Powered By Blogger

Kamis, 20 Oktober 2011

Teman Baru di Ujung Sore Stasiun Pasar Senen

Teman Baru di Ujung Sore Stasiun Pasar Senen
Oleh:
Muammar Khadafi


Senja sudah mulai turun ketika kereta jurusan Yogyakarta tiba di peron 2 stasiun Senen. Sebagaimana umumnya kereta kelas ekonomi yang murah meriah, hampir seluruh gerbong terisi dengan penuh sesak manusia yang hilir mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Sore ini langit jakarta begitu mendung, setumpuk buku yang ku beli dari pasar Kwitang untuk melengkapi tugas sekripsikuu akhirnya terbeli juga. Sudah hampir tiga bab tugas skripsiku rampung tinggal menuju acc dosen pembimbing untuk mengesahkan proposal skripsiku di universitas yang aku tinggali selama kurang lebih tiga tahun aku menuntut ilmu. Tugas ini sangat melelahkanku, fisik maupun pikiran, dan entah sudah berapa banyak aku hunting ke tempat penjualan buku untuk menyempurnakan tugas akhirku ini.

"Boni sudah saatnya engkau berangkat " ujar aku kepada sahabat baruku Boni.
Boni adalah teman yang baru ku, aku mengenalnya baru beberapa jam yang lalu di stasiun Pasar Senen ini, tapi obrolannya seperti sahabat yang sudah kenal bertahun tahun itu karena ia tipe orang yang sangat terbuka, ia tampak lugu dan terbuka dalam bercerita.
Sebetulnya ia baru beberapa hari berada di kota Jakarta yang kejam ini, dan rencanya ia akan tinggal lama. Tetapi karena ada masalah, suasana kota metropolitan yang di idam idamkan berubah menjadi kegelisahan hati, akhirnya ia memutuskan untuk kembali  kekampung halaman Wonogiri.
Telah banyak yang ia ceritakakan kepadaku walau aku baru kenal ia beberapa jam yang lalu. Mulai dari ia menjual sapi kesayangannya dikampung untuk ongkos pergi ke Jakarta, sampai kecopetan diatas kereta, semua pengalaman yang menyusahkan itu ia curhatkan kepadaku tanpa melihat aku dan dia baru berkenalan beberapa jam yang lalu, pengalaman yang tidak enak itu menjadi bahan tertawaan kami pada saat kami penat  menuggu kereta yang lama datangnya. Aku menunggu kereta listrik jurusan stasiun Bekasi, sedangkan Boni menunggu kereta jurusan Jawa.
Tapi yang paling menarik dari cerita tentang Boni adalah cerita Megamustika, pacarnya yang sudah hampir setahun meninggalkannya kekota Jakarta. Wajahnya tampak tegang dan memendam emosi yang sangat dalam pada saat ia menceritakan kisahnya dengan Megamustika itu.
“Bayangkan Mas, jauh jauh saya menyusul kesini, malah ia memtuskan hubungan pacaran kami,” katanya lirih dan sedikit emosi.
Kisahnya diawali dari hubungannya dengan Megamustika semasa dikampung. Pertalian kekerabatan yang masih sangat kental di kampung meraka memaksa ia menjalin tali kasih  dengan wanita yang ia gambarkan manis, berkulit kuning langsat. Ibarat botol dengan tutupnya merekapun merasa cocok jika hubungan yang mereka jalin diteruskan sampai kebangku pelaminan. Hanya saja Megamusika mengajukan persyaratan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan setelah ia menyelesaikan kuliahnya di Jakarta.

Boni setuju saja. Sebagai laki laki ia cukup moderat dan tidak neko neko. Malahan ia siap membantu jiwa raga seandainya kedepannya Megamustika membutuhkan bantuan moril maupun materil. Maklum sedang kasmaran remaja bau kencur, jangan kan uang, nyawa pun akan dipertaruhkan.
Maka berangkatlah Megamustika ke Jakarta. Layaknya orang akan berpisah lama merekapun saling bertangisan, saling memberi dan menerima pesan, bahwa ia akan saling bertukar kabar. Perpisahan itu pun mereka rayakan dengan mengadakan pesta kecil kecilan yang diselengarakan mereka berdua di kebun singkong yang tak jauh dari rumah mereka, dan undangannya pun mereka berdua saja maklum private party untuk remaja yang dimabuk kepayang. Disitu mereka bermain cinta ala remaja bergaya barat yang tentunya dilarang oleh semua agama dimuka bumi ini hingga mereka berdua tertidur lemas dikebun singkong.

Seminggu, sebulan, hingga hampir setahun ternyata Megamustika tidak juga memberi kabar. Wanita pujaan Boni hilang tak ada kabar bagai ditelan belantara kota Jakarta. Hal yang sama juga dirasakan oleh kedua orang tua Megamustika. Sejak  keberangkatannya ke Jakarta mereka belum menerima kabar sehelai suratpun.
“ Seperti ada yang kurang beres, Mas,” kata Boni mengenang.
“ Orang kuliah pasti butuh uang, kok dia malah tidak pernah meminta uang.”
Satu satunya harapan yang tersisa adalah pertemuan di hari raya Idhul Fitri dimana Megamustika pasti pulang mudik kekampungnya. Ternyata harapan itu pun pupus dan tidak terwujudkan. Megamustika tidak pulang untuk berlebaran dikampung halaman. Boni pun menjadi cemas. Padahal sebagai pacar ia tidak kurang kesetiaanya kepada Megamustika. Ia tidak mendua, juga tidak mencari pacar gelap  untuk melampiaskan kesepian hatinya yang ditinggalkan Megamustika.
“ Sejujurnya Mas, catatan harian saya tentang dirinya sudah tiga buku, malahan hampir empat buku,” katanya mengenang.
“ Saya tulis itu sebagai persiapan jawaban surat yang ia kirimkan, tetapi kenyataannya sehelai surat pun ia tidak kirimkan kepada saya”.
Dalam kecemasannya tiba tiba terbesit keinginan untuk menyusul ke Jakarta. Saya teringat dengan kata kata terakhir Megamustiga dalam private party di kebon singkong dulu.
Jangan lupa menyusul aku ke Jakarta Bon, di sana kita akan lebih bebas melakukan ini. Begitulah kata kata terakhir Megamustika ketika kami selesai berlemas lemasan di kebon singkong.

Berbekal informasi yang minim akhirnya Boni pun menyusul pujaan hatinya ke kota Jakarta. Tujuannya ialah stasiun Pasar Senen dari situlah ia akan mencari kontrakan Megamustika yang kabarnya berada di dibelakang pertokoan Cempaka Putih.
Sepanjang perjalan Boni mengkhayal mebayangkan pertemuan yang ia nanti nanti. 
Disanan kita akan lebih bebas, itulah kata yang terngiang dari mulut Megamustika. Ia membayangkan Megamustika meringkusnya di kasur kontrakannya di Jakarta dan bermain cinta setiap hari disana.
Kata kata itu pula yang memberikan spirit untuk ia berangkat ke Jakarta yang belum ia kenal sama sekali. Sepanjang perjalanan ia rela berdiri berdesak desakan dan membiarkan tempat duduknya digantikan orang.

“Mungkin pada saat itulah saya kecopetan,” katanya getir mengenang peristiwa itu.
"Sengaja saya selipkan uang saya di kaus kaki, tapi ternyata copet Jakarta tahu membedakan mana bau kaki mana bau duit.”

Untung Boni tidak kehilangan semua uang yang ia bawa. Sebagian uangnya disimpan di kantung pelastik dalam tasnya.
Lega rasanya ketika ia menjejakkan kaki dipelataran stasiun Pasar Senen. Pertemuan dengan Megamustika ia bayangkan beberapa menit lagi . Dengan langkah langkah pasti ia telusuri jalan jalan sibuk kota Jakarta menuju Cempaka Putih, beruntung ada yang berbaik hati mengantarkan kealamat yang ia tuju.
Perasaannya berbinar binar ketika tangannya mengetuk pintu kamar kontrakan Megamustika. Sebentar lagi detik detik yang ia nantikan akan terlaksana. Pasti atmosfer yang akan berkembang akan berbeda dan seru dibandingkan dengan kejadian dikebun singkong yang sangat gila itu.
Pintu terbuka. Megamustika tidak siap menerima kedatangan arjunanya itu. Ia hanya mengenakan roh yang ala kadarnya. Ia gugup dan tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Megamustika selain diam seribu bahasa melihat wajah Boni yang baru saja datang.
“Kenapa kau kesini?” Mega dengan perasaan kesal.
“Kenapa katamu?Aku menaggih janjimu, manis!” jawab Boni dengan penuh percaya diri. Megamustika hanya bisa menghela nafas.
“Seharusnya engkau menunggu kabar dari ku dulu”.
“Sampai kapan aku menunggu, ku tunggu kabar dari kamu tidak ada selembar suratpun yang kamu kirimkan, sampai sampai lebaran kemarinpun engkau tidak pulang.” Boni yang sedikit emosi.
“Aku datang kemari bukan untuk bertengkar, aku datang kemari untuk menagih janjimu,  ikrar kita dikebun singkong dulu, moso aku harus kembali lagi ke kampung, kereta saja butuh istirahat apalagi manusia.” Entah karena Megamustika kasihan atau karena ia sayang, akhirnya ia mempersilahkan aku masuk.
“Kau boleh tinggal beberapa hari disini, sekarang aku mau pergi dulu, jika ingin makan pesan jasa di warung makan sebelah biar nanti aku yang bayar.”
Bruk’, pintu dibanting tanda ia meninggalkan dikontrakan ini. Megamustika begitu saja meninggalkannya tanpa peduli.
Boni merebahkan  tubuhnya diatas lantai. Beberapa saat ia menerawang jauh hingga tiap jengkal dinding yang dihuni berbagai macam jenis pakaian dalam wanita yang sebelumnya ia tidak pernah liat dikampung halamannya. Pakaian siapa ini? Ia patut bertanya tanya karena apakah mungki Megamustika mengenakan pakai yang sangat seksi ini.

Sebelum ia memejamkan mata, suara ketukan kamar mengema seyara berkata, “Kantin mau tutup, apa mau pesan makanan?”. Tanya suara dari luar pintu.

Malam hari ia tidak kunjung pulang jua, yang ada hanya wanita kontrakan sebelah yang menurut Boni sangat seksi busananya. Boni pun menghampirinya dan berniat mengorek informasi apa saja yang Megamustika lakukan selama setahuan ini. Ia pun bercerita bahwa Mega jarang sekali pulang kalaupun pulang ia sangat larut malam, wanita itu sedikit mabuk, ini tercium dari aroma alkohol dari mulutnya, deretan botol miras tercecer dilantai kamarnya, abu dan puntung rokok tanda wanita ini perokok berat. Sesekali ia menawarkan minumannya kepada Boni, dengan sopan dan halus ia pun menolak.
Informasi yang Boni inginkan pun didapat. Kata wanita mabuk itu Mega sedang happy happy di puncak. Apalagi ia sedang banyak duit, maklum ia sedang laris berat pasarannya. Boni sesekali menggigit bibirnya sendiri, darahnya mendidih. Ternyata ini yang dilakukan Mega selama setahun belakangan ini, kuliah hanya kedok saja agar ia di ijinkan untuk pergi ke Jakarta.
Keesokan harinya Mega pun pulang. Hari itu sudah hampir pagi, beberapa saat azan subuh menggema seantereo Jakarta. Boni pun tidak perlu menanyakan dari mana Mega karena ia sudah tahu dari wanita mabuk itu, ia pun malah berpura pura mendengkur dan membiarkan matanya kelilipan sesuatu ketika Mega melangkahi wajahnya.
Di atas kasurpun Boni melihat Mega merebahkan tubuhnya bagai karung beras yang sudah tidak berisi. Wanita itu kelihatan lelah sekali sehingga ia tidak sempat menganti pakaiannya, yang ada hanya kaus ketat ala model barat dengan rok yang sangat mini. Rok itupun tergulung hingga pangkal pahanya terlihat jelas putih mulus.
Karena sudah tak tahan menahan birahi, Boni pun mengendap ngendap mendekati wanita itu. Dielusnya leher wanita itu, diciumi sekujur tubuh molek wanita itu, berlahan ia buka kaus yang wanita itu kenakan, tidak lupa rok yang ia kenakan. Wanita itu benar benar pulas hingga pada saat Boni melancarkan agresi meliter ia tidak merasakan dan tidak bangun. Boni pun tidak menyia nyiakan kesempatan itu, ia pun melakukan pencurian besar ala koboi teroris yang merampok bank.

“Tidurmu semalam begitu pulas hingga aku tak mau membangunkan mu pada saat aku pulang” ujar Mega ketika Boni bangun pagi. Boni hanya tertawa dalam hati. Apakah ia tidak salah dengar? justru wanita itu yang tertidur sangat pulas hingga ia tidak tahu bahwa kalau ia baru dirampok Boni.
“Aku tidak mau mengganggumu yang sudak lelah, makanya aku tidur saja, lagi pula tak ada gunanya aku menggamumu” ujar Boni seraya membalikan badannya yang masih tidur.
“ Kalau begitu kapan kamu pulang?”.
“Setelah engkau melunasi janjimu di kebun singkong itu, disini kita akan lebih bebas” ujar  Boni.
“Kau kira aku perempuan murahan, yang gampang di ajak tidur oleh mu” Mega yang tidak menyukai kata kata Boni.
“Kenapa kau kira aku tidak sanggup bayar? Jujur saja uang yang ada disakuku masih ada empat juta”.
“Bajingan!” Mega sangat emosi.
“Memang kau tidak murahan, makanya aku langsung memberi empat juta, bagaiman, bisa kita putuskan?”
“Yah kita putus, hubungan kita putus sekarang”
“Aku telah menduga itu jawabanmu” Boni memberekan pakaiaannya kedalam tas. Ia hanya mencuci mukanya dan sedikit merapikan rambutnya yang acak acakan.
“Sebetulnya kau wanita murahan, bahkan lebih murah dan rendah dari anjing, setelah ini segeralah pergi kedokter kelamin, seingatku ada beberapa helai buntut kudaku tertinggal didalam.”
Sambil bersiul siul Boni meninggalkan Mega yang melongo dan terbengong seperti orang sakit jiwa. Siulan Boni bertambah nyaring ketika mendengar sumpah serapah yang keluar dari mulut wanita itu.

“Begitulah Mas ceritanya,” katanya mengakhiri ceritanya kepadaku.
“Tapikan kau sudah merasakannya” aku yang sejak awal diam tak menimpali ceritanya.
“Jadi kau tetap untung kan”.
“Saya pikir itu permainan yang cantik dalam kehidupan yang serba dusta. Hubungan kalian diawali dengan kenegatifan, kamu takut tidak ada perempuan lain yang dapat menjadi istri mu selain dia. Pacarmu takut kalau masa depannya hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Ia melanjutkan sekolahnya di Jakarta yang sangat ganas ini, tapi pacar kamu salah bergaul akhirnya ia terjerumus kelembah penuh dosa dan nista, kau juga salah merampok wanita itu…” Boni pun tertawa menerima nasehatku.
“Mas benar. Sekarang makin mantap saja keinginanku untuk pulang”.
Aku menepuk habunya Boni “ Sebetulnya bukan kamu saja yang mengalami kegagalan cinta, akupun pernah mengalaminya. Yakinlah, jika sembilan puluh sembilan wanita menamparmu, yakinlah yang keseratus akan menciummu.” Aku sambil tertawa kepada Boni. Kami pun berbagi tawa ditengah hiruk pikut sesaknya stasiun Pasar Senen yang ramai.
Ku lepas keberangkatan Boni hingga kepintu kereta. Aku ingin ia segera hilang dalam sesaknya kerumunan penumpang kereta ekonomi jurusan Jawa. Dengan demikian aku bisa segera pulang ke Bekasi dan berhenti mendengar ocehan dan cerita jorok yang ia lontarkan kepadaku.
Tetapi ia seperti hendak menyampaikan sesuatu kepadaku.
“Ini alamat saya di Wonogiri Mas" katanya sambil menyerahkan secari kertas.
“Mampir kerumah kalau Mas kebetulan sedang ada di Yogya.”
Aku pun mengangguk, selamat jalan Bon’. Aku pun beranjak ke KRL yang baru saja datang. Dengan setumpuk buku untuk melengkapi tugas skripsiku, aku pun berangkat pulang meuju Bekasi ditemani senja di ujung stasiun Pasar Senen.     






Tidak ada komentar:

Posting Komentar