Powered By Blogger

Kamis, 20 Oktober 2011

Tembang Pilu Di Tengah Malam

Tembang Pilu
Di Tengah Malam
Oleh:
Muammar Khadafi


Cerita pendek yang ku tulis belum lagi selesai ketika dari kejauhan sayup sayup aku mendengar suara merdu perempuan menembang. Begitu merdu suaranya sampai sampai aku terbius dalam untaian syair nada suaranya. Segera telinga dan pikiranku bekerja untuk memastikan suara itu bukan berasal dari langgar tempat anak anak menyanyikan tembang salawat di langgar. Jika tidak salah ingat, ini adalah malam ketiga kalinya aku mendengar tembang itu. Pada kesempatan pertama dan kedua aku hanya mengira itu suara Hayatunnisa santriwati yang bersuara merdu yang berdendang untuk mengusir sepi di kamar mandi pondok yang sedikit angker. Ia mempunyai suara yang merdu dan mendayu dayu, mengingatkan aku akan Mimi Jamilah biduwanita gambus al Fatah yang terkenal di kampung ku. Tapi setelah aku tahu bahwa Hayatunnisa sedang pulang karena sakit, aku mulai berpikir pemilik suara itu adalah orang lain.
Ku dekatkan telinga ke daun jendela. Suara itu makin jelas terdengar dan seperti berasal dari sebuah gubuk di tengah kebun sayur. Apakah ada orang yang sedang berkemah disana? Aku mencoba menerka nerka. Barang kali juga. Sebab beberapa waktu lalu tempat itu pernah dijadikan objek penelitian sekelompok mahasiswa Bandung yang tengah mengadakan studi banding. Aku bahkan pernah mengunjungi mereka pada suatu malam, dan kulihat mereka membakar api unggun sambil bernyanyi.
Sedang aku berfikir demikian, tiba tiba suara itu lenyap. Berarti benar disana masih ada orang berkemah. Mungkin mereka sudah lelah dan malam sangat larut sehingga mahasiswi berhenti bernyanyi. Aku pun kembali kemeja komputerku. Setelah itu aku melanjutkan menulis cerita pendek dan berharap bisa selesai sebelum pukul dua dini hari karena minggu besok sudah aku kirim ke redaksi Radar Bekasi.
Namun, baru saja tanganku mulai mengetik tembang itu terdengar lagi. Kali ini amat pilu dan menyayat hati. Seperti lagu seriosa dalam suasana duka cita, dimana kepiluan milik orang yang menangis dan keharuan milik orang yang mendengarkan. Tembang itu begitu merasuk kedalam jiwa dan seakan akan akulah yang sedang ditujunya. Ia terus menembang dan menembang, sampai diriku tenggelam dalam keharuan yang bertalu talu.
Malam ini aku seperti tidak sadar. Aku terus menerus mendengarkan sajak yang sedih. Sajak berisikan air mata dan kenestafaan. Tanpa pikir panjang aku memberanikan diri untuk keluar walau aku tahu hujan sore tadi masih merintik rintik di atas genting. Ku ambil topi dan jaket, lalu keluar dari pintu belakang. Aku harus membuktikan dengan mata kepalaku sendiri apa yang terjadi ditengah kebun sayur itu.
Letak kebun sayur itu tidak jauh dari rumahku, tepat dibelakang pesantren dekat rumah ku. Letaknya hanya sekitar 700 meter. Tapi untuk sampai kesana aku harus melewati hutan bambu yang diselimuti semak dan belukar. Tempat itu gelap dan sunyi. Ini memang salah satu sudut asrama pondok yang paling ditakuti para santri karena keseramannya. Pernah ada cerita ada santri kalong[1] yang tidak jadi bolos Muhadharah’ lantaran ia takut melawati keseraman kebun sayur itu, sampai sampai santri itu lari terkencing kencing.
Hal di atas juga di amini juga oleh Ustz Sohibul Hidayat teman sejawatku yang juga masih keturunan kiyai, ia merasakan suatu yang aneh .
Pernah juga aku akan membunuh ular hitam yang sembunyi didalam kamar asrama. Tapi oleh Ustaz Sohib niatku dihalangi, menurutnya, ular itu ular jadi jadian dari salah satu jin yang tidak sempat mengungsi. Dulu ketika sewaktu kiyai meninggal, ada sebagian khadamnya yang tidak sempat disuruh pergi. Mungkin khadam khadam itu sekarang menghuni pepohonan bambu di bekas pemakaman itu.
Percaya atau tidak, soal seramnya kuburan dekat  pohon bambu itu memang bisa menggoyahkan keberanian siapa saja. Pernah ada seorang pertapa yang ingin mendapatkan ilmu sakti di tempat itu. Pada sebuah batu nisan ia mengikat lehernya dengan seutas dadung[2]. Maksudnya, bilamana diganggu oleh roh jahat masih ada yang menahannya untuk lari. Tapi dasarnya orang yang penakut, sudah diikat begitupun dia tetap saja takut. Baru saja mendengar suara bunglon menjerit ia sudah tidak kuasa menyembunyikan rasa takutnya. Saking takutnya, ia bahkan tidak sadar kalau batu nisan yang diikat dengan dadung dilehernya ikut tercabut ketika ia lari.
Kesan lucu itu sedikit menentramkan hatiku walaupun bulu kuduk sempat berdiri juga. Aku yakin tidak ada yang bisa mengejutkanku di tempat ini sebab aku termasuk yang tidak percaya dengan cerita yang berbau mistik. Bukannya aku takabur, tapi begitulah caranya untuk melawan gangguan gaib. Roh jahat tidak akan menggangu orang yang tidak percaya dengannya.
Benar. Sepanjang jalan di hutan bambu itu aku tidak menemui sesuatu yang aneh. Kecuali bahwa tembang pilu dari arah gubuk di dekat kebun sayur makin jelas suaranya. Rintihan kesedihan perempuan itu seperti menahan gerak angin dan hujan untuk tidak menyentuh dedaunan pohon bambu.
Sejurus kemudian aku sudah sampai dikawasan kebun sayur. Dengan hati hati sekali kutelusuri pematang menuju gubuk yang terletak ditengah kebun. Beberapa kali aku sempat mengumpat karena jalan yang licin membuat kakiku hampir tergelincir. Untunglah umpatanku tidak terlalu ribut, sehingga masih ada harapan kehadiranku tidak mengejutkan orang yang sedang berada digubuk itu. Aku ingin perempuan itu masih menembang ketika aku datang.
Tiba tiba perempuan itu menghentikan tembangannya ketika tahu ada orang lain selain dirinya disekitar gubuk. Ia menatap ke arahku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Sambil menyeka wajah yang basah kuhampiri perempuan itu dan duduk disebelahnya. Ia kelihatan tidak ambil peduli dengan kedatanganku. Dari kilatan cahaya petir aku pastikan ia adalah perempuan yang cantik. Wajahnya ayu dan manis, aku kira usianya sekitar duapuluhan. Disaat itu pula aku merasakan betapa aku pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Tapi, entah dimana, aku sudah lupa.
Sayang sekali ia kelihatan letih dan pucat. Tatapan matanya begitu kosong bagai biji ketapang. Bibirnya yang tebal tampak kering dan pucat. Mungkin sebelumnya ia terlalu sering bergadang, atau kalau ia seorang penyanyi, ia terlalu sering naik panggung hingga larut malam.
Aku pun menyuruhnya untuk meneruskan menembang. Perempuan itu menoleh. Lalu memandangku lurus. Aku membalas pandangannya, seakan akan memberi semangat kepada dirinya.
“Lagu apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara parau.
“Suukaro,” jawabku tanpa pikir panjang.
“Selera musikmu tinggi juga,” katanya memuji.
“Dari mana kau tahu lagu itu?”.
Aku jawab bahwa aku pernah berteman denga seorang biduwanita. Dia sering menyanyikan lagu itu di panggung.
Dengan suaranya yang merdu mulailah ia menyanyikan lagu kesukaanku itu. Tubuhku seperti melayang layang dibuatnya. Panggung demi panggung aku datangi, wajah demi wajah kutatapi, sehingga melintas kembali wajah Robiatul Adawiyah dipelupuk mata. Sayang sekali aku tidak bisa berlama lama mengingat Adawiyah. Kini dia sudah ada yang punya. Rasanya baru kemarin aku datang kewalimahan mantanku itu. Pernikahannya begitu mendadak. Tiga hati sebelum ijab kabulnya ia memberitahukanku behwa ia akan menikah dengan laki laki pilihan orang tuanya. Aku sangat kaget mendengar kabar yang hanya lewat telepon itu. Kami pun menangis bersama dimalam itu, karena kisah kasih kami berakhir tragis diatas pernikahannya.
Belum lagi aku terbius dengan tembangannya. Lagu itu sudah selesai dinyanyikan. Ia bertanya kepada ku "Apa yang membuatmu tertarik dengan biduan?”.
“Aku pikir karena cinta,” jawabku.
“Cinta?” katanya seraya tidak percaya.
“ Kau tahu biduan itu milk orang banyak. Dirumah ia milik suaminya, di panggung ia milik orang lain. Dengan mencintainya, berarti kau siap menerima keadaannya”.
“Kan dalam hidup ini harus ada kompromi,” jawabku membela diri.
“Kita harus tahu mana batas matas toleransi dan mana batas batas yang tidak boleh dilanggar. Apalagi kami berangkat dari rumah yang berbeda. Seperti sajak penyair Kahlil Gibran, tidak selalu cinta seperti makan dari piring yang sama.”
“Kau punya bakat penyair rupanya,” pujinya lagi.
Wanita menghela nafas   kuat kuat. Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang hal dirinya. Ia pun menjawab bahwa dirinya adalah Umi Maria Ulfa.
“Aku Umi Maria Ulfa yang malang”.
Malang? Apa maksudnya? Padahal Maria Ulfa yang ku kenal adalah buduawanita termahal. Posisinya selalu menjadi bintang tamu yang hanya satu dua lagu menyanyikan disetiap hajatan kampung. Setiap ia ada show manggung ia pasti dikawal dan diantar dengan sedan mewah, begitu juga pulangnya. Satu hal yang membuatku tidak percaya, jika ia benar Umia Maria Ulfa, mengapa harus mengucilkan diri ditempat seperti ini. Ia tipe buduwanita yang pandai mendatangkan sorak sorai penonton. Aku ingat ketika menonton di kampung sebelah. Aku lihat bagaimana ia menyanyikan lagu habibi nya Amru diyab. Suara penonton riuh rendah memberi tepuk tangan.
“Lebih baik kau ceritakan semuanya dari pada di biarkan terus menyesakkan hati,” kataku memberi dorongan.
“Akan banyak sekali pelajan yang didapat oleh orang lain jika kau mau menceritakan pengalaman hidupmu.”
Ia menelan ludah. Tatapan matanya menengadah ke langit. “ Nazirin,” ucapannya tiba tiba. “Kemalanganku berawal dari dia.”.
“Sebelumnya aku tidak begitu mengenalnya, kecuali bahwa dia sangat baik disaat saat aku membutuhkan pertolongannya. Tapi itu ku anggap hal yang wajar dalam bergaul. Walau aku sempat bertanya dalam hati, aku belum bisa menyimpulkan secara pasti pikiran apa yang sedang berputar dalam benaknya. Baru aku tahu saat ia bermaksud menyatakan cinta dihadapanku. Karena tidak ada alasan lain untuk menolaknya, ditambah lagi aku baru saja ditinggal pacar, pernyataan cintanya itu lalu aku terima. Jadilah kami pacaran.”
Ia berhenti sebentar. Setelah menghela nafas panjang, lalu ia melanjutkan lagi."

“Tapi keindahan cinta yang kurasakan tak sampai dua minggu. Ia meninggalkanku begitu saja tanpa alasan alasan yang bisa ku mengerti. Katanya ia sedang diburu pekerjaan hingga ia kurang memperhatikan aku. Walau sebenarnya hati kecilku menerima, tapi aku sudah terlanjur kecewa. Aku mendendam kepadanya. Aku ingin menunjukkan kepada dirinya bahwa aku bisa mencari laki laki selain dia. Maka setiap laki laki yang menyatakan cinta kepada ku lalu aku terima dan ku tampung. Tapi terakhir aku hanya punya satu, yang lainnya tersingkir karena tak dapat memberikan kebahagiaan materi kepadaku. Dia adalah Zakaria.”

"Beberapa waktu kemudian Nazirin yang lepas dari kesibukan kembali kepadaku. Entah kenapa yang pertama aku mendendam kepadanya, malah kembali baik kepadanya, mungkin karena aku masih mencintainya. Katakanlah, ia dulu pernah memberi secercah harapan dan kasih sayang yang aku butuhkan, hingga ia mencairkan suasana hati yang dulu beku kecewa karena ditinggal cinta."

"Dalam diamnya Nazirin aku berusaha jujur. Ku bilang kepada Nazirin aku sudah mempunyai kekasih selain dia. 'Hebat kan, dalam sekali waktu seorang perempuan punya dua orang kekasih?'. Tapi Nazirin masih tetap diam dengan ejekanku".

"Singkatnya aku harus memilih antara Nazirin dan Zakaria. Baik Nazirin dan Zakaria masing masing mempunyai kelebihan. Zakaria banyak uang dan dermawan. Tapi sayang cintanya sudah terbagi, kerena dia sudah menikah dan mempunyai anak, aku hanya simpanannya saja. Nazirin, seorang yang keras kemauannya, tapi kehidupannya pas pasan. Mendengar katakataku Naizirin pun terpental. Mungkin karena kata kataku yang kasar kepadanya. Dua minggu lamanya aku tidak melihat batang hidung Nazirin."

"Setelah dua minggu itu, Nazirin lalu muncul untuk menawar cinta kepadaku. Alasan yang diberikan pun masuk akal, bahwa aku bukan sedang menawarkan harga mati. Ketika suatu hubungan belum terjalin tali pernikahan, setiap laki laki boleh mengajukan penawaran atas diri wanita. Ini wajar, sebab jodoh ditangan Tuhan. Orang boleh saja menentukan siapa pacarnya, tapi yang menentukan jalinan pernikahan adalah Allah. Walau terkadang kita mendapat barang secon dalam kehidupan ini. Walau sudah ku tolak mentah mentah kedatangannya kerumahku, tapi Nazirin tak pernah berhenti menunjukkan kesungguhannya kepadaku, ia berusaha menempuh jalan lain, menyuruh orang untuk mencari kabar tentang  aku. Tentu saja hal itu membuatku tambah benci kepada Nazirin. Ia seperti hendak menghalangi kebebasanku, ia seperti hendak merampas hak ku untuk mencintai Zakaria. Ini tak boleh terjadi, ini harus ku balas dengan lebih kejam."

“Puncak dari kebencianku meletup disaat ia mencegat ku setelah aku manggung ditengah keramaian.. Aku maki dia dengan kata kata yang sangat kasar yang sangat tidak pantas keluar dari mulutku. Sengaja aku lakukan didepan orang banyak agar ia merasa malu. Hari itu, setelah kumaki, ia pergi sambil memeluk buku yang hendak diberikannya kepadaku. Ia kelihatan pucat dan malu dan pergi tanpa menoleh kepadaku. Mungkin karena ketajaman kata kataku yang menusuk dan mengiris perasaannya. Akupun tertawa terbahak bahak, tawa penuh dengan kemenangan. Sebagai ucapan rasa syukur aku ceritakan kejadian itu kepada Zakaria yang kemudian ikut tertawa mendengar ceritaku. Agar Nazirin semakin tersudut, kuberitahu teman teman agar tidak meladeni pengaduannya. Aku juga menginginkan ia hancur di mata teman temanku."

“Setelah itu aku tidak melihatnya lagi, kabar tentang dirinya juga aku tidak pernah dengar. Ia seperti lenyap tanpa bekas. Dirinya, suaranya, suara sepeda motornya tak ku dengar lagi. Padahal aku menunggu nunggu kabar tentang dirinya. Baru pada satu malam aku mendapatkan petunjuk keberadaannya, sekaligus merasa kasihan dengannya. Aku bermimpi melihat ia berdiri didepan rumahku. Katanya, ia mau pergi ke suatu tempat. Ia meminta izin karena kepergiannya kali ini tidak menjanjikan dirinya kembali. Itulah satu satunya mimpiku tentang Nazirin, laki laki yang pernah membuatku simpati sekaligus benci. Mimpi itu terus menerus memaksa aku memikirkannya.”

Perempuan itu tersiak siak mengais sambil bercerita kepadaku. Bagian cerita yang memilukan dan menyedihkan.

“Selang satu bulan setelah mimpiku itu, aku mendengar kabar tentang Nazirin meninggal, ia menghembuskan nafas terakhir ditempat yang begitu mulia, dipelukan sang ibu, tepat dimana selama ini dia mengadukan penderitaannya. Seketika itu menetes air mataku. Aku menangis demi mengingat Nazirin sebagai orang yang sangat menderita. Kebencianku telah mengancurkan hidupnya. Ia merasakan sakit dari kata kataku hingga ajal menjempunya. Sungguh aku manusia yang paling kejam di dunia ini. Aku kejam karena tidak memaafkan kesalahan Nazirin yang sebetulnya tak perlu ku ambil hati. Aku kejam karena membalas kejujuran dan ketulusan cintanya dengan kata kata yang menyayat hati. Padahal ia meninggalkanku, hanya untuk bekerja dan mengumpulkan rizki untuk meminang aku bila uangnya sudah terkumpul. Aku salah sangka dan membuat kecewa. Bila saja aku tidak mempermalukan dirinya dihadapan orang banyak, tentu keadaannya tidak seperti ini.”

“Hari itu aku melayat kerumahnya. Kepada ibunya kusampaikan rasa bela sungkawa dan permohonan maaf. Kucium tangannya seakan akan ia juga ibuku yang tidak boleh ku sakiti hatinya. Berdua kami saling menyeka air mata tangis dan kedukaan. Wanita itu kemudian mngelus ngelus rambutku dengan penuh kasih sayang. Tapi tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia telah kehilangan kata katanya, ia telah kehilangan segala galanya, anak tumpuan hidupnya, harga dirinya, yang semua itu akibat ulah dan kata kataku. Aku telah membuat wanita itu menanggung malu karena anak laki lakinya kuhina. Bagi wanita itu, penyesalan dan permohonan maafku sudah terlambat. Penyesalanku akan membuatnya semakin menderita, setiap kali aku meminta maaf setiap kali itu juga ia  menangis untuk anaknya.”

“Setelah kematian Nazirin, aku seperti kehilangan gairah hidup. Aku jadi sering menyendiri dikamar, menyesali perbuatanku dengan menangis dan melamun. Di saat yang sama aku juga harus menanggung malu keluarga.”

“Tiga hari lalu aku sampai disini, beban penderitaanku yang membawa aku sampai kesana”.perempuan itu sambil menunjuk kearah pintu air tanggul sawah.

Hari sudah hampir subuh aku masih mendengarkan cerita wanita itu. Sesaat Azan subuh menggema seantero jagat. Aku mengajaknya lekas pergi akan tetapi ia menolak.
“Jika kau maksud untuk menyembah Tuhan, pergilah dan tunaikanlah sendiri. Aku tidak bisa melakukannya karena sudah lama aku melupakan Tuhan. Aku mahluk terkutuk.”
Aku mengernyitkan alis, bulu kudukku bangun. Apakah ia bukan manusia lagi. Demi Tuhan, mudah mudahan aku tidak sedang bertemu orang yang sudah mati. Tanpa menoleh lagi kearahnya aku tinggalkan dirinya sendiri digubuk, aku telusuri jalan pulang kerumah. Aku harus cepat cepat pulang.
                                                            *          *          *

Siang hari kuajak beberapa orang penduduk memeriksa keadaan pintu air. Arus yang deras mengisyaratkan sesuatu yang mengerikan terjadi disini. Isyarat itu diperkuat oleh ceceran darah yang telah mongering. Setelah memanjatkan doa ku suruh dua orang dari mereka untuk menyelam kedalam kubangan pintu air yang arusnya deras. Beberapa waktu kemudian mereka sudah kembali dengan mayat seorang perempuan yang hampir rusak. Itulah Umi Maria Ulfa, perempuan yang ku temui semalam ditengah gubuk kebun sayur sungguh malang nasib biduanita itu. Kepalanya remuk terhantam benda keras. Rupanya sebelum terjun, ia membenturkan kepalanya terlebih dahulu kedinding pintu air. Ia mati bunuh diri.

“Tolong kuburkan jenazahnya selayak mungkin,” kataku kepada orang yang sedang megangkatnya.
“Wanita itu masih manusia juga.”
Sebelum beranjak pergi ku sempatkan diriku melihat kepusaran air. Dibawah sana, Umi Maria Ulfa sedang tersenyum dan melambaikan tangan kearahku. Kini ia telah bebas dialamnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar