Powered By Blogger

Rabu, 07 September 2011

Ngobor Hama Tikus/Cerpen Kiai Noer Alie

Ngobor Hama Tikus
Oleh
Muammar khadafi

Ujungmalang, desa terpencil diantara pepohonan yang rimbun yang mengisi lahan perkampungan yang masih sangat sunyi senyap,  lebatnya belantara pohon membuat suasana kampung itu terasa sepi. Yang terlihat hanya rimbunnya pepohonan trembesi, kelapa dan pohon bambu yang ‘ngempyak’ diantara lintasan jalan yang becek. Sejauh mata memandang hanya pepohonan yang memenuhi retina mata, dibaik rimbunnya pohon pohon itu ada hamparan tanah lapang yang bagai padang safana yang ada di afrika. Hamparan sawah yang menguning, yang siap di panen oleh para petani menjelang perayaan maulidan.
Malam ini aku dan ayahku akan menjaga sawahku yag akhir akhir ini diserang hama tikus. Karena kedua kakakku adalah perempuan selain kakakku yang bernama Tayyeb yang laki laki yang sedang menderita sakit panas,  akhirnya aku memberanikan diri untuk menemani ayahku untuk berjaga kesawah padahal umurku masih terbilang muda, tujuh tahun. Tayyeb adalah kakakku yang tertua. Mungkin karena keseringan membantu ayah disawah ia kecapean dan akhirnya ia menderita sakit. Kakak yang perempuan ku, Arfah dan Ma'ani, aku tak kuasa bilamana kakakku itu menemani ayahku jaga hama disawah. Tidak bisa dibayangkan kakakku yang perempuan jaga disawah, pasti akan ditemani nyamuks sawah yang terkenal ganas akan gigitannya, dan diselimuti angin malam yang akan membuat sekujur badan menggigil. Akhirnya dengan kesadaran diri akhirnya aku memberanikan diri menggantikan kakakku Tayyeb untuk berjaga hama disawah.
Ini pengalaman pertamaku menemani ayah berjaga hama disawah. Hari hari sebelumnya aku hanya menemani ibu dan kedua kakak perempuanku diam dirumah sehabis mengaji ba’da salat Magrib. Dalam keheningan malam yang hanya ditemani cahaya obor dan lampu patromak yang aku bawa dari rumah aku susuri jalan yang becek sisa hujan tadi sore. Sesampainya dijalan sawah yang orang kampung kami namakan ‘gelengan’, aku menemukan ‘ancak’ atau sajen yang ditaruh diantara pinggiran sawah diantara ‘kalenan’. Berharap jin,dan roh halus menjaga hasil sawah mereka yang belum dipanen agar padinya terhindar dari hama.
Sajen itu terkecuali dengan keluargaku. Aku sangat benci dengan hal hal yang berbau musyrik, mempercayai unsur sinkristisme yang percaya kepada hal yang ghoib seperti animisme, dinamisme sisa peninggalan orang tua dulu yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu Budha.
Bagiku dan keluargaku cukuplah Allah yang menjaga dan mencukupkan aku dan keluargaku. Seperti kata ayahku yang mengutif ayat al Quran surat al Mu’minin ayat enam puluh “Berdoalah kepada Allah niscaya Allah akan ngabulin doa kita”, begitulah nasehat ayahku yang masih terngiang ngiang dalam telingaku dan meresap kedalam hati sanubariku.
Betapa beruntungnya aku mempunya ayah seperti beliau, walau dalam keadaan kehidupan yang sangat sederhana ayahku tidak lupa menanami benih benih keimanan pada anak anaknya tidak terkecuali dengan aku yang ‘saban’ hari digodok dalam memahami al Quran. Dalam keadaan yang sangat sederhana sebagai mana halnya kebanyakan penduduk kampung Ujungmalang lainnya masih berpendidikan rendah karena masih dibatasi oleh kebijakan Belanda yang masih sangat selektif menyekolahkan warga pribumi yang ingin bersekolah disekolah Belanda. Ayahku tidak patah arang, akhirnya ia mengecam pendidikan walau hanya dipendidikan Madrsah yang terkenal dengan pendidikan agama Islam khas pendidikan ketimuran.  Walau disela sela kesusahan ekonomi akibat monopoli perdagangan Belanda, ayahku dengan berat hati berhenti setengah jalan bersekolah di madrasah dan memutuskan untuk membantu orang tuanya, Layu.
Sesekali aku menyeka kain sarungku yang sengaja aku sematkan dileherku, berharap angin malam tidak terlalu mengganggu diriku. Kutaruh lampu patromak yang pegangannnya kurasa mulai panas ditanganku. Kubersihkan kakiku sisa dari perjalanan menuju sawah yang becek dan kotor. Seperti kata ayahku “Alie bersihkan kaki yang kotor di ‘kalenan’ yang airnya jernih itu”, beitulah ujar ayahku yang mulai renta.
Seperti tahun tahun sebelumnya banyak sekali orang yang menjaga sawahnya menjelang panen raya itu. Menjaga agar hasil panennya tidak dirusak hama ataupun dicuri orang. Aku bahkan masih ingat cerita ketika sawah Pak Rohim habis di gondol maling menjelang panen raya tiba, setelah kejadian itu masyarakat Ujungmalang lebih waspada, apalagi tahun tahun ini hama tikus sangat meraja lela. Masyarakat Ujungmalang berduyun duyun mendatangi sawahnya, sawah punya sendiri ataupun sawah orang lain yang dibagi hasil oleh para tuan tanah. Sekejap suasana sawah menjadi riuh, kerena sesekali terdengar suara teriakan dan suara kaleng yang diikat ‘berjejer’ yang melhirkan suara gaduh yeng bettujuan agar hama tikus yang mendengar suara itu lari terbirit birit mendengar suara itu.
Cahaya lampu obor dan lampu patromak membahana, membuat suasana persawahan yang biasanya sunyi senyap menjadi riuh rendah, ramai akan kegaduhan keleng yang ditarik beriringan, dan terikan manusia yang membelah kesunyian. Obor dan lampu patromak bagaikan kunang kunang diwaktu malam, bercahaya diantara senyapnya malam ditengah sawah.
Pengalaman yang sangat jarang aku dapati oleh orang seumuranku yang baru menginjak tujuh tahun. Inilah pengalaman pertama aku menemani ayahku ngobor hama tikus ditengah sawah. Menggantikan kakakku yang sedang terkena demam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar