Powered By Blogger

Kamis, 08 September 2011

Menjaga Perasaan/Renungan Diri

Menjaga Perasaan
Oleh
Muammar Khadafi


Perasaan merupakan asal kata dari rasa, dan bertambah imbuhan Pe dan dan akhiran an. Penterjemahan suku kata rasa bisa kita cari dalam kamus besar bahasa Indonesia yang berarti suatu sensor yang diterima otak dalam ruang lingkup tubuh, perasa, perasaan, merasakan.

Kata perasaan biasanya sering kita temui dalam novel, cerpen dan cerita cerita lainya yang menyangkut dalam penokohan cerita. Biasa kata perasaan biasa kita ’kawin’ kan dengan kata cinta, patah hati, jatuh cinta, sedih dan sebagainya. Bahkan saya pernah dibuat pusing dengan yang namanya perasaan itu. Perasaan kantuk, yang saya alami saat inilah yang membuat saya ‘mumet’ bin ‘ngejelimet hingga lahir tulisan ini.

Perasaan yang resah dan merasa takut itulah hingga sepupu saya yang sedang studi di bumi para Nabi, Cairo Mesir ikut di evakuasi pemerintah Indonesia, alias pulang gratis karena tranfortasi dan akomodasi di tanggung oleh negara. Perasaan sedih juga melanda hati saya melihat gejolak reformasi ataupun revolusi yang melanda dunia timur tengah, Tunisia, Yaman, hingga Mesir yang masih bergejolak.

Sepintas kata perasaan menginpirasi tulisan ini yang entah saya mau bawa kemana arah tulisan ini. Rasa rasanya otak saya mau meladak dan ingin menumpahkan segala “PERASAAN” yang ada di buah pikir ini. Perasaan khawatir yang melanda negeri timur tengah membuat diri saya pusing karena memikirkan gejolak revolusi melati yang melanda negeri para Nabi. Mungkin sudah saatnya negara timur tengah belajar banyak dari negara yang bernama Indonesia yang melakukan transisi politik dan demokrasi dan berkaca pada kejadian 1998.

Dan sudah seharusnya juga para pemimpin Negara menjaga perasaannya. Menjaga merasaan rakyat akan ketidak puasan kenerja kabinetnya yang sering terlibat korupsi dikementriannya sendiri. Karena menjaga perasaan merupakan etika dalam literature Islam bahkan Rasullullah SAW menjadikan prasayarat sebagai Muslim sejati dalam menjaga perasaan.

Rasul bahkan pernah mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya  membuat orang lain merasa damai. Kata katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua duanya menjadi satu kesatuan untuh untuk membentuk karakter Islami (Islamic caracter). Hal ini saya katakan saat melihat kebrutalan menyerangan jemaat Ahmadiyah di Banten dan menewaskan beberapa orang. ‘Wong’ Islam rahmatan lilalamin, malah Islam menjadi ajab lil alamin. Jangan merusak Islam dengan perilaku yang tidak mencerminkan ke Islaman. Ingat, dunia sedang memfoto kita bagaimana prilaku kita selanjutnya mereka mungkin mengambil hipotesa dari sample kekerasaan Islam itu. Islam menjadi stigma radikal, anarkis, dan kejam. Yang rugikan Islam juga.

Kata kata bijak seseorang akan menjadi omong kosong jika perilakunya ‘kucing garong’ dan meresahkan siapa saja yang mendekatinya. Dan, perilaku mulia seseorang akan menjadi percuma jika kata katanya menyakitkan. Saya jadi ingat tentang ketika mendengar seorang yang bergelar S3 katanya terdengar sangat kasar dan tidak mendidik lagi menyakitkan hati. Mungkin ia lupa tentang mata kuliah yang ia ajarkan tentang kepribadian Islam ( As Syasyisiyah Islamiyah) yang menyajarkan bersopan santun hingga menapaki maqom Insan Kamil maqom yang paling tinggi. Sebab itulah Allah mengingatkan dalam al Quran yang mulia:

“Hai orang orang yang beriman, jangan kamu menghilangkankan (pahala) sedekahmu dan menyebut nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian (Al Baqarah : 264). Kata yang tidak seharusnya dari sorang yang bergelar tinggi itu mungkin saya amat sayangkan, walau hal itu hanya kata yang berkelakar dan bercanda akibat debat yang memanas yang mengakibatkan berpeda pandangan dalam hal Mazhab Islam. Muslim sejati menjadi perisai rasa aman bagi sekelilingnya.

Abu Qasim al Qusyairi dalam kitab al Risalah al Qusyairiyah, pernah menulis tentang etika. Beliau adalah ulama terkenal dan terkemuka yang lebih dikenal dengan nama Hatim, beliau pernah di datangi seorang perempuan yang ingin bertanya tentang masalah agama. Berbarengan dengan kata dan pertanyaannya kemudian perempuan itu mengeluarkan angin (kentut). Hatim lalu berkata, “Maaf, Anda tadi berkata apa?, mohon suara Anda lebih dikeraskan agar supaya saya bisa mendengarkanya” . Perempuan itu berfikir, Hatim sang ulama besar sepertinya mempunyai pendengaran yang kurang atau tuli karena ia tidak mendengar suara kentutnya yang memang bersuara agak keras . Selesai urusan, perempuan itu lalu pulang dengan perasaan lega dan mungkin tidak perlu merasa malu karena sudah kelepasan kentut didepan ulama besar. Sejak kejadian itulah tersebar kabar bahwa Hatim, ulama besar dan terkemuka itu adalah orang yang kurang pendengarannya alias tuli. Lalu orang orang menuluki Hatim dengan dengan al asham atau si tuli. Sampai perempuan itu meninggal. Hatim lalu menceritakan keadaan dirinya bahwa sesungguhnya ia tidak benar benar tuli. Apa yang ia lalukan hanya berpura pura tidak mendengar kentut perempuan itu, agar perempuan itu tidak merasa malu didepannya karena sudah kelepasan kentut didepannya. Dan ia berjanji pada dirinya bahwa ia akan berpura pura tidak mendengar kentut perempuan itu selama perempuan itu hidup karena semata mata agar menjaga perasaan perempuan itu agar tidak malu. Hatim ingin menjaga harga diri dan perasaan perempuan itu . meski demikian, sebutan al asham telah terlanjur melekat pada diri Hatim. Sehingga sampai saat ini nama Hatim dalam karya karya klasiknya selalu tertulis Hatim al Asham atau Hatim si Tuli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar