Powered By Blogger

Kamis, 08 September 2011

Prasasti Yang Tak Tertulis/Cerpen

Cinta ; Prasasti yang tak Tertulis
Oleh
Muammar Khadafi

Malam ini angin terasa dingin sekali, mungkin angin laut yang bertiup kedarat malam ini. Kata orang tua dulu angin ini adalah angin penyakit. Tapi malam ini kami masih asik saja duduk di meja makan seafood itu. Sudah sejak lama aku tidak ngobrol panjang dengan pamanku Zubair murikh, sejak ia jatuh sakit, tepatnya satu tahun yang lalu ketika ia terserang stroke tiga bulan setelah ia menikahi Encingku, Masitoh yang kini sedang menggugat cerai pamanku itu. Tatapan matanya  sedikit kosong, ku perhatikan, mungkin ia sedang memikirkan gugatan cerai Istrinya itu. Aku bahkan tidak habis pikir kenapa Encingku begitu tega menggugat cerai pamanku ketika ia sedang sakit dan sudah mulai membaik dari penyakit yang menghinggapinya.

Hampir seminggu tiga kali aku mengantarnya terapi yang berada didepan Wisma Asri itu, sepulang dari terapi kami pun mampir kerumah makan seafood untuk sekedar nostagia masalalu ketika pamanku itu bermukim di Pakistan ketika itu ia sedang studi disana. Ia teringat dan bercerita akan temannya yang bernama Hamzah[1] yang telah gugur sebagai syuhada di Afganistan. "Cinta adalah sebuah prasasti yang tak tertulis, semuanya penuh dengan misteri. begitulah  Hamzah berujar yang anak Bupati Serang itu kemudian menuturkan alasannya menikahi gadis dari keluarga biasa. Ia tidak mempunyai keberanian untuk menikahi gadis kota yang berubah idialismenya menjadi kapitalis hedonis. Saat itu aku tidak begitu paham dengan maksud pesanya. Saat itu  aku dengan sejumlah teman Mujahidin asal Filipina Moro tengah sibuk mengevakuasi Amransyah[2] yang terluka parah.

Baru setalah Hamzah berpulang untuk selama selamanya aku memahami maksud dari kata katanya itu. Ketika itu Abu Hani komandan Mujahidin asal Palestina meminta kami yang masih hidup menulis surat untuk keluarga Hamzah di Serang Banten. Aku kebagian menulis surat untuk istri dan anak anaknya. Aku bingung karena tidak tahu apa  yang aku katakana. Lama berpikir akhirnya aku putuskan menulis pesan yang ku kirimkan dan  di akhir surat itu aku sisipkan kata : Syahid Hamzah telah mengabdikan dirinya untuk agamanya dan Allah, Mak Cik harus sabar. Kebersamaan dirinya dengan Mak Cik membulatkan tekadnya untuk menanti lebih dahulu di surga firdaus.

Sebuah pesan yang tak lebih dari sebuah sindiran kepadaku. Sebab Hamzah banyak tahu tentang jalan hidupku. Karena saat kami mengangkat senjata di Afgan aku sering bercerita tentang jalan hidupku di Indonesia maupun di Pakistan. Aku masih ingat ketika itu aku mendapat tugas hiros (jaga) di camp latihan suhada di Afgan. Untuk mengusir rasa kantuk dan dingin kami berbincang panjang dimalam itu. Hamzah bahkan sempat mengatakan kerinduan akan anak dan istrinya yag berada di Serang Banten. Ia sangat rindu akan kedua anaknya serta istrinya yang pada saat itu katanya paling cantik se Banten dan sekenanya. Pada saat keberangkatannya ia bercerita, pada saat itu anaknya yang kedua masih menyusu dengan ibunya. Ia juga mengatakan kerinduannya dengan kampung halamannya, dengan salak, emping melinjo, dan sambel petai buatan ibunya. Selesai bercerita kemudian ia bertanya kepadaku apakah aku mempunyai pacar atau calon istri. Aku hanya tersenyum, kenapa di saat saat yang genting ini, dimedan perang Afgan, kami masih saja sempat memikirkan urusan  lain. Tapi pertanyaan Hamzah itu aku tanggapi juga. Karena seingat aku, aku hanya sekali menjalin hubungan, maka aku ceritakan hubunganku dengan gadis bernama Lilis Rusydainah Ia adalah gadis alumni Attaqwa 1991. Jalan hubungan kami begitu pahit. Awal hubungan kami dinodai dengan hadirnya orang ketiga yang bernama Nur Kholis Wardi. Karena kehadiarannya lah aku memutuskan untuk mundur dari hubungan kami. Enam bulan setelah keberangkatan aku ke Pakistan Lilis menulis surat dan mengatakan bahwa ia telah putus dengan Nur Kholis. Ia mengatakan ingin kembali kepadaku. Dengan besar hati dan lapang dada kuterima niat kembalinya. Di tahun 1992, tepatnya bulan April ia mengkhiyanati janjinya dan menikah dengan orang lain.

Hamzah terperangah, "kok bisa begitu?". Lalu kujelaskan apa adanya, mungkin jarak yang terlalu jauh sehingga aku tidak dapat mengawasinya. Jarak, mungkin itu suatu penyabab berakhirnya hubungan kami dan keputusan Lilis untuk menikah dan meninggalkan aku. Namun terakhir aku mendengar kabar bahwa pernikahan Lilis dengan lelaki itu adalah pernikahan balas budi. Lelaki yang sekarang menjadi suaminya  telah banyak berkorban selama ibunya sakit. Itu ku ketahui ketika bertemu ibunya dalam kesempatan musim haji 1992. Sambil menangis ibunya memelukku dan meminta maaf. Aku kenal baik dengan keluarga besarnya Lilis. Kerena itu, walau telah gagal menjadi menantunya, selama berada si Saudi Arabia tak kurang sedkitpun perlakuan baikku kepada keluarganya khusunya ibunya. Datang kusambut, pulang ku antar sampai tangga pesawat.

Dari ceritaku itu mungkin Hamzah merangkai pesan yang bagiku terasa sangat istimewa. Ia sudah mengerti orang macam apa diriku, seorang yang jalan hidupnya penuh dengan keunikan. Disaat damai aku belajar di Islamabad University, disaat libur perang aku perang di Afgan, disaat sendiri akupun mengerjakan puisi, esai, ataupun naskan drama, disaat suntukpun aku kadang menulis lagu.

Kata “Prasasti yang tak tertulis” bukan tidak mempunyai makna. Justru ketika aku merenungi semakin banyak yang kutahu tentang rahasia cinta. Pengalaman menarik tentang ini aku jumpai pada musim haji tahun 1990. ketika itu aku bekerja di bagian pemberangkatan haji di bandara King Abdul Aziz Jeddah. Masa kedatangan jamaah haji yang telah mencapai puncaknya menuntutku untuk lebih cekatan dalam mem-booking bus-bus yang akan mengangkut para jamaah haji ke Mekah. Keadaan semakin padat karena bus-bus belum juga kembali dari Mekkah, dalam kolong-kolong tenda besar bandara masih banyak jamaah yang belum terangkut, kurang lebih masih ada enam keloter. Dengan inisiatif sendiri kuperintahkan jamaah asal Semarang menaiki bus-bus yang diparkir khusus untuk jamah Turki. Dengan cara itu aku berharap proses keberangkatan berjalan lancar, dan tidak ada penumpukan dibandara. Jamaah pun berhamburan masuk ke bus-bus sesuai dengan intruksi ku. Belum sempat para jamah duduk petugas 'Mahtab Wakala' menghalau mereka karena bus itu sudah di booking. Pada saat itulah ada jamah wanita muda melontarkan kekesalan padaku : Gimana sih, kok ngasih petunjuknya tidak jelas?, wanita itu kemudian pergi sambil mulutnya yang tak henti-hentinya memakiku.

Di Mina setelah melempar Jumrah secara tidak sengaja aku berpapasan dengan wanita muda itu. Ia memperhatikanku, seraya mengingatku orang yang membuat kesal dirinya. Aku juga membalas memperhatikan dirinya. Apakah dia yang dahulu memaki aku akibat kesalahan bus?. Aku baru ingat bahwa dirinyalah yang mempermalukanku dengan caci makinya didepan para jamaah lain akibat keteledoranku. Kami lalu hanya saling memperhatikan satu sama lain hingga hari terakhir di Mina kami tidak bertemu lagi.

Kami baru bertemu lagi di Jeddah di masa kepulangan para jamaah haji. Kala itu dimuka pintu bandara yang baru saja tiba dari Madinatul Hujjaj. Wanita muda itu sedang antri untuk memasuki check in. Rasa lelah karena semalaman penuh dengan tugas membuat aku kurang memperhatikan dari mana asal gadis itu di nomer keloternya. Aku hanya berdiri lesu di pintu masuk bandara sambil sesekali mengingatkan jamah yang sudah uzur agar memerikas kembali dokumen perjalanan hajinya. Disaat itulah aku mendengar sebuah suara  "Mas, pulang bareng yuk ke Indonesia!". Ketika ku toleh ternyata wanita muda yang membuatku kesal saat di Jeddah. Lalu aku balas dengan keramahan dan senyuman. Dan yang membuat aku terkesan dengannya adalah ia menghadiahkan sal batiknya. Katanya, supaya aku ingat terus dengannya. Kuterima pemberiannya diiringi dengan ucapan terima kasih. Dari caranya memandangku sepertinya ia menyukai aku. Sampai pada pintu counter  masuk pesawat ia masih mencuri-curi pandang kearahku. Akhirnya aku lambaikan tangan tanda selamat jalan perpisahan, dan ia pun membalasnya dengan tersenyum ceria.

Mungkin itulah cinta yang dimaksud Hamzah sahabatku. Cinta yang ia lukiskan sebagai “Prasasti yang tak tertulis”. Mula mula wanita itu membenciku, tetapikemudian menaruh harapan dan cintanya kepadaku. Seandainya pada saat itu aku tidak terikat dengan Lilis mungki aku akan menyusulnya ke Semarang.

Sebagai seorang yang memiliki sedikit jiwa seni aku mempercayai kebenaran kata kata Hamzah. Sifat dan karakter cinta memang demikian, hanya ada dalam kalbu yang begitu misteri. Ungkapan-ungkapan puitis tak pernah habis walau telah banyak pujangga cinta meminumnya dan mabuk bersama anggur cintanya. Dan setiap orang mempunyai jalan cintanya sendiri sendiri. Cinta merupakan takdir Tuhan yang tidak tertara misteriusnya, seperti halnya kematian dan rizki begitulah cinya. Cinta bagaikan fatamorgana, jauh ia tampak pandangan mata, tetapi bila didekati ia lenyap seketika. Cinta yang buta adalah cinta yang membutakan mata, yang menggadaikan iman dan kehormatan. Aku bahkan masih ingat ketika mendengar anak seorang Kiai hamil diluar nikah akibat salah menafsirkan ayat-ayat cinta, atau seorang tuan haji yang dengan tega menodai anak kandungnya sendiri dengan alasan cinta kepada anaknya, ia mengadaikan kesucian cinta yang berbalut nafsu setan. Orang yang sedang dimabuk cinta  tidak berpikir jernih Cinta memang memabukkan bagi siapa saja yang memimumnya.

Begitu banyak nasehat yang Hamzah katakan tentang cinta kepadaku. Aku sebenarnya tahu hal itu dikatakan Hamzah agar hatiku tidak sedih sehabis aku ditinggalkan Lilis. Katanya hukum Allah itu permanen tentang cinta. Empat abad yang lalu bahkan Allah memberi firmannya  kepada Nabi Mulia Muhammad saw :

“Laki laki yang berzina  diciptakan untuk mengawini (menikahkan) wanita berzina pula, atau perempuan musyrik ; dan perempuan yang berzina tidak dikawini  melainkan dengan lelaki yang berzina atau lelaki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang orang mu’min (An Nur : 3)

Begitulah kata Hamzah, suatu hal dikatakan pada ayat itu bahwa wanita atau lelaki penzina ditakdirkan untuk pasangan yang berzina juga. Kata itu membesarkan hatiku, mungkin Lilis bukan jodohku, mungkin juga Allah sedang mempersiapkan jodoh yang terbaik untukku.


Malam pun semakin larut, tak terasa sudah jam sepuluh malam. Makanan dimeja kami pun sudah hampir habis. Ikan bakar ala Seafood Wisma Asri sudah bersih dari piring kami. Ku lihat wajah pamanku begitu teduh seakan ia sedang memikirkan perasaan yang sangat berat. Mungkin ia sedang memikirkan gugatan cerai istrinya. Selesai bercerita tentang pengalamannya itu, aku lihat tetasan air mata membasahi pipinya, kini aku tahu betapa berat pikirnya saat itu. Sesekali memberi senyum kepadaku, seolah ia berupaya untuk tegar dan seolah tidak terjadi apa apa dengan dirinya. Ia bahkan sempat mempertanyai soal tugas kuliahku di kampus Unisma dan tentang teman perempuanku, walau aku tahu pertanyaan itu hanya untuk mengalihkan perasaannya saat ini. Sungguh malang nasibnya, belum sempat menikmati indahnya pernikahan keluarga sakinah ia sudah dirundung perceraian dengan Istrinya Masitoh.

Aku juga tidak habis pikir kenapa Masitoh begitu tega menggugat cerai dirinya ketika ia sudah mulai membaik dari sakitnya. Salah apa pamanku itu, kurang baik apa dia hingga jalan hidupnya begitu berliku. Apa ini yang dikatan “Prasasti yang tak tertulis”, yang sempat disinggung pamanku pada saat cerita itu, ia memprasasti kan nama Masitoh dilubuk hatinya walau aku tahu wanita itu telah melukai hatinya.

Hampir lima belas menit aku mencoba menyelami perasaan pamanku itu. Sambil memainkan sendok makan diatas piring yang sudah kosong sehabis makanku tadi, kuperhatikan wajah pamanku itu yang kini mungkin sedang dirundung rindu untuk istrinya Masitoh.





[1] Hamzah adalah mujahidin asal Indonesia yang datang ke Aganistan tahun 1989. Berbeda dengan kami yang datang sebagai sukarelawan, ia adalah angota paramiliter yang dilatih khusus. Juli 1990 ia gugur bersama tiga mujahid lainnya setelah pos jaganya dibukit Urgun digempur pasukan Russia sepanjang siang dan malam. Pesan itu disampaikannya ketika kami beristirahat setelah kecapean menuruni bukit, mengendong Amransyah yang terkena mortar sambil berlari.

[2] Teman alumni Ataqwa 1986. pada saa itu ia terkena pecahan mortar yang mengenai mata dan kakinya yang membuat ia cacat seumur hidup. Ia adalah veteran  mujahid yang kesepian, kesepian karena dulu sebelum ia berangkat ke Pakistan ia mengikat janji dengan Abidah bin Haji Taum tapi belakang ini Abidah menolak kehadirannya setalah ia mengetahui bahwa Armansyah cacat. Suatu ketika jika aku berjumpa lagi dengannya akan ku katakana kepanya “ cacat tidak cacat nasib kita tetap sama, dan Armansyah cacat berjuang di jalan Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar