Powered By Blogger

Rabu, 14 September 2011

Langit Syawal Penuh Cahaya Bulan Purnama

Langit Syawal Penuh Cahaya Bulan Purnama
Muammar Khadafi

Langit malam ini sangat teduh, diterangi bulan purnama Syawal yang hampir lewat aku masih saja disini, menyendiri tanpa teman tanpa kawan yang menemani, aku hanya ditemani suara tahlil yang redup redup terdengar dari mushallah dekat rumahku, ayat ayat itu aku sangat menganalnya, ayat Kursyi yang di alunkan sayu sayu oleh tuan Aji yang ku tahu mereka memang sudah lanjut usia. Entah hajat apa yang mereka sandingkan aku tidak menyimak terlalu dalam, sepertinya pengajian terakhir tujuh harian yang di adakan di Mushallah Nurul Falah. Bulan malam ini sangat bercaya, ia seakan tersenyum kearahku, walau aku tahu ia akan meninggalkanku dalam kesendirian lagi tapi aku tidak menyia nyiakan kehadirannya. Kedatangannya memang sangat singkat, tapi waktu singkat itu sangat berharga bagiku, sesekali ia diselingi cahaya bintang yang ku tahu cahaya begitu terang, aku jadi ingat ketika aku kecil, aku sering memandang bintang sampai kantukku tiba, aku bahkan masih ingat ketika menandakan bintangku adalah bintang yang tersusun rapih atas tiga bintang yang paling bercahaya, dimanapun aku berada pasti aku memandang dirinya, ia bagai pesona bagi dimensi kehidupanku, ketika aku sedang gundah, risau dan banyak masalah aku pasti pergi dan memandangnya, dan setelah aku memandangnya sejuk dan tentramlah hatiku dengan seketika.  Ia bagai bintang keberuntungan bagiku, ia memang gaib segaib nasib dan perjalanan hidupku saat ini. Oh angin, oh awan, rasa rasanya malam ini aku sangat ingin merangkai kata menjadi kalimat, menjadikan ia sebuah puisi dan prosa yang romantis walau aku tidak sedang jatuh cinta, seakan aku ingin katakan bahwa demi Allah yang maha megah dengan segala alam ini, aku dengan segenap jiwaku  terbius bisu dalam kesendirian yang menyenangkan, aku bagai dimabuk tapi aku tidak sadar kenapa aku mabuk, padahal aku tidak meneguk setitik anggurpun dari cangkir cangkir cintaku, aku bagai Rumi yang terjerat dimensi cinta yang semakin mendalam. Deburan angin seketika menyapaku membangunkan bulu roma yang selama ini tertunduk tak berdaya, seandainya aku jatuh cinta, mungkin sekarang aku sudah menjadi Khahlil Gibran dalam dimensi milenium, tapi sayang ati ini sudah membatu, mengkarang dan mengeras, entah hal apa yang bisa meluluhkan hati ini, hati mengkarat sekarat karatnya. Sepintas terdengar sayup sayup suara salawat atas Baginda Nabi Muhammad saw dari Mushallah itu, terdengar agak mendayu, aku tahu orang yang menganlunkan dan mendendangkan sangat rindu akan manusiayang Mulia yang bernama Muhammad saw. Aku seakan dibawa pada dimensi peradaban keemasan Islam dimana ketika itu kota Mekkah di Buka yang lebih dikenal dengan Fathul Mekkah, air mataku meleleh lagi ketika ingat saat saat perjuangan Nabi saw ku baca dalam riwayat Soheh tarikh Nabawiyah. Dengan perjuangan yang berpeluh keringat bahkan berair mata dan darah akhirnya kota Mekkah di taklukkan, Mekkah dibersikan dari berhala hala terkutuk dan nista, Hubbal simbol kesombongan kaum Quraisy dihancurkan simbol dari kemusyrikan, kota Mekkah kembali suci. Alangkah meronanya wajah Nabi saat datang dan sampai kekota Mekkah, beliau merasakan rindu yang teramat sangat ketika terbuang dan harus berhijrah atas anjuran Allah untuk kesalamatan beliau, tak sedikit sahabat yang menikkan air mata saat sampai ketanah suci Mekkah, tak terkecuali dengan sahabat Umar, Abu Bakar  yang terkenal dengan berhati keras, hatinya luluh didepan sang rotasi Bumi yang bernama Ka’bah, semua sahabat mencurahkan kerinduannya dengan isak tangis yang menyayat hati, sujud sujud suci terlihat, air mata tumpah kali kelopak kelopak mata yang ikhlas akan perjuangan keimanan atas nama Allah yang Maha segala. Tak terkecuali dengan sahabat Muhajirin, yang tangisnya meledak atas kerinduannya yang teramat sangat akan kerinduannya yang terpisah dalam beberapa waktu, sudah beberapa perang yang kaum Muhajirin lewati dengan sahabat Anshor, tapi kerinduan akan kampung halam memang sangat sungkan di ungkapkan dengan kata kata, lautan kalimatpun tak bisa mengungkapkan kerinduan akan keluarga yang terpisahkan, apalagi dalam kota Mekkah yang sangat suci dan di sakralkan. Tarikh Nabawiyah lagi lagi menguras air mataku, aku di buat tak berdaya akan penjelasannya, kalimatnya yang tercantum dalam kitab itu seakan akan membawa ku d kemasa masa  itu, sampai kelopak mata ini besah, sampai air mata ini jatuh dari peraduannya, sampai  jemariku takkuat meneruskan kata demi kata ini untuk menguraikan kalimat dalam tulisan ini, aku masih terbiaus dalam suasana kitab Nabawiyah. Ku tatap wajah Usman yang begitu tawadhu, diselingi senyum dan air mata wajahnya sangat terang seterang langit malam bulan Syawal ini, sehabis beliau bersyujud tanda syukur atas pembukaan kota Mekkah, beliau memeluk para saudara seiman, dibulat kain Ikhram wajah mereka sangat terlihat sangat bahagia, Khulafaurasyidin salingberpelukan satu sama lain, terbalut kain ikhram terakhit terlihat mereka memeluk Rasulullah degan sangat haru dan isak air mata yang menyertainya. Aku memang tak bisa menyaksikan, tapi membayangkan betapa tawadu dan berserinya wajah Rasulullah yang tergaris dalam kitab Sirah Nabawiyah itu.  Sampai keheningan malam ini menemaniku dalam kesendirian, aku  masih saja membaca Sirah Nabawiyah. Mata ini memang tak mau di ajak kompromi, tadi sore memang sangat kantuk tapi malam sudah bergulir hampir seperempat aku masih saja segar tak bisa tidur. Ditemani cahaya rembulan Syawal yang hampir tergelincir aku terus meneruskan kata demi kata hingga menjadikan ia kalimat, selamat malam rembulan Syawal di hari hariku pasti aku sangapt merindukanmu, semoga garis takdir mempertemukan di ramadhan depan hingga kita dapat bercumbu dalam malam malam syahdu penuh cinta dan doa sehingga ia meahirkan pahala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar