Powered By Blogger

Kamis, 20 Oktober 2011

Nasehat Sultan Merapi

Nasehat Sultan Merapi
Oleh
Muammar Khadafi

Diantarkan Syekh Jumadil Kubra, aku berkunjung ke keraton Sultan Merapi. Seperti biasanya selama lebih dari sepuluh abad belakangan ini, yang ia lakukan hanya bersila didepan perapian.
Punggungnya tegak, rambutnya tampak rimbun dan lebat, matanya tajam kedepan menatap, mulutnya mengeramkan sujumlah mantra yang dulu di ijazahkan oleh kanjeng Sultan keraton Jogya kesembilan.
Syekh Jumadil Kubra hanya terdiam dipojok sambil sedakep. Aku duduk tepat dihadapan Sultan Merapi yang penuh wibawa.
Setelah mengucapkan Hatur nuhun, ngapurancang dan sopan santun, aku memulai kalimat untuk saling menanyakan tentang keselamatan. Tapi alangkah terkejutnya, kata kataku dipotong oleh Sultan Merapi ; “Alangkah bodohnya kamu! Menanyakan perihal keselamatan kepadaku. Aku ini alam. Aku selalu selamat sejak sebelum, hingga ada sampai kembali tiada alam ini. Aku tidak pernah celaka, tidak pernah rugi dan tidak berurusan dengan keuntungan. Aku ini alam. Hakikatku kesetiaan dan keselamatan. Jika manusia merusakku, maka atas bencana sendiri akan menimpanya. Jika rizki Tuhan ada dipunggungku dikuras oleh manusia, maka mereka sendiri yang menyongsong kesengsaraan dan kematiannya. Jika nyanyianku dikacaukan, jika siang malamku diberi muatan berbeda, jika udaraku dikotori, jika langitku di robek robek, jika kemarau dan hujanku diubah iramanya, maka manusia sendiri yang menadahi penderitaannya.”
Aku lalu terdiam. Akal pikiranku bagai terbungkam. Tapi kemudian ku coba untuk membangkitkan jiwaku kembali untuk bertanya: “Sultan Merapi yang saya hormati. Hamba mendengar dari Syekh Jumadil Kubra bahwa paduka hendak meludah…”
“Aku tidak akan meludah! Aku akan muntah!” kata kataku dipotong lagi.
“Paduka handak muntah?” aku mencoba untuk terus bertanya.
“Aku hendak muntah! Aku bahkan sedang merencanakan untuk batuk besar!”. Betapa cemasnya aku mendengar statement Sultan Merapi itu.
Muntahku kali ini tidak sembarang muntah!, suruhlah para Biksu, Abdi dalem, dan para Kiai dan Ustaz agar mereka mengatakan kepada saudara saudaranya yang tingga dilereng dan kaki selatanku untuk bersiap siap akan muntahan muncratanku. Aku punya kemungkinan memuntahkan batukku kerah manapun jua, keselatan, kebarat, ketimur, kemana saja sesuai yang dititahkan kepadaku. Aku juga punya kemungkinan untuk tidak sekedar batuk atau muntah, melainkan mengeram, mengaum, meledak atau meluluh lantahkan siapa saja yang hidupnya terlalu bangga dan tidak tahu diri.”
Hawa panas menghembus dari mulut Sultan Merapi. Tampaknya beliau benar benar sedang naik pitam.
Aku tidak begitu mengerti, oleh sebab itu aku minta anter kepada Syekh Jumadil Kubra untuk menghadap Sultan Merapi saat ini. Syekh Jumadil Kubra masih terlihat hanya terdiam disela sela pembicaraanku dengan Sultan Merapi.
Dengan perasaan yang penuh kecemasan, aku mencoba mengemukakan kandungan hatiku:
“Paduka Sultan Merapi yang hamba junjung tinggi hamba mengerti itu semua. Hamba juga merasa bahwa yang hina ini belum tentu berhak mengetahui apa yang melatar belakangi keinginan Paduka. Tetapi apapun soalnya, apapun sebabnya, masih mungkinkah kemarahan Paduka Merapi bisa ditawar.
“Ditawar?” Sultan Merapi menjawab dengan nada keras, “Jadi kau pikir bahwa aku ini seorang saudagar.” Hatiku semakin ciut, tetapi tetap kucoba mengungkapkan kandungan hatiku: “ Bukan begitu, Paduka. Hamba ini seorang yang lemah hati. Kalau Paduka meludah satu dua tetes saja, maka seluruh perkampungan kami akan tenggelam. Kalau Paduka memuncratkan dua tiga titik api saja maka seluruh perkampungan akan hangus dan musnah terbakar. Kalau Paduka meniupkan satu dua hembus hawa panas dan debunya maka kami semua akan sesak nafas dan mati. Yang hamba tanyakan hanyalah satu: apakah penduduk diperkampungan hamba adalah manusia manusia yang paling besar dosanyasehingga kamilah yang paling pantas paduka panggang dengan api?” tidak mungkinkah Paduka melontarkan ludah dan muntahannya ketempat para pendosa berat yang bermukim di negeri ini ? kenapa harus kami? Bukankah kami ini justru tergolong makhluk yang hanya mendapatkan jatah amat sedikit dari hasil alam di negeri ini?. Bukankah kami tidak tergolong maling maling kelas kakap yang doyan makan kayu hutan hingga gundul?, bukankah kami tidak tergolong dari orang yang makan kue masyarakat?, bukankah kami …?
Belum selesai kata kataku mendadak Sultan Merapi memalingkan wajahnya dariku. Tubuhnya bergetar. Dari kepalanya keluar bulatan bulatan asap putih. Terdengar suara gemuruh. Mulut Sultan Merapi terbuka, menyemprotkan muntahan muntahan berwarna kelabu, hitam dan merah.
Badanku menggigil. Keringat dingin mengepul dikulitku. Jiwaku luluh lantah, sedangkan Syekh Jumadil Kubra hanya diam duduk bersila berlahan lahan ia tertelungkup bersujud. Dan aku, tiba tiba terpental kesebuah dataran. Kera, babi, sapi, ayam berhamburan. Semuanya ludes. Manusia berhamburan dan sebagian lenyap tah terlacak, mungkin mereka sudah dimakan ‘wedus gembel’. Orang orang terpanggang hawa panas. Orang orang merintih dan menangis. Tangisan dan rintihannya sampai masuk kelubang keabadian.
Ketika aku menoleh betapa kagetnya aku, ternyata Sultan Merapi sudah disampingku. Kali ini wajahnya tersenyum, dan beliau berbisik dengan lembut: “ Gusti Agung menyatakan kehendah-Nya tentunya dengan caranya sendiri. Ia melakukan segala yang dimaui-Nya, Beliau tidak bisa diatur atur, apalagi di interpensi. Apakah kamu pikir saudara saudaramu yang menderita di hadapanmu juga mendrita dimata-Nya? Apakah kamu kira Tuhanmu sedemikian bodoh dan tidak berperasaan sehingga kau bilang ia menyengsarakan hamba hamba-Nya yang seharusnya dimuliakan? Pernahkah kau tengok kembali ilmu dan pemahaman tentang kemuliaan, tentang kehinaan, tentang kebahagiaan dan penderitaan? Pernahkah kau amati kembali apa beda keberuntungan dengan kesedihan, padahal Tuhanmu lebih tau apa yang kamu belum tahu. Tidakkah kamu membaca rahasia Tuhanmu dibalik kejadian dan cobaan ini?.”
Aku lalu terdiam mendengar nasehat Sultan Merapi itu, hatiku bagai diiris sembilu mendengar kata katanya. Aku baru tahu bahwa ini merupakan hak prerogatif Tuhan Agung. Lalu aku berpikir bagaimana keadaan Syekh Jumadil Kubra, sang juru kunci itu. Ternyata ia sudah meninggal. Innalillahi wa innaailaihi rajiuun.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar