Powered By Blogger

Kamis, 20 Oktober 2011

Harapan Mustajab Seorang Ibu

Harapan Mustajab seorang Ibu
Oleh
Muammar Khadafi

Wanita itu masih termangu ketika hujan membasahi kiosnya. Yang tampak sebenarnya layak disebut gubuk bukan kios layaknya dipasar. Tapi begitulah keadaannya, sesekali hujan membasahi gubuk sayurannya. Tanah menjadi membecek tertimpa hujan, kaki wanita itu terlihat sangat kotor tertimpa lumpur pasar yang hitam pekat lagi bau. Matanya terlihat sayup sayup mengantuk dan ingin tertidur, tapi ia berusaha untuk menahannya kerena ia sedang menunggu pelanggannya untuk membeli sayurannya yang malam itu tertimpa hujan.
Waktu menunjukkan jam 2 malam, dan mungkin sudah hampir menunjukkan jam tiga pagi. Tapi wanita itu masih terjaga dalam tidurnya. Mata tua keriput, kelopak mata yang mulai menghitam, mungkin karena ia keseringan bergadang malam. Raga wanita itu pun terlihat sangat kurus, entah karena ia kurang makan atau ia memang sedang mengamalkan puasa senin-kamisnya.
Di pasar tradisional itu berlalu lalang para pengais rizki. Dari tukang ojek yang mencari sewa penumpangnya, kuli panggul, penjaja rokok keliling, hingga wanita berdandanan ‘menor’ yang sesekali tersenyum menawarkan jasa kenikmatan.
“Berapa Bu sayuran segabungnya?”. Pembeli menawar yang tanpa sengaja membangunkan wanita itu dari. “Empat ribu!” wanita itu memberikan harga. Tawar menawarpun berjalan antara penjual dan pembeli hingga ketemu harga tengah, tiga ribu rupiah untuk satu gabung sayuran yang terdiri  lima ikat kecil.
Keadaan pasar itu sangat kontras dan bertolak belakang dengan Mall yang berada diujung jalan itu. Gedung Mall itu terasa begitu sangat sombong bila dibandingkan dengan pasar tradisional yang becek. Tradisi di gerus zaman, mungkin itu ungkapan yang cocok. Modernisasi sudah didepam mata, sifat manusia yang hedonisme semakin terasa, gaya hidup glamour sudah masuk kesaraf manusia kota bahkan masyarakat kampung jua.
Beberpa kali kilat petir menyala mewarnai malam hujan itu. Sesekali itu pula terlihat wajah wanita itu yang masih termangu menunggui dagangannya yang hampir jatuh dari meja jualannya. Pikirannya terlihat kosong, ini tercermin dari pandangan matanya, entah apa yang ia pikirkan sekarang. Mungkin ia masih memikirkan kejadian dua minggu lalu, dimana ketika itu ia ditinggal mati suaminya, atau mungkin ia sedang memikirkan anaknya yang masih kecil kecil dirumahnya. Baru beberapa hari ini ia berdagang, dan mencoba peruntungannya setelah suaminya meninggal. Sebelumnya ia hanya dirumah saja, hanya sesekali ia menggantikan suaminya, itu pun ketika suaminya terserang demam dan sakit.
Suaminya Pak Rohim, tertimpa penyakit mag’ akut. Mungkin ia kurang menjaga pola makan, begitulah kalau orang miskin. Boro boro menjaga pola makan, makan pagi ketemu sore saja sudah Alhamdulillah. Gejala penyakit Pak Rohim sudah ia rasakan sejak beberapa bulan lalu sebelum Pak Rohim dipanggil yang Maha Kuasa. Beberapa kali ia dirujuk kerumah sakit umum daerah untuk diperiksa. Tentunya melihat birokrasi rumah sakit yang rumit bin ngejelimet, apalagi harus mengurus keterangan miskin dari desa membuat Pak Rohim patah arang. Apalagi kelakuan rumah sakit yang terlihat 'alergi' melihat orang miskin sakit. Mungkin karena alasan itulah istrinya enggan balik kerumah sakit, ia lebih baik mengurus suaminya dirumah, ia hanya sanggup membelikan suaminya obat warung, kalu tidak ‘Bodrek’ yah ‘Promag’ itulah dua macam obat andalan orang miskin yang tidak mampu kerumah sakit apalagi beli obat resep dokter yang harganya selangit.
Setelah genap sebulan suaminya dipanggil keharibaan Allah. Sejak itulah ia menjadi janda dari delapan orang anak yang masih kecil kecil. Sejak ditinggal suaminya ia terasa gamang memandang hari depan. Karena kini ia tidak ada yang mengarahkan kemana harus  melangkah. Terbersit untuk mengakhiri hidupnuya, tapi ia ingat bahwa itu dosa besar, apalagi ia masih punya tanggung jawab yaitu anak anaknya yang masih kecil kecil.
Malam hari hampir tergelincir, Azan Subuh hampir menggema. Tak terkecuali dengan Ibu Farida. Wanita itu bergegas menyiapkan mukena nya yang disimpan dekat kotak duitnya. Ia mengibaratkan mukena nya sebagai barang yang sangat berharga hingga ia menyandingkan dengan uangnya.
Perempuan itu berdiri termenung dengan guyuran grimis hujan, rasa rasanya ia sedang menunggu seseorang. Benar ia sedang menunggu anak tertuanya, Zainab. Sebelum azan Subuh berkumandang biasanya anaknya Zainab sudah datang mengantikan ibunya yang hendak salat subuh di langgar. Pemandangan yang sangat jarang ditemukan, walau hidup susah, penuh dengan kekurangan tapi jangan sampai meninggalkan kewajiban yang lima waktu.
“Assalamualaikum” Terdengar suara dari kejauhan memberi salam, terlihat dari keremangan malam perempuan muda memberikan salam, lalu ia mencium tangan wanita tua itu. Ia zainab, anak tertua dari Ibu Farida. Ia pun memberikan serantang nasi untuk bekal dirinya dan ibunya sarapan dipasar.
“Lama sekali kamu ‘nduk’ “ Wanita itu yang sudah menunggu agak lama akan kedantangan anaknya. Ia memaklumi karena tidak biasanya ia telat, ia tahu bahwa hujan malam ini memaksa anaknya untuk datang agak terlambat dari biasanya.
“Hujan Bu’, lagi pula aku nunggu hujannya agak redaan, nanti sayang kalau nasi di rantang dingin terkena air hujan”.
Ibunnya pun bergegas pergi meninggalkannya dan langsung berjalan menuju langgar dekat pasar itu. Rasa rasanya wanita itu tidak mau ketinggalan untuk salat berjamaah dilanggar yang hanya 100 meter dari  pasar.  
Terlihat langkah kaki wanita itu sangat gelisah, derap langkahnya tidak beraturan, ia terlihat sangat terburu buru kearah langgar. Dilanggar terlihat para jamaah sedang merapikan barisan, tanda salat berjamaah akan dimulai. Hati wanita itu semakin gelisah, ia seakan akan dan bagai tertinggal pesawat yang akan ‘leanding’. Ia pun bergegas menuju tempat wudhu. Air yang dingin dimalam hujan itu tidak menyurutkan dirinya untuk salat. Dibilasnya muka dan tangannya hingga semua rukun dan syarat wudu terpenuhi, dan ia menyelesaikan wudunya dengan doa.
Ia lalu bergegas mengenakan mukena yang dibawanya. Mukena yang terlihat lusuh, hingga warnanya terlihat putih keabu abuan. Mungkin ia belum sanggup membeli mukena yang baru sepeninggal suaminya. Kebutuhan sehari hari untuk anaknya dianggap lebih penting dibandingkan dengan mukena baru. Dulu mungkin ia hanya tinggal meminta kepada suaminya untuk membelikan mukena yang baru, tapi sekarang hal itu mustahil ia lakukan. Suaminya hanya meninggalkan rumah, lapak pasar serta anak anak yang masik kecil kecil.
Dalam salat subuh itu ia begitu khusuk dalam setiap rakaatnya. Sesekali ia meneteskan air matanya ketika ia sedang bersujud. Mungkin pada saat itulah ia mengadukan nasibnya. Tak terasa sujudnya membasahkan sajadahnya yang lusuh. Entah apa yang ia keluh dan rasakan pada saat itu, hingga ia tidak bisa menahan air matanya. Hampir tujuh menitan ia terhanyut dengan kekhusuan salat, dalam alunan iman membacakan surat al Waqiah dan tidak biasanya imam membaca surat tersebut dalam subuh subuh sebelumnya.
Selesai salat. Seperti biasa imam membacakan doa, semua jamaah meng amini. Tak terkecuali dengan wanita itu. Ia tampak larut dalam alunan doa. Doa demi doa ia amini. Karena doa ia anggap tempat sebenar benar mangadu.
Selesai imam salat berdoa, perempuan tua itu pun belum saja beranjak dari duduk salatnya. Seakan ia masi kurang mengadu kepada Sang khalik. Beberapa penggal doa ia lantunkan :
Yaa Allah ketika Kau menciptakan manusia, hamba yakin bahwa Engkau sudah menimbang nimbang batas kesabarannya dengan ketabahannya. Ingin rasanya hati hamba ini tidak mengeluh kepada-Mu atas cobaan ini. Tapi inilah hamba, dimalam ini hamba ingin mencurahkan keluh kesah hamba, kesedihan hamba. Engkau tahu disetiap sujud hamba menitikan air mata, itulah tanda kelamahan, itulah tanda kedhoifan. Hampir beberapa minggu hamba ditinggal suami hamba,ia pun meninggalkan anak dan tanggung jawab yang besar kepada hamba. Hamba tahu Engkau mempunyai sifat ar Rahman dan ar Rahim, maka curahkanlah kasih-Mu itu kepada hamba, anak anak hamba, agar dihari depan hamba bisa menghadapi setiap jengkal cobaan-Mu. Jadikan anak anak hamba tumpuan hamba dihari tua, jadikan mereka orang yang terdidik, berikan segala kemudahan disetiap langkah hamba dan anak hamba. Wahai Zat yang Maha Pengasih, maka kabulkanlah semua doa hamba ini. Irhamnaa yaa Allah, Irhamnaa yaa Rahman, Irhamnaa yaa Rahim, walhamdulillahi rabbilaalamin.”

Itulah sebait doa Ibu yang masih saya ingat sampai sekarang. Alhamdulillah hampir semua doa ibu terkabulkan. Hingga kini anak anaknya beranjak dewasa. Dari delapan orang anaknya, empat diantara sudah menyelesaikan sarjana strata satu termasuk saya, satu sudah menyelesaikan S2, dan yang lain menyelesaikan tingkat SMA saja. Ini lebih dari cukup bagi kami, dari hanya berjualan sayur bisa menyekolahkan anak anaknya kebangku perkuliahan bagi kami suatu hal yang mengagumkan, apalagi kami berangkat dari keluarga yang kurang mampu sepeninggal ayah. Ketika itu ibu bekerja keras untuk kelangsungan hidup kami. Kini semua cita cita ibu terkabulkan dengan kesabaran dan keuletan mendidik anak anaknya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar