Powered By Blogger

Rabu, 07 September 2011

Pondok Kiai Marzuki/Cerpen Kiai Noer Alie

Pondok Kiai Marzuki
Oleh
Muammar Khadafi
Semerbak angin bertiup diantara hembusan malam menyampaikan kerinduanku pada orang tua ku. Hampir dua bulan aku bermukim diantara pepohonan trembesi yang merindangi pemondokan ini. Jauh dari keramaian dan kebisingan, yang terdengar ditengah malam hanya derap langkah sang kodok dan jangkrik yang menyanyikan dilema hidup tanpa cinta yang merana.
Rasa rasanya aku masih ingat ketika ayahku mengantar aku kepemondokan ini, menembus jalan berliku melewati pematang sawah, kali, ‘tanggul’, dan ‘kalenan’. Diantara padi yang merunduk tanda untuk siap dipetik oleh petani yang penuh harapan dan ekspektasi akan hasil panennya. Aku juga masih ingat ketika ayahku dengan ringkihnya membawa karung beras untuk keperluan aku selama di pondok. Hampir hampir aku menitikkan air mata didepan ayahku yang semakin dimakan waktu karena rentanya. Hal itulah yang menjadi perenungan aku untuk belajar bersungguh sungguh di pondok kiai Marzuki. Memang benar kata orang tua dulu kasih sayang orang tua sepanjang zaman, kasih sayangnya tak lekang dimakan usia dan waktu. Tak bisa dibayangkan ayahku yang ringkih  membawa beban seberat itu dari kampungku Ujungmalang sampai di pemondokan kiai Mrazuki yang berada di kampung Sumur, Klender.
Akhirnya air mataku tumpah ketika aku memberanikan diri untuk menawarkan diri untuk menggantikan ayahku membawa beban yang ayahku bawa.
“Ayah capek?, biar Noer Alie saja yang membawanya menggantikan ayah!”. Dengan nada tersengau ayah menjawab.
 “Tidak usah, kamu cukup membawa buntelan pakaian itu, itu juga cukup berat”. Air mataku berlidang mendengar jawaban ayah yang badannya berpeluh dengan keringat yang membanjiri seluruh badannya yang ringkih. Tidak bisa aku bayangkan raga setua itu membawa beban yang sangat berat, hal itulah yang membawa aku teringat dan diselimuti kerinduan yang mendalam pada ayah, ibu dan kakakku.
Pemondokan kiai Marzuki memang sangat sederhana. Itulah kesan pertama yang aku rasakan ketika pertama kali datang di pemondokan ini.  Bangunan yang sederhana yang terdiri dari dua bangunan utama dan dua bangunan pendukung, bangunan utama ialah tempat dimana para santri menuntut ilmu yang digunakan sebagai kelas ta’lim dan bangunan pendukung ialah rumah kiai Marzuki yang mengapit kelas ta’lim dan surau pondok.
hatiku terus diselimuti rasa gelisah yang mendalam. Kerinduan, kebahagian, atah kesedihan yang aku rasakan saat ini. Kerinduan karena aku belum terbiasa berpisah dengan ayah, ibu, dan kakakku, kebahagiaan karena cita citaku untuk menuntut ilmu dan mondok akhirnya dikebulkan ayahku walau aku tahu dengan pemondokkan ini ayahku menjual beberapa ikat gabah yang kami hasilkan dari hasil garapan, hal itulah yang menyedihkan hatiku.
Sunyi senyap menyelimuti pemondokkan. Di kedinginan malam anganku terus menerawang diantara kerinduan yang tak berujung. Entah sudah berapa titik air mata yang membasahi kelopak mata ini, entah berapa kali aku ucapkan kalimat kerinduan yang berisikan cinta, kasih beserta sayang kepada keluargaku yang berada di Ujungmalang sana.
Sesekali angin bertiup diantara pepohonan yang udaranya masuk diantara bilik bilik kamar pondok, menghempas kulit membangunkan bulu roma karena dinginnya. Sesekali dingin ini menggigit diantara tulang dan sukma hingga memaksa aku menyibakkan kain sarungku yang khusus diberikan ibuku untuk selimut ketika rasa dingin itu mengganggu ku. Ibuku bagai sudah tahu bahwa aku dipemondokkan ini akan dihinggapi rasa dingin hingga ia menyiapkan kain sarung yang ia jahit khusus untuk selimut tidurku.
Baru saja aku pejamkan mata. Terdengar dari luar kamar derap langkah seseorang yang membuat aku terjaga. Aku tahu bahwa derap langkah itu adalah orang yang aku kenal. Kiai Marzuki yang membangunkan para santri untuk bangun salat ‘qiyammulail’ yang dilanjutkan sampai azan Subuh tiba. Hampir setiap hari kiai Marzuki membangunkan para santri untuk ‘qiyammulail’ kecuali ia sedang sakit ia akan membadalkan dirinya untuk digantikan oleh santri senior yang ia percayai. Aku pun dengan segera bangun dan menuju surau yang terletah disebelah pemondokkan.
Selepas zikir dan doa salat Subuh seperti biasa kiai Marzuki memimpin kultum. Dengan suaranya yang khas beliau memberikan kultum subuh.
“Lalu kemana pun manusia menghadap, maka disitulah  ‘wajah’ Allah swt, al Baqarah ayat seratus lima belas. Manusia kadang kadang lupa akan kehadiran Allah diantara dirinya, lupa juga akan tanda tanda kekuasaan Allah yang terdapat dalam semesta. Manusia bahkan lupa membaca ayat ‘qauwniyyah’ Allah, dimana Allah menciptakan langit tanpa tiang, gunung gunung yang dipancangkan agar bumi kokoh serta air hujan yang penuh berkah. Boro boro membaca ayat ‘qauniyyah’ Allah mebaca Quraniyyah Allah saja manusia malesnya minta ampun. Imam Al Ghazalai dalam kitab Ihya Ulumud Din pernah menjelaskan tentang tingkatan manusia yang membaca ayat ayat al Quran. Tingkatan yang pertama ialah orang yang membaca al Quran dengan khusu’ seolah Allah itu dihadapannya sehingga ia berusaha sekuat hati untuk membaca dengan benar sesuai dengan kaidah tajwid al Quran. Yang kedua, orang yang merasa sedang berkata dan menyapa padanya sehingga ia akan berusaha mencari makna dari kandungan al Quran, lalu melaksanakannya. Yang ketiga, orang yang dirinya merasa berdialog dengan Allah sehingga ketika ada perintah ia merasa langsung diperintah langsung oleh Allah, dan ia sadar akan keberadaan Allah.  Yang terakhir, ialah orang yang mengkombinasi pemahaman ayat Allah yang kauniyyah dan Quraniyah”. Itulah kultum yang masih aku ingat ketika kiai Marzuki memberi kultum salat subuh.
Pondok kiai Marzuki merupakan pondok ‘Salafi’. Dikatakan salafi karena pondok kiai Marzuki masih memegang teguh kitab kitab klasik yang dikarang oleh para ulama dan umaro. Kitab kuning dan ilmu ilmu alat seperti Nahhu, Shorop, Tajwid, dan Balaghoh.
Dalam malam yang hening ini, di selimuti kerinduan yang tak terhingga akan keluargaku. Aku masih terjaga. Aku ambil kitab yang kulitnya sudah mulai usang, karangan Imam Syafi’i, aku masih ingat ketika kiai Marzuki menerangkan bait pelajaran dari kata kata Imam Syafi’i. Ku buka halamannya pertamnya, yang aku selipkan catatanku bekas belajar malam yang lalu pada ta’lim kiai Marzuki.  Aku berharap dengan membaca buku dan catatanku mata ini akan lelah dan akan membuat aku tertidur. Ku baca sebait dari cacatanku itu yang bertuliskan Arab ‘Bygon’.
 “ Orang berilmu dan beradab tidak akan diam dikampung halamannya. Ia akan pergi keluar meninggalkan negerinya dan merantau. Kerana dengan merantau ia akan menemukan pengganti dari kerabatnya, keluarganya, kakaknya, ayahnya dan ibunya. Berlelah lelah dalam kerinduan akan orang yang dicinta lambat laun ia akan merasakan manisnya perjuangan di negeri orang. Aku melihat air menjadi rusak karena ia tertahan dan menggenang. Jika air itu mengalir pasti ia akan jernih, dan jika ia tidak menglair ia akan keruh dan menggenang. Singa yang masih betah disarangnya ia tidak akan dapat mangsa, lain jika ia meninggalkan sarangnya pasti ia akan tidur dengan perut kenyang. Anak panah jika tidak tinggalkan busunya ia tak akan berguna untuk mengenai mangsanya. Jika semua orbit galaksi tidak berputar sesuai khithoh Tuhannya pasti manusia akan bosan dan menyumpai Tuhannya. Biji emas tidak akan menjadi emas bila masih ada didalam perut bumi sebelum ia digali dan ditambang. Kayu gaharu tetap menjadi kayu sebelum ia keluar dari hutan dan berharga”. Bait kata mutiara itulah yang diajarkan kiai Marzuki yang diambil dari kitab Imam Syafi’i yang menguatkan aku akan rindu keluarga, kakak, ibu dan bapakku demi menjasi orang yang berilmu pengetahuan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar