Powered By Blogger

Kamis, 18 Agustus 2011

Yaa Allah lindungi Aku dari Kursi



Ya Alah Lindungi Aku dai Kursi


Seorang teman dekat saya sedang pusing dan stress cukup serius karena akan didaulat oleh rakyatnya agar ia menjadi Lurah. Selama satu dua tahun belakangan ini kalau keluarganya atau orang sedusunnya ngomong tentang kemungkinan ia jadi Lurah, ia menjawab ringan ringan saja. Ia memberi alasan seenaknya saja untuk menolaknya. Karena toh itu ia anggap sebagai romantisme kaum minoritas di desanya yang masih sempat mengagas bahwa sebuah desa sebaiknya dipimpin bukan oleh kalangan priyai saja.
Diam diam sebenarnya ia tidak percaya diri. Mana mungkin manusia macam dia diimpikan impikan orang untuk menjadi pemimpin. Juga siapa bilang menempuh proses untuk menjadi Lurah itu gampang. Harus ada modal besar dan menyiapkan sejumlah upeti feodalisme modern dalam konstalasinya. Toh rakyat pada umumnya, menurut pandangan dia, juga sudah bersikap apatis. Siapapun yeng menjadi Lurah, mau kadal, mau kodok, mau pencopet, biar saja.
Di samping itu tak bisa dia bayangkan bila dirinya menjadi Lurah. Bagaimana nanti?. Harus pakai sepatu dan baju safari, dan ketemu ‘pak Camat dibalai desa. Sedangkan ia mandi saja ogah ogahan. Lantas nanti harus patuh kepada konspirasi tingkat tinggi; mungkin sesama Lurah, camat, Koramil, dan perangkat desa untuk memakan beras miskin yang jelas jelas bukan haknya.
Teman saya ini bukan tidak mau kaya atau tidak mau punya jabatan tinggi. Tapi untuk ‘meladeni’ impian hidup kaya dan punya jabatan tinggi yah tidak harus segitu gitunya. Moso mau hidup enak saja pake repot repot memperbodoh rakyat, melakukan kejahatan kolektif-birokrasi, menyakiti wong cilik yang makin cilik perutnya akibat busung lapar dan kekurangan gizi. Apa kalau sudah kaya, punya jabatan tinggi lantas ia bisa makan lebih dari tiga piring, dan nasi berubah rasanya menjadi makanan yang bukan nasi.
Hidup Cuma sekali kok. Gitu ajah kok repot ungkapan Almarhum Kiai Gus Dur. Manusia memang aneh aneh dan terkadang kurang logis, empiris dan realistis. Bilangnya beragama, tetapi sibuk membangun dunia dengan harta dan tahta. Membangun ya Akhirat dong. Dunia ini hanya perangkatnya alat menuju akhirat, hanya fasilitas produksinya saja. ‘Wong sama Tuhan  mau ‘dikasih’ hidup abadi malah pilih untuk beberapa tahun. Itu kan Cuma kalahmin bil-bashar, hanya sekedipan mata. Dikasih kebesaran malah ambil kekerdilan. Dikasih kelanggengan malah bernafsu sama kesementaraan. Lah wong surga itu indah dan mewahnya bukan main, kok malah gugup membangun dunia dalam gagasan bahwa dunia adalah final dari segala galanya. Yang dibangun juga yang ‘enggak enggak: sukses, frustasi, karya bermutu tinggi, nama baik, popularitas, dan ‘temen temenya. Manusia memang ‘GR. Selalu merasa mampu, hebat, seolah olah kuku yang ada dijarinya ia yang menumbuhkannya.
Yang lain malah membangun gedung gedung dan pabrik pabrik yang merusak bumi, yah baru sekarang saja ngeh ‘Global warming’ udah didepan mata. Alhasil manusia hanya bisa menyelenggarakan kerusakan dimuka bumi ini. Banjir Jakarta yang membuat stress kaum metropolitan. Wasior Brojol jadi longsor. Mentawai ampuradul. Merapi ngamuk dengan wedus gembelnya sampai menyelengarakan kematian kuncennya ‘Embah Marijan. Akhirnya manusia benar benar kerepotan dengan ulah alam yang ‘marah’ akibat tangan tangan jahil yang dibuat manusia.
Padahal hidupkan sederhana banget. Kebutuhan makan cuma sepiring saja, tentunya beserta teman temannya alias lauk pauk. Pakaian juga gak bisa rangkap, kecuali orang yang sinting pakai pakaian rangkap. Tempat tidur kan bisa apa saja, karena ‘toh kalau sudah sangat mengantuk, tak bisa dibedakan mana kasur mana tikar. Juga rumah. Kenapa harus mewah. Apa rumah bisa dikulum ‘kayak permen. Anak anak kita, kalau kita pandang wajah mereka, biar kita miskin atau kaya, ‘ya tetap saja menyenangkan walau muka mereka memble’. Istri juga begitu. Biar Cuma satu, tapi rasanya tetap enak juga. Cari yang lain, ternyata ya’ mirip mirip juga rasanya.
Lah kalau teman saya itu nanti benar benar jadi Lurah, apa dia bisa hidup dengan pandangan seperti itu. Kalau ‘tak ikut menipu rakyat, apa nanti ia tidak dikucilkan. Kalau misalnya ia tidak ikut berkonspirasi menipu rakyat, dia malah di tuduh tidak canggih dalam hal kejahatan. Dia  dianggap termasuk orang bodoh karena tidak memaksimalkan kekuasaanya menjadi Lurah. Jadi bagi teman saya ini, ‘tak ada hal yang lebih mengerikan di muka bumi ini dibanding menjadi Lurah. Apalagi menjadi Menteri dan Anggota Dewan jauh lebih mengerikan, karena kekuasaan menjadi Menteri dan anggota Dewan  bisa dipakai untuk ‘mengakali’ banyak hal, mensiasati masalah, main proyek, main ‘duit’ anggaran, kadang juga main ‘jablay’ kaya “Nur 'Sensor' Nasution Dewan Pesatuan pembangunan, maaf namanya disamarkan.
Kalau perlu cari dukun, minta mantra mantra bagaimana caranya agar kita terhindar menjadi Menteri dan anggota Dewan. Solanya kita ini orang lemah. Kita tahu diri. Seandainya kita ini manusia ma’shum (terjaga oleh malaikat), kukuh akan iman, konsisten akan akhlakul karimah, lurus idialismenya, zuhud, istiqomah, bolehlah kita ‘sok sok’ berambisi menjadi anggota Dewan atau Menteri. Seandainya syahadat kita serius, salat kita ‘bener bener’, haji kita bukan karena mematuhi domino petunjuk dari yang teratas, ‘ayolah kita bertaawanuu menjadi anggota Dewan.
Tapi kalau tidak, meski wajah kita alim, sering ‘pake peci putih’, sudah haji beberapa kali bahkan sudah mencantumkan hurup H didepan namanya, atau nama kita pakai unsur Allah atau agama- Misalnya Abdullah atau Brokidin, Kristian, tak usahlah terlalu mantap menjadi anggota Dewan, karena bila semua itu belum memanifestasikan ke-Allah-an kita, ‘yah ‘nyalonin dewannya entar dulu ‘deh.
Menjadi anggota Dewan bukan prestasi, melainkan beban. Menjadi pejabat bukan reputasi melainkan amanat. Menjadi penguasa tidak otomatis merupakan rizki hidup, kecuali kalau kita tidak percaya kepada Tuhan dan Akhirat, lantas semua harta hasil kejahatan hidup kita bisa kita bawa kekehidupan abadi yang kita selenggarakan sendiri dan kita bebas dari Tuhan, padahal mati kan’ hanya membawa sehelai kapan doang’.
Kita ini Ojo domeh, Ojo Nyeleneh. Kursi ‘kok dicari cari, kursi ‘kok direbuti. Jabatan ‘kok diimpi impikan. Kedudukan ‘kok dianggap prestasi. Padahal sudah jelas uang seratus ribu punya kesanggupan untuk memperbudak manusia, kaya guru dan Dosen yang mulutnya memuruh akibat seratus ribu per SKS. Coba pikir mana ada manusia yang bisa memperbudak uang?.
Sedangkan dengan kursi, apalagi yang tinggi ‘banget’ seperti yang diduduki oleh seorang Menteri dang anggota Dewan. Anda bisa membayangkan, Anda bisa memproduksi ‘duit’ dalam sekala besar dengan seabreg proyek akal akalan. Kursi memang sejenis “makhluk langka” yang ajaib bin magis. ‘Wong terbuat dari kayu, atau paling jauh terbuat dari logam dan Busa’- ‘kok bisa beranak uang banyak. ‘Lah ‘Wong kambing saja hanya mampu beranak kambing. Jin pun hanya bisa beranak Jin. ‘Lah ‘kok kursi yang tergolong makhluk tak bernyawa bisa memperanak macam macam.
Makanya kalau jiwa belum mutmainnah dan mental belum zuhud, dan masih hubbud dunia, jangan bergaul ‘deket deket dengan kursi.
Kursi itu lebih sakti dibanding raja, ulama, jago kebatinan, intelektual, budayawan, atau apapun namanya. Raja yang aslinya sebagai manusia sangat baik dan santun, karena kelamaan bergaul dengan kursi bisa menjadi monster. Ulama yang mahfudh yang terpelihara jiwa dan perilakunya kadang kadang pun kecantol dengan ‘kejablayan’ kursi.
Kursi benar benar membahayakan dibanding makhluk purba Dinosaurus. ‘Sampe sampe’ Nabi Sulaiman saja terpaksa mendapat giliran terakhir antrian masuk surga diantara Rasul lainnya gara gara direpoti oleh urusan kursi kerajaannya.
Maka seorang penulis di zaman Sulaiman as, pernah menulis artikel  disebuah media masa yang cukup popular ketika itu;
“Kalau kursi yang kau duduki itu kau anggap sebagai kekuasaan, dan bukan tugas kerumah tanggaan bersama, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh kursi. Kalau kursi itu kau anggap sebagai keunggulan, dan bukan sebagai tanggung jawab yang dititipkan, maka kepribadianmu akan digerogoti oleh kursi sampai keropos. Kalau kursi itu kau perlakukan sebagai kekuatan, dan bukan amanat yang dibebankan, maka nanti kau akan ambruk dicampakkan oleh si kursi.”
“Kursi jangan dibangga banggakan, karena ia lebih merupakan ancaman terhadap kelemahanmu. Kursi mengalirkan getaran yang bisa merusak syaraf matamu sehingga makin lama semakin terfokus melihat permasalahan. Kursi dengan diam diam dapat melontarkan frekuensi yang bisa meretakkan gendang telinga sehingga kau semakin sukar mendengar teriakkan mahasiswa yang hamper setiap hari berteriak demo didepan kantormu. Kursi mambuatmu jadi pikun dan lupa sehingga engkau lupa akan komitmenmu yang kau ucapkan semasa kampanye berlangsung.”
Macam macam lagi yang ditulis dalam artikel itu. Teman saya, yang nasibnya terancam didaulat jadi Lurah lalu meminta copi-an artikel itu.
“Apa salahnya ‘sih jadi Lurah?” saya mencoba menumbuhkan kepercayaan diri teman saya itu, “Kan itu bagus. Bisa jadi medan pejuangan untuk mewjudkan cintamu kepada rakyat kecil.”
“Ya”, jawabnya, “Tapi saya ini lemah…” Dia bercerita bahwa semuala alasan dia menolak adalah bahwa dia tak mau bersaing untuk menjadi Lurah, karena pada dasarnya memang tidak ada keberanian dan tidak suka menjadi lurah. Apalagi dipikirnya menjadi Lurah membuntuhkan coast yang tidak sedikit, ini adalah alasan yang sangat kuat untuk menghindarkan ancaman nasib itu. Tapi ternyata semua penduduk kompak untuk menetapkan dan mendaulat dirinya menjadi satu satunya calon tunggal Lurah. Mampus dia. 
RENUNGAN ; CAK EMHA AINUN NAJIB.

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar