Powered By Blogger

Kamis, 08 September 2011

Riwayat Penggali Kubur/Cerpen

Riwayat Penggali Kubur
Oleh
Muammar Kahadafi

Hampir dua tahun ini aku masih hidup menyendiri. Kebahagiaan yang hilang direnggut dengan kepergian Umi Kalsum. Hari hari yang sepi dan sunyi senyap dimakan kesepian. Pikirku melayang diantara khayalan khayalan dimana ketika itu aku tempatkan cinta diatas segalanya. Mungkin hidupku yang sekarang bersikap Juhud, meninggalkan hingar bingar keramaian dunia yang fana ini.

Setelah musim panen dikampung kami selesai, perenunganku pun pindah diantara gundukan tanah yang menyembul keluar. Yah’ sekarang aku sering merenung dipemakaman kampung. Diantara orang orang yang telah dikebumikan waktuku aku habiskan disana. Aku bagai orang gila yang nestafa, kegagalan cinta membuat hati terluka dan berkarat sekarat karatnya. Diantara hilir kembali orang yang mengantarkan mayat keliang lahat, disitulah aku bersemayam dan termangu dalam kesepian.

Didalam kesepian kadang kala aku ditemani Pak Rohim, Pak tua penggali liang lahat orang mati.  Aku pikir ia sudah terlalu tua untuk ukuran lelaki penggali kubur, walau aku tahu bahwa pekerjaan itu sudah ia lakukan sejak ia masih muda. Aku pikir bahwa Pak Rohim adalah orang yang sulit dicari saat ini, ia istiqomah dan konsisten menjalankan pekerjaannya. Pak Rohim pun bercerita banyak tentang pengalamannya menggali kubur. Pengalaman pertamanya menggali kubur ialah untuk jenazah Kiai Mustofa, itu pun sudah berlalu hampir lima tahun yang lalu. Ia selalu berfkir betapa bahagianya bila ia bisa mengikuti jejak Kiai Soleh itu, yang meninggalkan dunia dengan penuh keikhlasan dan khusnul khotimah. Dan apabila pikirannya sudah sampai pada kenangan wanginya masa muda, seluruh perasaannya terbawa emosi dan terharu yang berakhir linangan air mata yang tdak berkesudahan. Masa muda yang penuh gejolak dan keinginan, perasaan yang tumbuh membahagia diantara harapan harapan darah muda, hal itupun tercermin oleh sikap beliau yang veteran santri Kiai Mustofa. Masa muda saat dimana ia dirasuki gejolak cinta, saat perasaan mencintai begitu indah dan sebaliknya perasaan dikhiyanati begitu menyedihkan jiwa. Kadang kala Pak Rohim tidak habis pikir kenapa takdir cintanya begitu berliku, apakah karena ia cacat secara fisik hingga banyak anak perawan yang menolak cintanya itu?. Yang aku tahu ia cacat kaki akibat ia kecelakaan dimasa kecil. Dengan rasa keputus asaan itu pu ia mencenderungkan diri pada tanah pemakaman sebab itu mendekatkan dirinya kepada muhasabah kematian. Kematian yang tanpa bisa dikompromikan, tidak pula dapat ditawar walau seberapa tinggi tawaran kita. Tapi aneh, betapapun ia mengharapkan mati, namun kematian itu tidak kunjung jua menghampirinya. Untuk hal yang itu ia sering sekali mengeluh.

‘Ah, Allah belum juga menakdirkan aku mati. Atau barang kali ia tidak meridhoi orang orang yang berputus asa seperti halnya aku. Tapi aku bukan berputus asa menerima cobaan ini. Aku hanya ingin lekas mati, agar tidak lagi melihat kepahitan kepahitan hidup dan serba susah ini, kerusakan dan kebatilan meraja lela dimana mana’ keluh kesahnya didalam hati.

Dan seperti hari hari sebelumnya, bulan bulan sebelumnya, bahkan seperti tahun tahun sebelumnya, kejemuan dan kebosanan melanda hatinya. Dan apabila rasa itu melanda hatinya, perasaannya menjadi kosong seketika. Ia merasa dirinya begitu ringan dan seolah olah melayang dihantam angin. Tapi apabila pikirannya itu sampai pada masa kenangan jantannya, dimana ketika itu ia pernah ikut dalam suatu moment peperangan melawan penjajah, hatinya kembali mengeras. Dan ia memungkin mungkinkan perasaannya, andai saja katika saat itu ia meninggal dunia, mungkin ia sudah menjadi syuhada perang. Kemudian ia merasakan perasaan yang gaib merasuk kedalam jiwanya menyebabkan ia menjadi kembali kedirinya. Kenangan itu begitu jelas terpampang disaat saat ia menjadi pejuang diwaktu itu. Disaat ia dalam keadaan kekosongan jiwa, ia masih ingat api perang melawan penjajah begitu mengelora yang hampir meruntuhkan tombok pesantren yang pada saat itu sebagai benteng para santri hampir roboh terkena bedil Belanda. Dimana menara surau pesantren hampir rata terkena meriam Si Jagur. Ia pun masih ingat ketika sang Kiai berpesan menjelang ajalnya.

‘Rohim, jadilah raja dalam diri sendiri. Raja tauhid dan hati tawakal melawan kezaliman’. Kata kata itu dulu tak pernah ia pahami sepenuhnya. Tapi kini setelah usianya menjelang senja, kata kata itu bagai darah yang mengalir disetiap pembuluhnya.

Orang tua itu menarik nafas begitu panjang. Seolah itu adalah nafas yang disambung atas nama kehidupan. Tubuhnya menggigil diterpa angin yang semilir mengoyangkan dahan dan ranting pekuburan. Ia pun masih tetap mengayunkan cangkulnya menimbun tanah penggalian kubur. Beberapa kali ia berhenti untuk menarik nafas yang sudah tersengal sengal. Tubuhnya yang sudah renta seakan berkata bahwa dirinya sudah tidah kuat lagi untuk menggalinya. Tubuhnya basah berpeluh dengan keringat yang membasah diantara kaos yang ia kenakan saat itu. Semilir angin menghebuskan aroma bunga yang rasa rasanya baru ditabur hari ini dimakam yang baru ditinggalkan oleh pelayatnya. Dedaunan kamboja bergoyang tertiup angin dan panas sudah merembet diantara peparingan yang merindangi area kuburan.

‘Sebentar lagi tanah ini akan menerima tuannya’. Orang tua itu bicara seperti ada orang lain didepannya. ‘lahad ini bukan untukku, ia akan memangku jasad Ishadi, moga moga ruhnya diterima dan dilapangkan di sisi Allah’.

Kini orang tua itu duduk sambil mengusap peluh keringatnya yang mengalir diantara dahi, leher hingga area perutnya. Ia berpaling melihat kejauhan. Ia mendengar kecauan burung pipit yang menari nari diantara rerimbunan pohon beringin yang tumbuh lebat. Ketika burung itu hingap dan pergi, kepala orang tua itu pu menengadah kelangit, lalu berujar pelan ‘burung itu terbang begitu tinggi. Mungkin ia terbang menuju surga. Alangkah damainya disana’ . orang tua itu lalu terbatuk batuk. Kemudian ia meneruskan penggalian liang lahatnya. Tapi tiba tiba tanah itu mengeluarkan air. Basah merata menggenangi galian kuburnya. Orang tua itu lalu menggumam dalam hati ‘kasihan si Ishadi , tanah ini becek dan bermata air. Mungkin ia akan kebasahan dan kedinginan diantara selimut kafan yang ia kenakan dimalam pertamanya dikuburan ini’. Dijamah jamahnya tanah yang yang basah dan becek ia dalam liang lahad. Ia bicara dan terus bicara seolah ada malaikat yang menemaninya berbicara. Tapi akhirnya ia pun bangkin dan merayap keatas dari liang lahat itu. Tak lama setelah ba’da Asar, tampak olehnya serombongan orang berkalimat tauhid dan bertahmid menuju arahnya.

‘Assalamulaikum yaa ahli kubur minal muslimin wal muslimat wa insyaallah hubikum lahikuna walakumul afiat’. Suara salam yang memaksa ia bangkin dari dalam kubur itu. Dan manakala orang yang membawa mayyit itu menurunkan dari kurung batangnya. Orng tua itu lalu tersenyum sambil memejamkan mata dan menengadahkan kepalanya kelangit, dan berujar dalam hati ‘Yaa Allah kapankah aku menemui takdirku?, alangkah bahagianya Ishadi yang Engkau panggil hari ini yaa Allah’ tanpa disadari air matanya berderai dn berlinang tak tertahan. Sementara suara tahlil meneradang diantara jerit hatinya yang begitu mendambakan kematian.

Allah belum juga mau memanggil dirinya yang sudah renta itu. Disaat rona tua sudah tercermin dintara wajah dan tubuhnya. Disaat itu, setelah orang yang melayat tersapu diantara keheningan pekuburan kampung yang tertinggal hanya dirinya seorang diri. Tubuhnya bergetar dan menggigil. Tulang tuanya yang selama ini menopang tubuhnya yang renta tiba tiba merapuh. Hanya tonjolan rusuk iganya yang jelas dari diri orang tua itu. Mungkin ia menggigil karena diterpa angin senja, atau bahkan karena ia kelelahan setelah mengali kubur Ishadi. Setelah eranganya yang terakhir, ia pun tertidur diantara gundukan tanah merah mayyit yang masih segar tertabur bunga tujuh rupa.

Hampir lima puluh tahun sisa umurnya ia habiskan dipekuburan itu, mengabdi seorang diri menjadi penggali kubur. Tanah kubur hasil wakaf masyarakat kampung desa yang kurang lebih luasnya 2000 meter persegi. Disanalah makam satu satunya yang dimiliki desa. Tak  terbilang lagi berapa jumlah jezanah yang telah dikebumikan. Tak terhitung lagi berapa nisan telah ditanam. Orang tua itu masih ingat benar  betapa lima puluh tahun yang lalu ia masih bisa menghitungnya, berapa jumlah mayyat yang menggunakan nisan dan yang tidak. Tapi kini setelah kuburan itu dipenuhi para mujahid perang yang syahid di Sasak kapuk Pondok Ungu, setelah itu kia tidak ingat lagi berapa jumlahnya. Mungkin lebih banyak dari jumlah orang yang masih hidup di kampungnya. Ia masih ingat sekali ketika ia menggali makam untuk para suhada Sasak kapuk, saat itu ia membantu memakamkannya. Dan diantara yang mati syahid itu ialah anak kandungnya Yazid.

Ketika ia ingat Yazid seketika itu ia mengalirkan air mata. ia mengenang akan anaknya yang saat itu berjuang malawan penjajah. Namun malang nasibnya ia mati terkena mortar belanda. Dibenaknya ia berpikir ‘Berbahagialah kau anakku, kau ikut mati bersama pejuang syahid, dimakamkan bersebelahan bersama orang yang soleh’. Kembali air mata orang tua itu berlinang mengingat anaknya. Lalu ia melanjutkan ‘kenapa, kenapa aku tidak berhasil seperti halnya kau yang meninggal meninggalkan keharuman syahid? Apakah aku ini laki laki pengecutdan tak berani menembus panasnya peluru?’.

Tiba tiba bagai digerakkan oleh mukjizat, diraihnya baju dan cangkulnya, dengan langkah merunduk dilangkahkan kakinya. Terbayang kini dalam ingatanya. Istrinya yang selama ini ia tinggalkan sendiri di rumah. Kini timbul keinginan untuk bertemu dan pulang kerumahnya.

‘Demi  Allah kalau saja aku tidak ingat akan yazid anak kita, aku mungkin lupa kau sedang sakit keras’ lelaki itu berujar kepada istrinya yang terbaring dibalai kamar. Sudah tiga hari ini istrinya sakit, panas badannya sangat tinggi dan menggigil. Dan ketika ia hendak menuju kekamar mandi untuk membersihkan kakinya yang berlumpur. Dari suara kamar terdengar suara dan sesekali rintihan istrinya .‘kau bawa jamu pak?’. Lelaki itu menjawa ‘ bawa, nanti aku seduhkan setelah aku membersihkan diriku dari Lumpur ini. Istrinya terdiam, nafasnya tersengal sengal, mungkin ia terkena sesak nafas atah bahkan meriang yang tak berkesudahan.

Malam itu setelah ia sembahyang mabrib. Lelaki tua itu lalu menyeduhkan jamu untuk istrinya. Sesekali ia mengusap kepala istrinya. Ia rasakan hawa panas dari diri istrinya. Didalam hati ia sesekali bergumam, ‘yaa Allah lebih baik kau panggil aku terlebih dulu, jangan kau panggi istriku’. Air matanya membasah diantara pipinya yang hitam terbakar matahari. Di malam itu rasanya ia dipanggil oleh Allah. Ia pun merasakan meriang yang tak terhingga disekujur tubuhnya seperti halnya istrinya yang mengigil kedinginan.  Ia bahkan menebak bahwa hari inilah ia akan di panggil oleh yang maha esa.

Malam itu ia sembahyang sunnah sebanyak banyaknya. Seolah ia ingin menebus hari harinya yang lalu ketiak ia sering meninggalkan salat. Malam itu ia sembahyang begitu khusuk, seolah panca indranya semua terkunci, hanya hatinya yang menuju Allah. Doanyapun tidak biasanya, malam itu ia munazatkan doanya yang panjang sesekali ia menitikkan air mata dan sesegukkan. Tak lupa ia mendoakan istrinya agar diberi kesembuhan, jikalau ada yang dipanggil lebih baik ia yang di panggil terlebih dahulu.. hampir menjelang fajar ia masih duduk berzikr diantara tasbih dan sajadahnya yang sudah usang.

Setelah ia melongok keadaan istrinya dikamar, panas badannya sudah turun. Mungkin istrinya sudah baikan. Ia pun berpamitan pagi itu untuk berangkat kemakam. Pagi itu suasana makam begitu sunyi dan senyap. Hanya sesekali suara jangkrik yang menggelitik telinga. Mungkin setelah hujan malam tadi binatang masih malas keluar dari sarangnya. Tak terkecuali dengan kubur ishadi yang dikebumikan kemarin, kuburnya basah dan bunga yang ditabur diatas kuburnya berserakan kebawah.

‘Allahu akbar’ mulutnya berzikir, cangkulnya berayun menancap diantara tanah yang masih basah. Orang tua itu memulai pengaliannya. Setelah hampir satu jam ia berjibaku dengan galian kubur, tubuhnya berpeluh dengan keringat yang membasah disekujur badannya. Sesekali ia menyeka keringat yang jatuh diantara wajahnya. Sebentar ia berhenti, dan merasakan kepalanya sakit dan pusing. Matanya berkunang kunang. Dengan rasa sakit yang ia rasakan ia itu, ia tetap melanjutkan ayunan cangkul yang bertubi tubi menghantam galian makam. Rasa lemah menjalar keseluruh badannya yang kisut dan tua. Ia lalu melihat kebawah lubang kubur, dalam benaknya ‘tinggal meratakan ruang lahat jasad saja’.

‘Di sini nanti aku berbaring, rasa rasanya Allah sudah mau mengabulkan permohonanku’. Beberapa saat ia giatkan tangannya untuk membuat liang lahat mayyit. Setelah pekerjaan itu selesai, akhirnya ia bangkit dan naik keatas. Dilemparnya cangkul itu jauh jauh. Ia terduduk malas diatas timbinan tanah hasil galian kuburnya. Demikian ia berpeluh dengan keringat, dibaringkannya badannya diatas gundukan tanah itu. Yang terasa kini pusing yang tak terhingga, matanya berputar putar. Ia rasa bumi ini bagai diputar putar. Ia merasakan langit berputar.

‘Yaa Allah, pekerjaan suci ini telah selesai. Kini hambamu sedang menanti malaikat Izrail Mu.’ Kemudian ia pejamkan mata. ia tahan nafasnya dalam dalam perebahannya. Ia mencoba matikan panca indranya. Dipusatkan pikirannya hanya kepada Allah. Ia mencoba hanya mendengar suara hatinya. Tetapi maut belum saja menghampirinya. Berulang ulang hal itu dilakukan tapi hasilnya sama. Belum berhasil.

Dalam keinginan matinya itu ia dengar derap langkah menuju arahnya. Semakin lama semakin mendekatinya. Sesekali ada yang memanggil namanya dari kejauhan itu. Sebenarnya ia mencoba mengacuhkan panggilan itu. Tapi konsentrasi matinya akhirnya terganggu juga. Ia bangkit dan melihat siapa oaring yang memanggilnya. Dari pintu gerbang makan terlihat serombongan orang yang berduyun duyun membawa kurung batang. Ia pikir, siapa lagi yang mati. Dan ketika beberapa orang mendekatinya, baru ia tahu bahwa diatara orang yang membawa jenazah ia adalah tetangganya.

Berirng dengan salam kubur. Serombongan itu berkata ‘lahat sudah siap?’. Pak Rohim sudah tahu bahwa istrinya akan meninggal hari ini, makanya ia sudah menyiapkan kuburnya’ ujar salah satu dari serombongan mayit itu.

Orang tua itu menarik nafas panjang. Dan dari mulutnya keluar keluh bagai menyesali dirinya. ‘ternyata Allah lebih sayang pada istriku’, seketika itu air matanya mengalir dan membasahi pipinya, menagisi istrinya yang hari itu meninggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar