Powered By Blogger

Rabu, 21 September 2011

Ketika Surga Menjadi Sepi

Ketika Surga Menjadi  Sepi
Muammar Khadafi

Dalam kelamnya hari hari ia masih saja memikirkan masa lalunya yang begitu pahit, ia masih termenung sendiri dalam kelamnya jiwa yang hampa. Entah apa yang ia pikirkan, mungkin ia dan Tuhan yang tahu. Hakikat cintanya yang dahulu begitu manis kini menjadi pahit, kadang kala pula rasanya begitu hambar, mungkin ini yang dinamakan metafora cinta yang menjadi tanpa rasa. Aku berupaya menyelami pikirannya yang terus menerawang jauh diantara langit langit yang tak bertepi, samudra yang maha luas, jagad raya yang maha semesta. Ranting pohon kini mulai menguning, dahan dahan mulai rapuh, daun daun mulai berguguran diantara latar rumah yang mulai kotor, begitu pula dengan cintanya yang esa lagi kuasa, ia tidak bergeming dari peraduannya, tak beranjak meninggalkannya, hanya langkah langkah yang tak pasti lagi ragu yang ia kini jalankan, cinta dahulu membuat nestafa sekarang, hatinya galau dan resah, kadang kala ia menagis, meratapi nasibnya yang tak kunjung gembira. Sepi sunyi kini ia menyendiri dalam nestafa cinta, merana dan kecewa, aku bahkan hampir kehabisan kata kata untuk mentafsirkan perasaannya. Sampai kapan ia begini, apakah sampai jiwa menutup raga, atau sampai tanah pekuburan menutup sang jiwa, sampai kain putih disandingkan dalam aroma bunga pandan menjadi satu padu dalam kesendirian tanah pekuburan. Dulu ia sabar dan bijaksana, ia arif lagi berperangai halus, kata katanya berjiwa hingga yang mendengarnya sedikit nestafa, urai kata menjadi sabda, titahnya menjadi firman, katanya suci bagai air Gangga yang terus mengalir dalam titah Tuhan, derasnya jiwa bagai di iris sembilu, kadang ia menangis dan kadang ia tertawa dalam kesendirian, aku hampir putus asa melihat kenyataan ini, mungkinkah ia kini telah gila atau hanya nestafa, hati dan perasaanku hanya meraba hati dan pikirannya. Beberapa saat ia menatapku dengan tatapan tajam, nanar matanya menusuk ulu hatiku, seolah ia mengatakan bahwa hatinya sedang merasakan kesedihan yang teramat sangat, aku dibuat tanpa kata dan tanpa makna olehnya, ia memancarkan kesakitan hati yang begitu semesta, debar debar jantungku menjadi rasa diantara raga yang terus dihujam olehnya, sampai aku tak bisa memastikan kataku benar atau salah. Ku pastikan hakikat hatinya adalah nestafa, ini kuyakini karena tetes air matanya yang terus berayun ayun dalam kelopak matanya,  mungkin sakit yang tak terhingga hingga ia merasa sepi diantara taman taman surga, surga menjadi sepi karena orang yang sangat di cintainya kini mengkhiyanatinya, perpisahan menjadi jalan terakhir bagi takdir cintanya, sudah beberapa tahun ia merangkai kata dan bahagia, bersamanya ia menjadi peraduan yang bercinta, masih teringat sangat saat ia mencium kening kekasihnya yang ia rindukan saat itu, begitu manis dan wangi bagai bau kesturi dari taman taman surga, mungkin wangi kekasihnya tidak dapat dilupakan olehnya, ingatannya menjadikan garis cintanya menjadi abadi dalam naungan cinta yang maha quddus. Wahai sang pecinta, aku tahu hatimu sedang berduka, nestafa atau bahkan gilla seperti gilanya Qais tanpa Laila, namun begitulah esensi cinta, kadang ia menjelma kedalam bahagia, kadang pula ia menjelma dalam nestafa, dahulu tasbih tasbih cinta engkau telah bulirkan, engkau bersujud atas cinta yang suci diantara mimbar dan  dan altar cinta, engaku kini kaku dan bisu diantara penyalib cinta, aku ucapkan salam untuk hatimu yang sepi sunyi, tanpa isi tanpa esensi, hingga selamanya hatimu menjadi sepi, hingga kebahagiaan surga engkau tidak cicipi. Untuk para pecinta yang tersakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar