Powered By Blogger

Jumat, 19 Agustus 2011

Catatan Anies Baswedan,

Catatan Saya di Atas Catatan Anies Baswedan
Kepergian yang Dinanti nanti
Oleh:
Muammar Khadafi

Pagi ini hujan membasahasi bumi Bekasi. Genting yang daluhu kering keronta kini membasah ditimpah rintik hujan yang menari nari diantara langit dan awan. Daun dan rangting kini segar dibasahi air hujan dari langit yang sangat eloknya. Kicauan burung sesekali terdengar diantara daun jendela kamar. Saya masih termenung dalam kamar ini, berselimut jaket yang membungkus raga agar tidak terserang rasa dingin. Rasanya kantuk ini masih saya rasakan diantara mata yang masih terlelah. Maklum tadi malam saya terjaga hingga saya memutuskan untuk melaksanakan salat Qiyammul lail hingga jarum jam menunjukkan setengah lima subuh.
Secangkir kopi dan ditemani biskut sisa Lebaran kemarin menemani sarapan saya pagi ini yang tak kunjung datangnya matahari. Harian ibu kota yang saya beli kemarin masih tercecer dilantai yang sedikit lembab. Rasanya saya belum selesai membacanya hingga tadi malam saya berhenti di catatan opini Anies Baswedan Rektor Universitas Paramadina Jakarta:

Yaa Nabi salam alaika…
Yaa Rasul salam alaika…
Yaa habibie slam alaika…
Salawatullah alaika…

Sekitar seribu anak anak menghampar di lapangan pondok. Lautan kerudung dan peci putih melapalkan salawat, khusuk dan menggema.
Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Untuk mencapainya, harus terbang dari Bangkok yang jaraknya sekitar 700 lebih km kekota kecil Nakhon Si Thammart. Lalu dari bandara yang kecil itu, naik mobil kira kira satu jam sampai pedalam itu. Masuk ditengah tengah desa dan perkampungn umat Budha, di situ berdiri Pondok Ban Tan. Pondok ini dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murud (santri). Niatnya hanya sederhana, yaitu untuk menjaga akidah umat Islam yang tersebar di kampung yang mayoritas berpenduduknya umat Budha.
Melihat wajah anak anak pondok, seperti kita menatap mas depan mereka. Anak anak yang dititipkan orang tuanya di sekolah (pondok Ban Tan), yaitu untuk menjaga sejarah keharin Islam di kerajaan Budha ini, mereka berdampingan dengan sangat damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.
Malam ini setelah berliku perjalannya, seakan menjadi salah satu event puncak untuk keluarga pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan beasiswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat.
Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungn muslim yang kecil, jauh dari keramaian dan di pedalaman Thailand di tahun enampuluhan cucu tertua pendiri pondokakan di kirim ke Amerika. Umumnya, santri santri cerdas dikirim untuk melanjutkan sekolah ke Jawa, Kedah, atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Mekkah atau Mesir. Tapi, Amerika? Tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu, para guru di pondok terpecah pendangannya: separuh takut anak ini akan beribah bila dikirim kenegeri kufar (istilah yang digunakan dalam pedebatan saat itu/ kufar/kafir), mereka tidak ingin kehilangan anak yang cerdas itu.
Setelah dengan perdebatan yang panjang, Si Kakek, pendiri pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqamah dan saya ikhlas jika ia berangkat.” Ruang musyawarah di pondok itu menjadi senyap dengan keputusan itu. Tidak ada yang berani dengan keputusan/fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.
Tahun demi tahun terlewati. Da, dugaan guru guru pondok itu terjad: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya. Dia pergi jauh. Anak itu terlempar ke orbit lain.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh masyarakat pondok, dan seluruh rakyat di propinsi terpencil itu.
Dia pulang sebagai Sekertaris Jendarl ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halamannya mendadak menjadi perhatian dunia. Sebelumnya, dia adal mentri luar negeri Thailand, Muslim pertama yang menjadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan: dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang membawa teman koleganya. Sekarang, seluruh bangunan pondok ini tampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagi negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk pondok mungil dipedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru pondok, meneruskan tradisidakwah di kampung halamannya.
Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selau ‘hadir’ disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia menjadi duta Muslim Thailand di dunia.
Dia tidak pernah hilang seperti yang ditakutkan oleh guru gurunya. Dia masih persis seperti kata kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan : isyhadu bi ana muslimin.
Ramadhan kemarin, saat kita makan malam di Bangkok, Surin cerita tentang Asean Muslim Reserch Organization Network (AMRON) conference di di Walailak University dan ingin mengundang saya kepondoknya awal Oktober: Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, di kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke Ban Tan lebih utama  dari pada ke Bandung.
Saat duduk di Majid Al Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya mengubah jadwal dari Bandung ke Ban Tan. Saya salat Isya berjamaah duduk disamping Surin. Selesai salat, ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri santri itu tidak bisa disembunyikan. Mereka seakan ingin menjadi Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata dari mimpi mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.
Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan, dibuatkan panggung untuk menyambut. Santri santri bergantian naik panggung. Mereka memeragakan kemahiran bercakap Melayu, Inggris, bahasa Arab. Sebagai puncak acara, mereka tampilkan Leke Hulu (Zikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah di jadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.
Besok paginya, Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi Thailand khusu dating dari songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama pondoknya. Kami ngobrol panjang dan saya Tanya asal keturunannya karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatra, tapi dia keturunan Hadramauth.
Hari itu saya bersyukur. Saya katakana itu pada Surin bahwa ini perjalan luar biasa. Tapi, dia belum puas. Surin memanggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu manajemen) untuk mengantarkan saya ke masjid di kampung kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustaz keturunan Minang.
Setelah melewati kampung kampung dan pasar yang sangat sederhan, saya sampai dirumahnya yang sangat sederhana, letaknya dibelakang madrasah yang ia pimpin. Kami berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentng kemajuan. Lalu, dia mengambil bingkai bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Mininjau di Ranah Minang karena perlawanan dengan Belanda. Kira kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak anak muda pemberani memmang selalu jadi pilar kokoh dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingn penuh dengan kedamaian.
Sekali lagi, kita ditunjukkan betapa hebatnyaefek pendidikan. Beri fondasi akidah, bekali dengan moda; akhlakul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ayahnya dan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya, dan bagi umatnya.

Begitulah catatan Rektor Universitas Para madina Jakarta dalam harian Republika terbitan Jumat 8 Oktober 2010. menggambarkan perjalanannya ditanah Muangyhai (Bangkok).
Sesekali saya teringat dengan sepupu saya yang baru saja kemarin berangkat ketanah Firaun laknatullah, untuk menuntut ilmu. Seperti kata beliau (Anies Baswedan) diatas : Fondasi akidah, fondasi moral (akhlakul karimah), biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa bapaknya dengan membawa ilmu yang bermanfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya, dan bagi umatnya. Begitulah sekelumit pesan Anies Baswedan dalam akhir catatannya. Mudah mudahan sekelumit catatan saya ini bisa menghantarkan sepupu saya itu terbang jauh ketanah Mesir untk menuntut ilmu, mudah mudahan Allah selalu menjaganya dalam limpahan ar rahman dan ar rahimNya Amien yaa Rabbal alamin.
                                                                        Sabtu pagi diguyur hujan hingga terlelap.            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar