya, lelaki itu sakit seperti sakitnya pamanku dulu ketika ia masih hidup. Pamanku terserang stroke hingga mengharuskan dirinya kembali kepada sang Pencipta. Jalan hidup memang sangat berliku, kadang manis dan kadang pula pahit, kadang sedih terkadang juga gembira. Ketika kita di sudutkan dalam satu pilihan mau tidak mau kita harus menghadapinya. Pikiran ku menerawang perasaan lelaki setengah baya itu, kalau sudah sesore ini ia belum mendapat satu rupiahpun, mau dikasih apa anak istrinya yang sedang sakit itu. Ku buka amplop yang diberikan mahasiswa yang bimbingan tadi, dua lembar pecahan ratusan ribu ternyata isinya, lumayan banyak untuk sekali bimbingan proposal tadi siang, aku berpikir dan ingat bantal dirumah sudah pada bobol dan rusak jahitannya, aku putuskan untuk memilah milih bantal yang masih tersusun rapi di roda lelaki setengah baya itu, setelah lama memilih lalu aku putuskan membeli dua buah bantal dan dua buah guling, ku tanyakan harganya ternyata pas dengan isi amplop yang diberikan mahasiswa tadi, tanpa menawar aku langsung membalinya. Terlihat lelaki setengah baya itu tersenyum denganku, sambil menerima uang yang aku berikan, ia spontan saja memelukku sambil berkata terimakasih, aku tak bisa menahan haru ketika air mata lelaki setengah tua itu mengurai diantara pelupuk matanya, dengan eratnya ia memelukku sambil tak henti hentinya ia mengucapkan terimakasih kepadaku.
Tak terasa ban sepeda motor supraku telah selesai di tambal, saatnya untuk pulang, kulihat jam di tanyaku menunjukkan hampir setenga enam sore, ku ikat bantal yang habis ku beli di jok belakang, sambil mengucapkan salam kepada lelaki setengah tua itu, ku lajurkan sepeda motorku untuk hendak pulang ke Ujungharapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar